19 Februari 2009

Empat Dara di Jababeka

Pagi masih menyisakan hawa dingin dan berkabut. Beberapa parkit liar saling beradu suara melawan dingin yang kian lama menembus isi perut. Hilir mudik angkot dan rengekan suara bising kendaraan kota mulai merayap beradu dengan kepulan asap dan sedikit debu yang buyar tertiup angin pagi. Pemandangan Depan Kampus UIN Ciputat pun mulai semrawut.
Pagi ini, Wardah, Fina, Ida dan Cita hendak berburu tempat PKL demi nilai atas studi S1 mereka. Anak-anak spesialisasi Gizi ini katanya kuliah di UIN Ciputat. Dan katanya juga Fakultas Kedukunan dan Ilmu Kesetanan (eh.. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) Jurusan Kesehatan Masyarakat….

Wardah, nama aslinya Wardah Hamidah Di Atas Sajadah Bersimbah Darah. Konon namanya diambil karena Wardah lahir di atas sajadah, saat ibunya sedang shalat, wardah mo ikut shalat juga.. Ya jadi dikekeluarin lah ia di sana Katanya wanita satu ini udah punya pacar dan mau serius mo mampus.. eh… mau married.
Nah yang ini Fina, nama aslinya Finambah Vitamin dan Tenaga. Konon nama Fina diambil dari sebuah produk penambah tenaga yang sering muncul di TV. Nah.. pas waktu itu, ibunya sedang ngandung dia dua bulan. Karena pengen anaknya kuat dan gendut, akhirnya dinamain-lah dia seperti di atas. Fina jomblo tulen karena belum punya pacar atau emang gak ada yang mau jadi pacarnya.
Makhluk yang berikut ini Ida, nama aslinya Idalam Banget Tuh Sumur. Konon nama Ida diambil dari sebuah sumur tua bekas zaman penjajahan Belanda. Sumur itu katany tempat eksekusi para penjahat perang. Kasian amat ya si Ida. KAtanya si cewek ini juga udah punya pacar…. Pacar Cina atau pacar Arab, gitu.
Eit… ada satu lagi. Yang ini Cita, nama aslinya Citarum Ciputat Cileduk Tangerang. Konon namanya diambil dari salah satu sungai yang mengairi sawah di tangerang dan bermanfaat banget buat warga di sana. Konon juga Kata Cita diambil dari nama hewan peliharaannya Tarzan – Cheetah – hii…hii…

Matahari pagi mulai naik. Hawa sekitar pun sudah menimbulkan gerah dan keringat. Wardah, Ida, Fina dan Cita bergegas memeriksa perbekalan mereka untuk PKL dan menjadi anak kos di kota seberang. "Woi.. cepet dong, gerah nih!" usik wardah yang dari tadi ngiba-ngibasin ujing jilbanya ke jidad.
"Iya… Iya… tunggu ngapa? Kan bawaannya berat," balas Cita yang dari tadi sibuk nenteng-nenteng tas ransel yang segede gajah lagi hamil seratus tahun.
Patas 21 memunculkan diri dihadapan mereka. Keempat cewek centil itu segera menaiki barang-barang bawannya dan segera mencari tempat duduk yang enak. Sayang, sisa tempat duduk kosong tinggal 3, al hasil, si Fina yang badannya gede ngalah, untuk sementara berdiri ria sampai Blok M. "Ye.. Abang, katanya kosong?" sindir fina pada si kondektur bus. "Tadi sih kosong, eh.. pas eneng naik rasanya nih patas jadi kayak bajaj," canda kondektur yang gak mau kalah.

Jam menunjuk ke arah angka sembilan. Perjalan ke Blok M terasa perjalanan ke Timor Timur. Karena bau asap rokok dan berbagai aroma nano-nano membelai hidung seluruh penumpang yang berada dala patas 21. "Da, bagi tisu, dong," pinta cita pada Ida. Ida yang lagi tidur-tidur ayam jadi malu diliatin orang di sampingnya. "Duh, susah ngambilnya," bales Ida. Cita Cuma diem seribu bahasa menahan bau asap dan keringat….

Terminal Blok M masih semrawut. Sedang puncak-puncaknya aktivitas warga Jakarta dan pinggiran Ibu Kota berebut mencari gaji dan insentif. Asap kendaraan makin tebal dan terik mentari makin menjitak kepala. Tiba di terminal Blok M, keempat cewek centil itu langsung naik ke patas AC 121. Mereka hendak bertolak ke Cikarang menuju Jababeka Distrik… Disetrika Majikan atau Distrik apa gitu. Pokoknya tujuan mereka Cuma satu cari tempat PeWe di Patas AC 121. Ida, wardah dan Cita langsung loncat ke dalam Patas. Fina yang badannya agak-agak besar cuma nyibirin bibirnya entah ngomong apa. Sejurus kemudian keempat cewek centil itu dapet juga tempat yang PeWe. "akhirnya… dapet duduk juga gue," lontar Fina sambil membanting tubunya ke kursi patas. Untung tuh kursi gak patah karena beban yang di embannya berat juga.
"Da, bagi tisu, dong" tagih Cita ke Ida yang tadi gak jadi ngasih tisu karena alasan susah ngambilnya. "Nih…" lembaran tisu diulur tanpa liat yang di kasihnya. "Yah, kok sebelah…?’ melas Cita ke Ida. "Iye… tinggal satu, bagi dua ama gue," bales Ida yang juga kegerahan. "Nih… nih… jangan ribut," sebungkus tisu dari Fina mampir ke pangkuan Cita. Sedetik kemudian muka Cita ceria kembali walaupum dalam hatinya, dia merasa kehausan. Cuma takut, mau bilang haus nanti malah dibilang manja.

Patas AC 121 mulai penuh. Hawanya memang agak berbeda dari patas 21 yang sebelumnya gak pakai. AC. Ida mulai keriep-keriep matanya. Ternyata tidur ayam yang tadi diganggu Cita belum terlampiaskan. Makanya dia mau nyelesain semedinya di patas ini. Wardah yang duduk di samping Ida ikut ketularan penyakit ayam yang diderita Ida. Fina dan Cita masih asyik ngobrol-ngobrol ria sambil memasukkan cemilan ke dalam lumut – eh mulut- mereka. Maklum kedua orang ini emang hobi makan banyak kalo lagi di dalam kendaraan. Sampe-sampe meskipun nggak ada makanan di situ, pasti tisu dan bungkusnya jadi santapan mereka saking doyannnya sama makan kalo lagi di kendaraan…

Sekitar dua jam dalam Patas AC 121, akhirnya mereka tiba juga di kawasan industri Jababeka, Bekasi. Ida dan Wardah yang masih pules langsung dibangunin sama Fina dan Cita, "Woi… bangun… bangun. Udah sampe!" "Uuaaahhh….. cepet banget?" saut Ida dan Wardah Kompak. "Kalian sih, tidur. Jadi rasanya sebentar," gerutu Cita sambil mengambil tas ranselnya.
Keempat cewek centil ini segera turun. Mereka langsung dikerubuti tukang ojek bak artis turun dari pesawat dilempar dari ketinggian seribu meter. "ojek, Neng?" tawar si tukang ojek. "Jababeka, Neng?’ tawar ukang ojek lainnya. "Ojek ini pake paket plus, Neng. Bisa lewat sawah?" tawar tukang ojek yang lainnya lagi. "Tau Blok QQ, nggak, Bang" Wardah langsung memutus ocehan pahlawan roda dua itu. "Iya, tau, Neng," tangkap tukang ojek ang katanya ojek plus itu. Akhirnya mereka menyewa empat ojek yang katanya plus demi menemukan tempat kosan yang asyik.
Benar ternyata, ojek yang mereka tumpangi bener-bener plus. Mereka di ajak melewati pinggiran sawah yang menghampar luas seolah membelah gunung. Keempat cewek centil itu tersenyum-senyum kegirangan karena merasa hawa sumpek sejak di perjalanan tadi sudah dapat terobati karena naik ojek plus itu.
Tiba di Blok QQ, keempat cewek centil itu langsung membayar upah sewa ojek plus mereka. "Berapa, Bang?" Tanya Cita selaku bendahara dadakan. "Dua puluh ribu, Neng." jawab si tukang ojek dengan semangat. "Yah, mahal amat, Bang. Kurangin dong?" pinta Cita sambil memelas. "Wah, biasanya malah tujuh ribu satu orang. Ini mah karena Neng-Neng tamu special jadi di kasih murah," diplomasi si tukang ojek. Akhirnya dengan rela Cita ngeluarin duit dua puluh ribuan dari tas ranselnya dan langsung dikasih ke tukang ojek plus itu. "Ma kasih, Neng" ucap tukang ojek. "Sama-sama, Bang" bales Cita.
"Eeemmm, Neng.. Nanti pulangnya mau dijemput pakai ojek ini lagi, gak? Kalo mau kami kasih nomor HP kami nih?" tawar si tukang ojek yang lain. "Gak usah, Bang. Biar nanti kami cari aja pas pulang, lagian kami belum tau pulang lagi kapan," balas Cita dengan santun demi menjaga harga dirinya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena memanfaatkan nomor HP-nya untuk tindakan kriminal. Tuang-tukang ojek itu pun langsung pamit dan pergi kembali ke pangkalan mereka….

Jingga mulai menutupi sore. Keempat cewek centil baru saja menemukan PT. Intrafood Jababeka tempat mereka akan menimba ilmu dan mengharap nilai terbaik. Untuk sementara mereka tinggal di kosan yang ditunjuk oleh perusahaan. Perwakilan dari perusahaan langsung mengantar mereka ke kosan yang ditunjuk untuk istirahat sebelum besok observasi lingkungan perusahaan. Tiba di kosan itu, tubuh Fina langsung bergidig, dan wajah ketiga cewek lainnya berubah setelah melihat keadaan kosan yang sebenarnya bisa dikatakan bukan kosan, tapi gudang untuk menaruh sisa-sisa produk bahan-bahan produksi yang sudah kadaluarsa. Dengan pasrah mereka masuk dan tinggal sementara di tempat asing itu. Perwakilan dari perusahaan pun langsung pamit dan kembali ke rumahnya.
"Da, kita cari kosan lain, yuk.." rayu Wardah ke Ida. "Uaahhhh… tolong….." jerit Fina. "Ada apa, sih..?" wajah panik ketiga cewek lainnya mendekat ke Fina. "Itu… kecoak banyak banget.." Keempat cewek centil itu pun langsung teriak dan menjerit bersama. "Uuuaaahhhh…… Mamaaaaahhh….. Papaaaaaa……. Nyaaakkkk…… Uuuueeehhhhkkkk…" keempatnya tak sadarkan diri sampai seeekor tikus sawah membangunkan mereka. "Uuuaaahhhh….. toloooong….. ada tikus…." Akhirnya keempat cewek centil itu sadar lagi dan mengambil sapu, kayu, taplak meja, bahkan si Fina yang badannya besar tapi sama tikus aja takut langsung ngankat meja dan di usirnya tuh semua makhluk pengerat yang sejak tadi menggoda mereka. Si tikus yang kaget melihat monster mengangkat meja langsung lari terbirit-birit masuk kembali ke lubang-lubang persembunyian mereka. "Wuihh… hebat lho, Fin. Gak sia-sia doyan makan," puji Ida. "Iya, gak Cuma gede badan doang," sahut Cita. "Tapi,sayag, berani sama tikus tapi takut sama kecoak," celetuk Wardah. "Apa loe bilang?" bales Fina sambil mengangkat meja kembali dan mngarahkannya ke Wardah. "Eeehh… ngg… nggak.kok… Fina hebat," rayu Wardah karena takut di lempar pake meja. Keempat cewek itu langsung beres-beres dan mempersiapkan rencana observasi esok hari….

Hari pertama observasi di mulai. Keempat cewek centil itu bergerak menuju Kantor. PT. Intrafood Jababeka. Baru sekali masuk, mata-mata iseng karyawan laki-laki PT ini langsung menggona keempat cewek centil itu. "Ehh.. ada cewek-cewek cantik," celetuk salah satu karyawan laki-laki yang lagi bungkusin kerupuk. Karena saking asyiknya mandangin ‘empat makhluk halus’ dia lupa kalo kerupuk yang dibungkusnya bukan masuk ke plastik tapi malah masuk ke kaos kakinya yang dia simpan di bawah meja. "Sukur, loe. Dasar mata jelalatan" celetuk Cita. Si laki-laki pembungkus kerupuk itu langsung merah wajahnya karena diketawain temen-temennya.
Keempat cewek centil ini langsung ditemukan dengan seorang perempuan yang katanya manager di sana. Katanya juga sih, manager ini jutek dan gak tanggung-tanggung kalo marahin orang. Kalo ada yang berbuat salah atau berani menantang, seratus persen bakal kena damprat dan langsung dimasukkan ke dalam mesin penggiling beras olehnya. Ihh… killer abis.
Keempat cewek centil dikenalkan dengan berbagai produk dan bahan pembuatnya. Juga dikenalkan bagaimana cara menggunakan peralatan-peralatan yang baik dan semestinya. Keempat cewek centil itu akhirnya merasa kecapekan juga diajak keliling kantor perusahaaan sambil mengingat-ngingat nama produk, barang dan cara menggunakan peralatan yang lumayan rumit.
Selesai observasi, mereka berempat kembali ke kosan yang ditunjuk perusahaan untuk istirahat sambil beres-beres barang bawaaan mereka untuk pindah ke kosan baru yang lebih PeWe dan manusiawi.
"Ihh… amit-amit, deh gue tinggal di tempat kayak gini lagi," tegas Fina.
"Iya, kalo gak karena terpaksa Gue juga males," bales Cita.
"He eh, jorok abis nih tempat," ikut Ida.
"Kalo gue nalah seneng di sisni karena bisa liat atraksi sirkus ngangkat meja," ledek Wardah. Muka Fina langsung merah, dan seketika atraksi angkat meja kembali terulang. Kali ini mangsanya Wardah. Wardah langsung ambil langkah seribu menghindar dari terkaman raksasa penguasa kos perusahaan. Cita dan Ida Cuma tertawa geli melihat dua tikus imut berkejaran mengelilinginya.

- Cerita ini Cuma ilusi…. biar lebih keki….. asal gak bau terasi -
Selamat ber-PKL ria, kawan2 (Herwin)

04 Februari 2009

Filsafat Pendidikan; Relaksasi Akhir Semester Tujuh



Bingung! Itulah kata “kramat” yang pertama dirasakan oleh seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sebut saja Herwin. mahasiswa semester tujuh ini dihinggapi rasa bingung yang akut. Bingung bukan lantaran menghadapi UAS atau bingung bingung karena sopir angkot tidak menurunkan tariff angkotnya padahal SBY sudah melakukan inspeksi mendadak (sidak), juga bukan bingung karena belum bayar uang kuliah, apalagi bingung karena biaya PPKT di Fakultas Tarbiyah dan biaya Wisuda di UIN Jakarta amat mahal. Tapi dia bingung lantaran mendapat tugas akhir dari Dosen Filasafat Pendidikan, salah satu mata kuliah yang ia ambil –dipaksa mengambil- pada semester itu.


Tugas bagi seorang mahasiswa adalah biasa. Apa yang mesti dibingungkan atasnya? Mungkin itu yang terpikir di kepala orang-orang di sekitarnya. Sekali lagi, yang membuat bingung mahasiswa ini bukan soal tugas yang biasa dan memang membutuhkan referensi dan kesediaan meluangkan waktu untuk merangkum, mengetik dan memahaminya. Justru karena tugas akhir ini jauh berbeda dengan tugas-tugas biasanya.


“senyumlah pada sepuluh orang yag kalian tidak kenal, lalu tulislah reaksi mereka orang yang kamu senyumi itu!” perintah Dosen Filsafat Pendidikan itu pada mahasiswanya.


Inilah yang membuat Herwin kebingungan. Ilmu santet paku bumikah yang ia dapat? Aura cinta sejagadkah yang bakal ia terima? Atau sekedar bahan tertawaan orang yang disenyumi lantaran akan menganggap si Herwin gila, mahasiswa bloon –bego- sinting, atau beberapa kata lain dari planet luar yang bakal diterimanya sebagai hadiah awal tahun.


Tugas yang membingungkan memang. Kalau bukan karena tugas akhir atau atau segabai tugas wajib –fardhu ‘ain- 100% pasti dia bakal males dan ogah menyelesaikan tugas itu. Al hasil bin Al ajdinya, dia anggaplah tugas itu sebagai tugas dan Misi Suci dari Eyang Tanenji. Entah ilmu apa yang akan ia dapat, dan berapa kali kata-kata pujian dari planet luar yang mampir ditelinganya atau malah ada cewek-cewek sinting dan bloon yang bakal tertarik dengannya.


“Langit atas langit bawah… petir ombak angin puyuh… Restu bundo sate padang… Pecel lele ikan bakar… Bakso urat somay ikan…” entah mantra apa yang terucap di bibir Herwin untuk memulai Misi Sucinya.


Lelaki di seberang jalan


Siang makin terang. Raja Langit menjilat ubun-ubun kepala yang sejak pagi itu pusing menerima materi pelajaran di kelas. Herwin berjalan menuju Masjid Fathullah, tempat peradaban baginya untuk menghadap dan menyembah Tuhannya. Ratusan mahasiswa hilir - mudik keluar – masuk gerbang utama Kampus UIN Jakarta. Herwin salah satu darinya untuk ke seberang jalan di depan Masjid Fathullah. Entah kesamber petir apa, ia langsung teringat akan Misi Sucinya. Secepat burung gagak ia memancangkan matanya, mencari mangsa yang akan diterkamnya. Kanan kiri matanya melirik menatap dan mengurai panas matahari. Jatuhlah matanya pada sesosok lelaki di seberang jalan, berlawanan arah dengannya. Sejurus singkat dan secepat hantu karang bolong ia lemparkan senyum asamnya pada lelaki di seberang jalan itu. Reaksi apa yang di dapatnya? Lelaki yang mulanya ceria langsung berubah rona wjahnya menjadi kaku dan mencoba melirik ragu pada si pemberi senyum. Herwin tetap tersenyum dan lelaki itu terus mencoba untuk melirik, memastikan kembali, siapa sebenarnya orang yang memberinya senyum? Dengan lirik kilatnya, wajahnya semakin kaku dan entah apa yang dipikirnya untuk si pemberi senyum itu.

Herwin gondok dan jengkol (eh… jengkel) bukan main, tak ada senyum balasan dari lelaki di seberang jalan itu. Misi suci pertamanya hancur tak menimbuklan gairah.


Anak kecil itu berpaling


Pagi masih dingin. Angin lembut diselingi sesekali rintik gerimis kecil membelai kulit. Beberapa rintik gerimis itu menimpa kaca mata Herwin dan membuatnya agak berkabut. Dia membasuh kaca matanya dengan baju yang dikenankannya. Sebentar kabut hilang, dan sebentar datang datang kembali karena rintik gerimis lagi-lagi menimpa kaca matanya.


Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya, Herwin berjalan dari rumah ke Gintung. Berjalan bukan kerana gak ada uang untuk naik ojeg, tapi memang tidak punya alokasi dana untuk mengeluarkan empat ribuan pada pahlwan roda dua itu. Delapan ratus meter ia langkahkan kakinya untuk berjumpa dengan sopir pribadinya -angkot- dengan tempat duduk yang nyaman, berkhayal sebanding dengan tempat duduk anggota dewan yang mendapat banyak tunjangan sana-sini, meski tak terlihat apa yang ia kerjakan untuk rakyat di sana. Walau sebelum menjabat, mereka berjanji berjuang untuk kepentingan rakyat.


Sepertiga akhir perjalanan adalah kegembiraan baginya. Sebab, di tempat dan jalan itulah ia bisa menghirup udara pagi dan nikmatnya pemandangan Danau Situ Gintung yang asri, meski akhir-akhir ini limbah zat-zat kimia dari gedung Fakultas Kedokteran UIN Jakarta di Kampus Dua menodainya.


Angin makin berhembus agak kencang. Herwin mencoba mengerak-gerakkan tangannya untuk melakukan olah raga kecil-kecilan. Sekitar tiga puluh langkah menuju jembatan beton, ia lihat seorang anak yang berjalan dengan ibunya. Sekitar delapan tahun usia anak itu. Ia digandeng ibunya, asyik bercanda dan bercanda ria laiknya anak-anak kecil lain. “Inilah saatnya untuk melakukan Misi Suci kedua,” ungkapnya. Senyum manis mulai mulai dia kembangkan
“Pikiran jorok” Herwin langsung tersirat. , kerah baju ia rapihkan. Sekitar sepuluh langkah dari anak itu, Herwin terus mengumbar senyum dan memandang anak kecil tersebut. Entah merasa takut diculik atau takut digampar, setelah berjarak sekitar lima langkah mendekatinya, anak itu langsung berpindah ke samping kiri sebelah ibunya dan memandang Herwin dari balik lengan ibunya.


Herwin merasa tidak enak dengan ibunya. Ia tundukkan kepalanya ketika pas bersampingan dengan anak kecil dan ibunya tersebut. Herwin terus menundukkan kepala hingga ia berjarak sekitar 6 langkah melewati anak itu. Karena masih penasaran, Herwin mencoba melihat kembali anak itu ke belakang, ternyata anak itu merubah posisinya kembali ke tempat semula dan bercanda kembali dengan ibunya.


Malam Minggu yang cerah


Bulan malam itu malu-malu memunculkan diri. Bercahaya cukup terang di balik gumpalan awan kecil. Bintang-bintak lentik dan imut menghiasinya, berkerlip-kerlip lincah dan manja. Jalan Cirendeu Raya tampak ramai dan macet. Pemandangan yang biasa Herwin dapati di jalan itu bila hari-hari dan malam-malam libur. Bunyi klakson, raungan motor dan mobil saling bersahutan. Dentuman sound musik penjaja VCD dan DVD bajakan menyatu menghiasi malam itu. Malam ini Herwin hendak menggenapkan hajatnya untuk membeli sepasang Kaos kaki di di salah satu tempat, dimana tempat itu adalah tempat bersejarah baginya. Bersejarah Karena waktu kelas satu SD, di tempat itulah ia pertama kali main Ding Dong, salah satu permainan yang bergengsi di zamannya. Hanya dengan memasukkan koin ratusan ke dalam kotak permainan tersebut, ia akan senang dan bersuka cita dapat bertarung dengan lawannya dlam permainan itu. Tapi, malam itu berbeda dengan masa SD dulu. Permaian di tempat itu sudah tidak ada, yang tersisa hanya tempat bermandi bola khususu anak-anak TK dan beberapa permaian baru. Dan tidak mungkin Herwin akan bermandi bola malam itu.


Bukan bermaksud promosi, tempat itu adalah Aneka Buana, salah satu supermarket yang telah menyatu di hati masyarakat Cirendeu, meski monopoli perdagangan meluas pada Superindo, Alfa Mart, Indomart dan berbagai jenis usaha-usaha besar yang katanya dapat mematikan usaha-usaha kecil di sekitarnya.

Herwin mulai mengazamkan hajatnya. Ia tuju rak-rak tempat kaos kaki ditenggerkan. Dia pilih-pilih mana yang cocok untuknya. Walau sebagus apapunkaos kaki itu, tetap tak menaikkan kondisi ekonominya. Pas-pasan. Berhasil memilih satu, ia langsung meuju kasir. Dalam perjalanan menuju kasir, ia lihat tiga anak gadis seusia SMA sedang memilah-milah kalung dan gelang yang ditenggerkan pada salah satu rak besi di lantai dua itu. Inisiatif untuk menjalankan Misi Suci yang ketiga tumbuh dan merekah malam itu.


Herwin langsung menunda langkahnya untuk meuju kasir. Ia ambil posisi yang dapat dilihat salah seorang dari tiga gadis seusia SMA itu untuk menbar senyumnya. “Here I’m Herwin… I’m Here to you…” ungkap dalam hatinya. Ia pura pura memilih-milih baju, seolah ingin membelinya. Padahal uang di kantongnya hanya cukup untuk membeli sepasang kaos kaki dan sisanya mungkin bisa untuk membeli semangkuk bubu kacang hijau Madura.


Ia coba melirikkan pandangannnya ke salah satu gadis itu, belum ada yang memperhatikannya. Dia coba lagi mengatur posisi, dan tepat. Salah seorang gadis dari mereka menangkap senyum Herwin. Dan gadis itupun membalas senyumya. “Eureka… I found it!!” Herwin langsung bergegas menuju kasir dan membayar sepasang kaos kakinya. Sambil menunduk, Herwin istighfar, jarena tidak menjaga kode etik sebagai mahasiswa UIN Jakarta yang katanya pandai menjaga pandangan; gadhul bashar, Bu!


“Jamu, Mas?”

Pagi itu, Jakarta masih macet, yak berkurang meski Fauzi Bowo menerapkan kebijakan jam masuk lebih awal bagi pelajar sekolah di Ibu Kota ini. “Bagaimana macet bisa berkurang kalo kebijakan import kendaraan bermotor gak dibatasi dan pajaknya semakin murah,” sungut herwin dalam hati.


Hampir satu jam ia dalam bus jurusan Lebak Bulus – Kota. Pagi itu ia sengaja melegalkan diri berdesak-desakkan dan berdiri dalam bus umum untuk menuju ke Harco Mas Mangga Dua, bukan mau cari VCD-DVC atau software bajakan, tapi ia menyengaja ingin membeli Hardisk 80 G’Ziget IDE’ model lama di sana. Maklum, Hardisk 5 G di computer jadulnya udah gak bisa nampung data.


Sumpek dalam bus, sudah biasa. Yang membuat melas hati Herwin adalah bau asap rokok. “Kurang ngajar juga nih orang, ngerokok semabrangan. Gak tau aturan apa?” maki Herwin dalam hati. Tak berguna lagi peraturan pemprov DKI, sebagian banyak orang masih cinta dengan asap itu. Padahal kalo dia tau berapa dana yang diuntungkan buat si pengusaha asap di balik kesengsaraan kelas bawah itu, haqqul yaqin pasti dia gak mau lagi ngerokok. Lihat saja bangunan tinggi di jalan Semanggi, Jakarta. Di sana bertengger apartemen berpuluh lantai, berdiri atas kesengsaraan si perokok yang sengaja tanpa sadar melibatkan diri atas pembangunan gedung tersebut. Padahal untuk menginjakkan kaki saja di tempat itu, si kelas bawah ini belum tentu diizinkan. Khusus untuk orang-oarang tertentu dan berduit. Gondok kan!?. Namanya Apartemen Sampoerna. Menjulang tinggi untuk mengambil keuntungan di bawah derita para pengidap bermacam penyakit akut akibat asap rokok itu.


Perjalanan baru sampai Jembatan Lima. Aroma kali-kali di Jakarta yang katanya puasat ibu kota Negara Indonesia tidak dapat digambarkan lagi. Sampah-sampah memamerkan diri di jalan-jalan dan bantaran kali. Jakarta sudah tidak tampak lagi sebagai ibo kota, bahkan penduduk di sana pun mayoritas ‘bermata sipit’. Mereka menguasai bermacam bisnis di daerah itu. Sedang penduduk Jakarta hanya sebagai kaum proletar –budak- kemajuan imigran lain.


Tiba di Harco Mas Mangga Dua. Herwin mencoba berdiri sebentar, meluruskan lekuk-lekuk tulangnya yang kaku selama satu setengah jam berdiri dalam bus. Ia mencari tempat duduk yang nyaman. IA tuju emperan halte bus di sana dan duduk sebentar sambil memandangi lalu lalang kendaraan di depannya. Rasa pegal dan capek sesaat hilang, ia bergegas menuju ke ITC dan Harco Mangga Dua. IA berjalan sambil memegangi tali tas di pundaknya. Di saat-saat itulah “pikiran jahatnya” muncul kembali. Misi Suci harus di jalankan. Dia mulai mengetes dan mencoba mengumbar senyum. Satu mangsa yang ia targetkan. Mangsa kali itu adalah penjual jamu yang sedang berjalan searah dengannya. Perlahan-lahan ia coba hampiri penjual jamu itu. Selangkah, dua langkah ia coba percepat. Dan pas di samping penjual jamu itu, dengan tebar pesona ia arahkan senyumnya pada penjual dan sejurus kemudian ditanggapi oleh penjual jamu itu, “Jamu, Mas?” Dengan refleks Herwin menggelengkan kepala dan mempercpat langkahnya menuju tangga penyeberangan ITC dan Harco Mas Mangga Dua.


Catatan


Kuungkapkan padamu, kawan. Ternyata memberi senyum pada orang yang tidak kita kenal memang mudah. Tetapi untuk menghibur diri atas tanggapan dan reaksi yang diberikan oleh orang yang kita senyumi tersebut yang sulit. Kadang malu, gondok, sebel, senang, lucu atau apalah.


Dan dari sepuluh Misi Suci yang harus kutulis, hanya empat Misi Suci yang sanggup kuungkapkan. Mungkin aku termasuk Murid yang melenceng dari tugas suci yang diberikan Sang Guru kepadanya. Meski reaksi dari enam orang yang tak kukenal lainnya sama atau mungkin berbeda dari empat hasil Misi Suci yang kutulis di atas.


Senyum. Itulah yang kutanggkap atas relaksasi ini. Senyum memang kadang menjadi budaya yang hampir ditinggalkan. Padahal ia menyimpan banyak kekuatan. Kekuatan utnuk berbagi, berkeluh kesah, bertukar asa, atau bertukar alamat dan nomor telpon bagi penyandang gelas “jomblo sejati”. Tapi senyum juga bisa mengantarkan kita pada penyakit pikiran kotor dan pikiran negatif seseorang tanpa melihat dan mengenal permasalahan yang terjadi sebenarnya. Untuk itu, tersenyum dan berpikir positiflah atas permasalahan yang belum kita ketahui penyebabnya. Herwin

Laskar Pelangi VS Hedonisme


Masih tersisa dalam ingatan kita. Saat seorang Tauifk Ismail membacakan sebuah puisi dihadapan sang wakil presiden –Yusuf Kalla- negeri ini ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional di suatu daerah. Tak disangka puisi yang dibaca olehnya membuat telinga sang wakil prsiden negeri ini terlihat memerah. Bukan lantaran tingginya nada alat pengeras suara sehingga memekakan telinga sang wakil presiden, tetapi karena dalam puisi tersebut tesisip beberapa kata-kata ‘kotor’ yang didengar oleh sang wakil presiden.

“… sekolah kami bagai kandang ayam…”

Begitulah bunyi kata-kata ‘kotor itu’. Sebenarnya kata-kata tersebut hanyalah sebuah cermin dari keprihatinan seorang sastrawan atas kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Kemprihatinan juga bagi masyarakat Indonesia umumnya untuk benar-benar merasakan dunia pendidikan yang mensejahterakan.

Dengan nada mengelak, dalam sambutannya sang wakil presiden membantah jika sekolah yang ada saat ini dianggap sebagai kandang ayam. Tidak disangka. Puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris dan dibaca dalam waktu beberapa menit itu mampu mengalahkan suara ribuan masyarakat yang turun –berunjuk rasa- ke jalan berualang kali untuk menuntut agar anggaran pendidikan di Indonesia ditingkatkan.

Tidak dikira pula bahwa puisi dengan bahasa sederhana itu mampu membuat salah seorang petinggi negeri ini memberikan komentar. Padahal sudah puluhan kali ribuan masyarakat turun ke jalan tidak ditanggapi. Jangankan diberi tanggapan, untuk melihat saja sang petinggi negeri ini harus berfikir tujuh kali.

Tak heran bila kondisi pendidikan yang digambarkan oleh Adrea Hirata dalam Laskar Pelangi juga sebuah kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutupi. Bukan hanya bagai kandang ayam, tetapi memang laskar-laskar tersebut belajar di dalam kelas yang sebenarnya tidak pantas digunakan oleh seorang guru dan siswa-siswa yang katanya hidup pada negeri yang berlimpah keanekaragaman sumber dayanya. Pendidikan dijadikan jurang pemisah antara ‘golongan biru’ dan ‘golongan lumpur’. Semua sudah terbongkar seiring sikap acuh pemerintah yang semakin hari semakin terbentang.

Laskar-laskar cerdas yang bertekat untuk membangun peradaban bagi diri dan lingkungannya di atas bumi pertiwi ini tak dapat terbendung. Mereka mampu mengalahkan hegemoni anak-anak manja dan tak memiliki kematangan jiwa atas didikan orang tua yang merasa paling tinggi dan mulia. Semua itu runtuh karena asa dan kesungguhan laskar-laskar cilik itu lahir atas nilai kepekaan diri terhadap kondisi pendidikan di negerinya.

Sebut saja, Lintang, salah satu anak dari Laskar Pelangi yang mampu memembus berbagai terpaan ujian berat hanya untuk sampai ke sekolah. Berbeda dengan anak-anak manja dari ‘golongan biru’ yang selalu diberikan fasilitas lebih dan serba ada namun hampa dalam memandang dunia sekitarnya.
berat bagi kaum papa di negeri ini untuk merasakan pendidikan dengan wajar dan tanpa beban. Semua harus dihadapi dengan berkilo-kilo beban bila ingin mendapat fasilitas yang sama dengan kaum yang memang mendapat tempat khusus di kalangan pemerintah.

Itulah wajah pendidikan di negeri yang memiliki berbagai sumber kekayaan alam. Hal tersebut terjadi karena sistem pendidikan yang dibangun negeri ini adalah sistem pendidikan yang tak tentu arah dan ‘asal-asalan’. Biarkan nilai rendah asal lulus ujian, biarkan hutan Indonesia gundul asal kekayaan pribadi bertambah dan investasi keluraga kita aman di luar negeri, biarkan memberi sedikit uang –menyuap- kepada jaksa asal kita terbebas dari jerat hukum dan bisa korupsi lebih banyak lagi, biarkan wilayah hilir banjir asal bisnis apartemen kita di wilayah hulu tetap laris, dan masih banyak lagi sikap ‘biarkan’ dan ‘asal-asalan’ yang tercermin dalam sistem pendidikan Indonesia.

Maka amat wajar bila pendidikan di Indonesia saat ini bukan menjadi solusi atas permasalahan bangsa, tetapi justru menjadi wadah atas munculnya masalah-masalah –budaya korup, suap, trafficking, illegal logging- lain yang terus bergulir. Karena sistem pendidikan yang dibangun adalah sistem pendidikan yang berorientasi kepada pemenuhan kesejahteraan pribadi dan golongan bukan pendidikan yang berorientasi untuk mensejahterkan seluruh masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Sebab itu, meluruskan kembali tujuan pendidikan negeri ini adalah tugas kita bersama, gurukah Umar Bakrie, pelajar dan mahasiswakah kita atau menterikah Bambang Soedibyo. Herwin

Titik Nadir SG UIN Jakarta


Tak terasa. Satu tahun lebih –2007/2008- Adi Jonathan ‘menduduki’ Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta. Tak terasa pula apa yang telah dipersembahkannya untuk seluruh warga mahasiswa UIN Jakarta. Bukan lantaran banyaknya hal-hal berarti yang diberikan kepada warga negaranya. Tetapi memang tak terasa karena hampir lebih dari satu tahun, SG UIN terkesan mandul dan berjalan di tempat. Tak satupun aspirasi mahasiswa yang diperjuangkan. Dari mulai ketersediaan buku-buku referensi yang mumpuni di tiap-tiap perpustakaan, keterbukaan pihak rektorat dalam mengemukakan gagasannya dihadapan mahasiswa dan yang paling parah adalah Lembaga Eksekutif UIN sudah mengabaikan aspirasi teman-teman keluarga besar UKM dalam menumbuhkan demokrasi di UIN Jakarta.

Belum hilang luka teman-teman sebagai mahasiswa yang dikekang hak-haknya. Kini kita lihat kembali ‘wajah-wajah semu’ bertaburan terpampang di setiap sudut, lorong, kelas sampai tempat untuk membuang hajat bagai barang dagangan yang dijejerkan di pinggir jalan. Kita dapaksa untuk kembali memilih dan mendukung ‘wajah-wajah semu’ tersebut Seolah-olah ‘wajah-wajah semu’ itu akan membawa dan memperjuangkan hak-hak kita seperti janji-janji basi yang dahulu dilontarkan oleh ‘guru-guru’ mereka yang juga memberi janji semu dan sok idealis. Janji tinggal janji. Setelah mendapat ‘kue’ kekuasaan mereka lupa bahwa hak-hak kita mesti diperjuangkan.

Bermacam warna dan bentuk bendera dipertontonkan. Berbagai isu dan kebijakan abu-abu juga mereka tawarkan. Kebijakan absurd tanpa realisasi dan kesungguhan untuk ditorehkan. Kampus ini seakan dijadikan milik golongan tertentu dengan meletakkan simbol-simbol buta tanpa arah dan alasan fakta. Simbol ‘Kampus Hijau’, ‘Kampus Biru’, ‘Merah’, ‘Kuning’ atau apalah warnanya, mereka anggap sebagai Tuhan demi mendapat suara dan kedudukan yang mampu memberikan mereka ‘kue’ kekuasaan yang lebih besar.

Ironis memang. Kampus yang diwacanakan akan menuju kampus kelas mendunia dan universal, ternyata masih ada ‘zombi-zombi’ hitam yang terus menggerogoti cita-cita mulia tersebut demi kesenangan pribadi dan golongan. Dan belum terlihat SG UIN mencoba untuk bersama bekerja keras mewujudkan itu semua. Yang jadi masalah besar adalah ternyata kerusakan itu dimulai dari dalam SG UIN sendiri. Saling berebut ‘kue’ kekuasaan dan mengalihkan Dana Mahasiswa yang tak jelas akuntabilitasnya menambah jijik dan malu bila UIN bersanding dengan perguruan tinggi lokal apalagi bermimpi untuk mengejar kampus yang mendunia. Jauh panggang dari api.

Tuntutan untuk SG UIN Jakarta ke depan

SG UIN Jakarta, sebagai wadah aspirasi hak-hak mahasiswa sudah menjadi kewajiban untuk terus membela dan memperjuangkan segala kebutuhan masyarakat UIN dalam memperoleh hak-haknya tanpa ada gap dan intimidasi dari pihak manapun sejalan dengan sifat masyarakatnya yang dinamis.

Kesembronoan pejabat legislatif yang sudah mencapai puncak stadium mesti kita kikis bersama. Dan kita harus sudah mulai lebih cerdas dalam memilih mereka. Memilih bukan karena besar atau kecilnya massa pendukung di balik lokomotif mereka. Tetapi memilih atas landasan track record dan kemauan yang kuat dari ‘wajah-wajah semu’ tersebut untuk mengembalikan SG UIN pada landasan dan cita-cita yang terarah dan mampu menjadi solusi bagi negeri. Bukan sebagai wadah yang menambah berbagai masalah bagi masyarakat karena berlatih untuk melakukan korupsi dan tipu daya demi mencapai kepuasaan atau sekedar ingin dikatakan sebagai ‘artis’ di kampus.

SG UIN harus mampu berbuat lebih banyak tentang hal yang positif dan mengembangkan potensi masyarakat sekitar kampus dengan corak ragam daerah yang dimiliki. Sehingga UIN Jakarta mampu menjadikan masyarakat sekitar sebagai sistem sosial yang cerdas dan dapat diperhitungkan.

Memperjuangkan alokasi dana mahasiswa yang disediakan untuk kegiatan akademik dan pengembangan kepribadian mesti disalurkan secara akuntabilitas tanpa korupsi, memperkaya diri dan golongan sendiri.

SG UIN Jakarta harus lebih menggiatkan aktivitas-aktivitas akademik yang berbasis research agar budaya intelektual tetap terpelihara dan terus berkembang sehingga menghasilkan berbagai macam teori dan terapan yang mampu menyumbangkan aset besar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Berani untuk bersih, jujur dan adil

Amunisi dari masing-masing pengusung sudah disiapkan. Strategi untuk mendulang suara tertata rapi. Lantas, sejauh mana masing-masing pengusung akan bermaian secara bersih, jujur dan adil dalam ‘pertikaian’ politik kampus? Ini pertanyaaan besar bagi masing-masing pengusung untuk mencerminkan bahwa apa yang diusung dan di jabarkan benar-benar turut membantu meningkantkan kualitas SG UIN Jakarta atau malah merusaknya. Maka, bila dalam proses mencapai puncaknya sudah menimbulkan ‘bercak-bercak ‘ kotor dan menodai pondasi bangunan –SG UIN- yang sedang dirapihkan. Maka jelas pula apa yang akan mereka jalankan dalam roda pemerintahannya. Tak lain adalah memperkaya diri dan nengacuhkan semua janji serta kebijakan yang akan diambilnya adalah kebijakan ‘kantong jas safari’, seberapa besar keuntungan untuk diri dan golongannya seperti itulah kebijakan yang akan diputuskannya.

Namun bila dalam proses pencapaian puncak kekuasaan dengan bersih, jujur dan adil. Maka ke depan, SG UIN akan mampu menjadi lokomotif peradaban negeri. Dan untuk mencapai itu. Suara kitalah yang menentukan. Maka, gunakan suara kita dengan pertimbangan yang matang dan terarah dalam PEMIRA UIN Jakarta tahun ini. Herwin

Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia


“…. Aku heran…. Aku heran…. yang salah dipertahankan.
Aku heran…. Aku heran…. yang benar disingkirkan….”

Syair di atas mungkin tidak luput dari ingatan kita. Kondisi keprihatinan yang dituangkan oleh Hengky Sahilatua, juga keprihatinan kita semua atas mundurnya kekuatan hukum di negeri yang memiliki beribu sumber daya alam yang melimpah ini. Keprihatinan bukan karena tidak bisa mengembangkan daya upaya untuk memajukannya, tapi keprihatinan akan adanya moral yang menghambat daya upaya untuk mengembangkan dan memajukan sumber daya alam dan manusia tersebut. Mental korup yang telah membudaya sistemik dan endemik inilah yang terus menggerogoti bangsa ini sehingga sulit untuk maju dan berkembang sesuai dengan usia yang dimilikinya.

Lantas, apakah tidak ada upaya untuk menghilangkan mental tercela tersebut dari bumi pertiwi ? Atau memang “ritual suci” ini harus dipertahankan dalam setiap lini kehidupan?
Beberapa rambu sudah dilalui untuk mengekang laju kecepatan mental korup tersebut. Sejak zaman awal pemerintahan Republik Indonesia sampai saat ini, seakan tak ada habisnya dipancangkan. Hal terus berubah karena kesungguhan dari pemegang kebijakan dan lembaga yang ditunjuk tak memiliki “gigi taring” untuk benar-benar memberantasnya. Sebab itu, kemauan untuk meningkatkan kesungguhan dalam pemberantasan korupsi sampai tingkat dasar tetap terus diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melihat kendala dan kekurangan atas kinerja lembaga yang ditunjuk dari awal pemerintahan Republik Indonesia sampai awal era reformasi.

Pemberantasan Korupsi di Era Orde Lama

Di masa Kabinet Juanda, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang_Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tetapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.

Kedua, pada tahun 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Opreasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni meyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini deberhentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno sebagai ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk jalur lambat, bahkan macet (Bohari, 2001)
Korupsi di Era Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemebrantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Aguing. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat, beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johanes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo dan A. Tjokroaminoto dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini tampak tak dihargai ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentulah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga membarantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemebrantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemeberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan semakin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Pemberantasan Korupsi di Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari tim anggota ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantsana Korupsi (KPK) pada tahun 2003 untuk mengatasi, menaggulsngi dan memberantas korupsi di Indonesia, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. Sampai Desember 2006, sudah 20 kasus korupsi berhasil ditangani oleh KPK. Dengan nilai tertinggi senilai 440 miliar dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tanpa jaminan (Tempo, 2007). Hal ini merupakan sebuah peningkatan yang berarti.


Pemberantasan Korupsi di Masa Depan
Sebagai lembaga yang masih eksis, KPK dituntut untuk lebih maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu dengan cara yang cerdas dan tetap mengacu pada undand-undang yang berlaku. Walaupun pro-kontra terhadap pembubaran KPK yang digulirkan oleh beberapa elit politik terus bermunculan. Namun hal tersebut jangan menjadi batu penghalang bagi KPK untuk berhenti dari tugas mulia yang diembannya. KPK mesti berbenah diri dalam mengambil langkah dan sikap atas tindak korupsi yang memang diwariskan sejak zaman sebelum KPK ini berdiri.

Beberapa hal yang mungkin bisa meningkatkan laju kecepatan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan diantaranya:
Memosisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau intuisi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
Menjadikan pemberantasan korupsi bukan hanya menyangkut bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi lebih jauh adalah bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan anti korupsi (disinergikan dengan kurikulum sekolah), kampanye anti korupsi, daerah dan tokoh percontohan bebas korupsi (island and public figure of integrity), serta sosialisasi dan pembentukan KPK di daerah Kota/Kabupaten.

KPK harus berani menunjukkan kekuatannya untuk memeriksa seluruh warga negara Indonesia yang terjerat kasus korupsi tanpa ada “tebang pilih” pada wilayah intern-ekstern .
Akhirnya, KPK ke depan adalah KPK yang berwujud nyata tanpa keabsurd-an yang tidak jelas di mana posisi lembaga ini berada. Apakah sebagai kaki-tangan penguasa yang ingin dilindungi atau benar-benar murni lembaga yang beritikat kuat untuk memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Sebagaimana harapan seluruh warga negara Indinesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja digdaya. Herwin

Rindu Penanya



Kau tinju bulan
Kau patahi bintang
Kau injak matahari


Langkah pasti dan terarah kau ayunkan
Di tengah intaian mata sinis memandangmu
Wajah murni kau tebarkan
Nuansanya memenuhi ruang padat bumi
Yang tak indah lagi termakan usia


Seribu dua ratus tiga belas kaki kau siapkan
Yang siap untuk membelah samudera dan melintasi pegunungan
Bahkan lebih dari kaki-kaki pucat lain kau relakan
Menapaki stalgmit kebobrokan


Kadang kau pandangi mega merah dari belakang tirai kusammu
Mega merah yang dahulu indah kini tampak pucat pasi
Memandang kantong tipismu


Dahulu burung-burung sore mengantarkanmu
Memandang senja di balik sana
Kini burung-burung itu pergi entah ke mana
Meninggalkan rumah-rumah mungilnya di balik bebukitan


Kadang kau bertanya, ke mana kaki-kaki perkasa yang telah kau siapkan
dengan hempasan dahaga, dengan cucuran air mata,
dengan isak tangis dan rasa cinta


Bahkan kau rela masa usiamu berjala merangkak, terjatuh,
berdiri dan terbaring, terpental jauh melewati asa keceriaanmu
Tapi kulihat kau tetap tersenyum...
Dan matamu masih menyiratkan harapan


Kata-katamu selalu memunculkan bias cita dan kemauan
Dan kini, kulihat usiamu tak lagi muda
Kulit tubuhmu yang dahulu kencang tak lagi ada
Langkah-langkahmu yang biasa terhentak tak lagi bersuara
Kata-katamu yang dahulu membahana, lambat laun tergilas oleh masa
Kantong-kantong tipismu tak ada beda


Satu hal yang tersisa sepanjang masa
KAU GURU BERJASA
-Herwin-

Lelaki Setengah Rasa



Malam bergulir menembus relung jiwa yang terseret buliran angin bertabur bintang tersapu awan. Teriak hewan malam saling bersahutan menghiasi sunyi dari sudut kamar yang pengap dan penuh ngiang nyamuk terbentur kulit yang sejak tiga hari tak tersentuh rasa segar walau hanya seciduk air.
“Wan, kalo Lu masih kayak gini aja, Lu bakalan ketinggalan, tau,” kutuk Iman yang sejak sore tadi berkutat dengan tugas kuliahnya. Padat.
“Lu kira Gue mau kayak gini terus? Gue juga mau kayak pejabat yang kerjaannya sedikit tapi nyabet duit banyak,” bales Irwan sambil ngisep sisa puntungan rokok yang ia dapat dari tong sampah teman kos sebelahnya.
Detik jarum jam semakin menambah konsentrasi mereka berdua mengisi sisa malam yang penuh problema. Jarum jam menunjuk tepat tengah malam. Rongrongan anjing malam menambah kesunyian sekitar kamar mereka. Hening.
”Prrrrraaakk...” pecahan lampu depan kamar mengganggu ketenangan mereka.
”Keluar Lu, bocah brengsek !” cercah satu suara keras bercampur pecahan lampu depan kamar yang kesekian kali.
”Bakar... bakar... bakar... sialan!!” tambah satu orang. Bersuara serak sambil menggedor pintu.
Seorang wanita muda berwajah pucat masuk melewati jendela kamar yang sejak tadi terbuka. Bukan terbuka. Tetapi memang sengaja dibuka oleh Iman yang terbiasa menyelesaikan tugas kuliah ditemani angin malam.
”Tto... ttoo... ttolong. saya... saya mohon, jangan serahkan saya kepada mereka,” suara wanita itu parau. Memohon kepada dua lelaki pemilik kamar yang memang tak kenal siapa sebenarnya wanita asing yang berani melompat masuk lewat jendela kamar mereka diikuti teriakan ramai orang di depan.
”Buka, cepet! Kalo nggak, gua dobrak nih pintu. Buka!!” paksa seorang yang sejak tadi berteriak tak acuh di depan kamar mereka.
”Tolong, jangan kalian buka pintu ini, saya tidak bersalah,” kepucatan semakin terlihat di wajah wanita yang jelas-jelas wajahnya mirip salah satu artis ternama di TV.
”Sebenernya, apa yang Lu kerjain? Lu nyuri?!” wajah panik Iman tergambar jelas mengimbangi keterkejutan Irwan yang mendadak bangun dari duduk santainya.
”Terus, kenapa banyak orang teriak-teriak di depan?!” digilasnya dengan kaki rokok yang sejak tadi menemani Irwan mengkhayal tentang masa depan. Tapi khayalan itu kandas setelah seorang wanita tak dikenalnya masuk secara mendadak ke kamarnya.
”Udah, deh. Sekarang apa yang harus kita kerjain biar kita semua gak ada yang dirugiin?!,” selak Iman memutus perdebatan Irwan dan wanita asing tanpa basa-basi.
Teriakan ramai di luar semakin menambah detak jantung ketiga orang yang berada di kamar sempit itu. Terdengar samar bisik diskusi antara Irwan dan Iman ditelinga yang berhias anting bercahaya perak dari wanita asing tersebut....
***
Sisa angin fajar terasa sejuk di wajah ketiga sosok penghuni kamar semalam. Buratan garis sinar mentari pagi hampir muncul terseret awan, beriring, berarak-arakan membayangi rasa peluh ketiga sosok penghuni kamar yang berhasil lolos dari kejaran maut yang mengancam nyawa mereka. Hamparan padi menghijau dari kejauhan. Rona kuning kemerahan merangkak dari balik deretan gunung. Tak terbayang masih. Irwan memandangi kedua orang di sebelahnya. Guratan rasa lelah terlihat jelas pada rona wajah kedua orang itu. Dipandangi satu persatu orang tersebut. Irwan tercengang. Seolah tak percaya. Dia pandangi kembali wanita yang sedang terlelap kecapekan akibat jauh berjalan sejak orang-orang kampung Soja mencari mereka hingga terpaksa harus lari dari sana. Irwan mencoba menyeka-nyeka kedua matanya...
Gita...?! ya ampun, ngapain dia ke sini? Terus, kenapa orang-orang Soja ngejar-ngejar dia?. Ungkapnya dalam hatinya seolah tak percaya.
Iman mulai membuka matanya perlahan-lahan. Belum terbuka seluhnya, sinar pagi mencuap masuk ke kelopak matanya yang sayu. Kembali dia menutup sesaat kemudian mencoba memaksa untuk membuka. Dari samping, dia menoleh ke Irwan, ”Eh, ngapain Lu ngeliatin aja tuh cewek, naksir Lu?” Iman mencoba bercanda. Mungkin dia sedikit terlupakan oleh peristiwa semalam. Tetapi, bagi Irwan, peristiwa semalam memang pahit. Namun yang membuat dia bertanya-tanta adalah mengapa penyebab terjadinya peristiwa semalam adalah gadis itu. Ya, Irwan mengenal gadis itu.
Lima tahun yang lalu. Tidak lama memang. Tetapi lima tahun yang ditinggalkan Irwan adalah hal yang menggariskan memori baginya, terlebih dengan gadis yang ada bersamanya sekarang. Gita. Memang seorang gadis yang dahulu pernah jatuh hati dengan Irwan semasa mereka sekolah di Yogja. Namun karena orang tuanya melarang bergaul dengan Irwan, dengan alasan keluarga si gadis berasal dari keturunan ningrat, dan Irwan, dia hanya anak dari pesuruh di kelurga si gadis itu. Orang tua si gadis terpaksa memindahkan anaknya untuk sekolah di Surabaya.
”Eh... Wan, Lu kenapa sih?” tangan Iman melayangkan tepakkan sedikit nyeri di punggung Irwan.
”Sssttt... diam, Gue kenal sama gadis ini!” Irwan mencoba menepis pikiran buruk Iman.
”Sumpah, Wan? Yang bener Lu?!” ketidakpercayaan Iman bersatu dengan kicauan burung pagi yang terbawa angin menembus aliran sungai dihadapan mereka. Pancaran sinar kuning sedikit-sedikit mengintip percakapan mereka dari balik dedaunan. Titik-titik embun pagi dari rerumputan memantulkan gerak awan. Sesekali burung-burung kecil turun ke hamparan nan hijau mematuk sisa buliran padi hasil semaian penanamya.
Gadis cantik yang sedang mereka bincangkan mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya. Rupanya mentari pagi semakin bergeser mengajak setiap yang dilewatinya untuk bersama meyambut pancarannya. Sesekali ia mencoba membuka. Lagi-lagi mentari bergerak genit menyilaukan mata lentik si pemiliknya untuk membuka. Ia bergeser sedikit untuk menghindar. Dan kembali mencoba untuk memandang pagi yang sejuk.
Detak jantung Irwan menghentak tak beraturan. Iman, sebagai sahabatnya mengetahui benar apa yangs sedang dirasakan oleh sahabatnya. Irwan mencoba menundukkan pandangan. Lalu ia angkat kembali memperhatikan wanita di hadapannya.
Wanita berambut hitam itu sudah berhasil menggenapkan pandangannya. Dia sisiri pemandangan di sekitarnya. Pandangan kosongnya menyapu sudut-sudut hamparan sawah yang masih sepi dari belaian pekerjanya. Berkali-kali ia gerakkan kedua tangannya sambil terus memandangi kejaran burung-burung mungil berebut buliran padi. Riang. Gerakkan tangannya seketika berhenti ketika pandangannya tepat berbentur dengan pandangan kedua orang di sampingnya. Dia pandangi lebih dalam kedua orang yang lebih dahulu memperhatikannya.
”Irwan...? Kamu Irwan, kan...??” ungkapan keterkejutannya dilepaskan setelah melihat jelas salah seorang yang sejak tadi memperhatikannya. Angin pagi semakin sejuk bergulir. Sinar mentari pagi mulai redup terbentur gumpalan awan yang menemani pertemuan mereka.
” Dan, kamu...”
” Ya, aku, Gita, Wan,” ungkapan kegembiraanya mulai terpancar. Burung-burung mungil bertambah riang terdengar dan semakin riang ketika beberapa bagian berkumpul dari arah lain. Ramai.
***
Aliran sungai mengalir tenang. Di antara alirannya tertata pohon-pohon kecil behimpit bebatuan. Sesekali terlihat ikan-ikan kecil bersembunyi diantara keduanya.
Iman duduk termenung. Menyendiri ditemani rerumputan yang tertiup angin. Tidak disangka. Harapan untuk menyelesaikan kuliahnya kandas setelah kejadian tadi malam. Dia harus rela meninggalkan seluruh bekal kehidupan yang selama ini diperolehnya. Hanya pakaian yang melekat di badannya yang berhasil ia selamatkan. Karena panik, tak dapat berpikir dua kali selain melarikan diri dari kejaran maut di depan matanya. Sesekali ia menorehkan pandangannya ke arah dua orang di belakangnya yang berjarak sepelemparan batu. Irwan dan Gita sedang menumpahkan keluh kesahnya. Sengaja ia menghindarkan diri sejenak. Tak ingin mengganggu pertemuan dua orang tersebut.
Kembali Iman memandangi ikan-ikan kecil yang sejak tadi mengumpat di sela-sela pohon kecil dan bebatuan. Seolah ingin bercanda, ikan tersebut berulang kali memunculkan mulutnya ke permukaan. Iman terus memandangi tanpa tahu sebenarnya apa yang harus ia lakukan setelah ini. Tangannya mencoba memetik rumput di sampingya. Membersihkan kemudian menggigit-gigitnya. Pandangannya kosong menatap ke seberang sungai. Tampak sekumpulan petani berpeluh lelah mengendalikan kerbaunya membajak sawah. Di sudut-sudut hamparan nan hijau. Dengan menggunakan sabit. Beberapa wanita separuh baya asyik menyiangi panen hari ini. Bertambah indah saat sekerumunan burung hinggap di orang-orangan sawah.
Iman mencoba berdiri. Memusatkan pandangannya pada lambaian gunung nan kokoh. Mendongakkan kepala menghirup napas dalam-dalam. Setangkai batang rumput masih dimainkan dalam gigitannya.
Sebenarnya apa dosa Gue? Gue gak nyangka bakal begini. Terus, kenapa mesti wanita yang dikenal oleh Irwan itu yang mesti hadir dihadapan Gue dan Irwan?
Untaian pertanyaan dalam benaknya terus bergulir. Bergulir rapih diiringi rombongan gumpalan awan yang menari indah di angkasa....
Mentari tampak mulai terasa menyilaukan. Dua orang yang sejak tadi duduk bersampingan sesekali menghalangi pancaranya dengan jemari.
”Maafkan aku, Wan. aku terpaksa lari dari rumah,” ungkap penyesalan wanita berambut lurus itu. ”Ketika Bapak memindahkanku ke Surabaya, jabatan Bapak meningkat pesat. Bapak diangkat menjadi orang nomor satu di Yogjakarta. Bapak semakin sibuk. Walau setiap yang aku inginkan dikabulkan oleh Bapak, tapi aku merasa kesepian karena susah untuk berkumpul bersama,” untaian isi hati Gita terus mendapat perhatian dari Irwan.
”Jabatan tinggi yang Bapak terima semakin membutakan hati Bapak. Bertambah sering ia pulang malam. Pernah ibuku mendapati beliau pulang dalam keadaaan mabuk. Dak tidak disangka kalau Bapak juga datang dengan memarahi ibu bila sudah mabuk. Ibuku mulai resah,” titik-titik sejuk tampak di matanya. Angin pagi mulai berkurang. Sinar mentari bertambah terang. Burung-burung kecil berkejaran menuju pohon-pohon rindang.
”Lalu, kenapa kamu bisa sampai ke sini? Dan... apa yang kau lakukan dengan penduduk Soja?” keingintahuan Irwan semakin menambah sekatan di hati Gita.
”Sebulan yang lalu. Saat aku hendak berlibur di rumah. Aku mengharapkan liburan yang benar-benar menarik untuk keluargaku. Tapi... ” Titik-titik jernih di sudut matanya mulai jatuh. ”...ketika aku baru tiba di depan rumah. Kudapati ibu sedang menagis di teras depan. Kudapati kerumunan orang dan beberapa wartawan media terus menggali informasi dari aparat. Kulihat...” Titik-titik air dingin semakin sering berjatuhan di pipinya. ”...Bapak sedang dimasukkan ke dalam mobil tahanan. Kudengar cercaan seorang warga dari balik kerumunan bahwa ayahku ternyata seorang koruptor. Kupeluk ibu. Semakin bertambah kesedihan diwajahnya. Kurasakan tubuhnya semakin kurus. Mungkin lantaran perubahan Bapak yang selama ini memakan pikirannya,” tangannya mencoba membasuh air di pipi. Irwan menundukkan mukanya.
”Seketika ibuku shock dan meninggal dunia. Aku menangis parau. Menangisi dua hal berbeda yang aku terima di saat awal liburanku. Sementara aku belum bisa bersapa dengan Bapakku. Aku harus rela ditinggalkan ibu untuk selamanya,” tangan lentiknya kembali mengusap aliran dingin di sudut hidungnya. Belaian angin mulai hadir kembali.
”Seluruh harta keluargaku di sita. Aku terpaksa pergi meninggalkan Yogja dan tak sempat menjenguk Bapak karena malu atas perbuatannya,” pandangannya mulai terarah. ”Aku meninggalkan Yogja tak tentu arah ingin ke mana selanjutnya. Aku hanya menuju ke mana kekosongan hatiku menuntun. Dan ketaksengajaanku singgah ke Desa Soja pun karena arahan kegundahanku. Mungkin karena dosa Bapakku. Ketika Aku mencoba menolong seorang yang terkapar di tepi jalan dan aku tak tahu bahwa sebenarnya orang tersebut mati terbunuh. Seseorang yang sedang lewat mengira aku telah membunuhnya. Serta merta orang itu berteriak dan membuat sekerumunan warga mulai menambatkan bahwa akulah pembunuhnya. Aku Mencoba untuk menyelamatkan diri dengan berlari tak tahu di mana aku dapat menyelamatkan nyawaku. Dan kutemukan dalam keadaan tak berpikir, melompak ke sebuah jendela yang masih terbuka di tengah malam. Maafkan aku, Wan. Aku tak bermaksud merepotkan kamu dan kawanmu,” bias kepiluannya terlihat dari garis-garis wajahnya yang memerah.
Irwan terus menundukkan pandangannya. Pikirannya jauh melayang mengingat betapa hebat kekuatan keluarga Gita dahulu namun kini hilang tak berbekas.
***
Bayangan pepohonan mulai tertutupi tinggi aslinya. Buratan garis-garis awan putih mulai tertembus cahaya. Semakin sedikit burung-burung kecil yang berani terjun ke hamparan hijau. Pekerja sawah mulai memaksakan diri untuk sedikit beristirahat pada panggung-panggung kecil di tengah keluasan hamparan. Iman masih duduk dipinggiran sungai. Setangkai batang rumput masih menempel di bibirnya. Pandangannya masih kosong tertutupi awan semesta. Kegalauan hatinya mulai tampak dalam gerak-geriknya. Berulang kali ia lepaskan matanya kepada dua orang di belakanya yang sejak tadi tak menghiraukannya. Kegalauannya semakin menjadi ketika tak tampak lagi ikan-ikan kecil yang sejak tadi menemaninya.
Terik mentari semakin menyengat. Tak ada atap untuk sekedar mengurangi sengatan mentari pada kepalanya. Bertambahnya terik mentari semakin menambah labil keseimbangan emosi Iman. Dengan napas tersengal. Iman berdiri dan melangkahkan kakinya menuju dua insan yang berbeda. Langkah kakinya semakin cepat semakin ia dekat dengan keduanya. Siratan rasa sesalnya menghinggapi ruang panas semesta. Jalan pikirnya tertutupi asa keegoisan dunia. Dengan wajah tak ramah saat ia tiba dihadapan keduanya. Ia lepaskan setangkai rumput dari bibirnya.
”Wan, Gue mau Lu ambil keputusan sekarang. Lu pilih Gue apa Wanita sial ini?!” wajah emosinya tampak jelas di mata Irwan dan Gita.
”Man, maksud...?” Irwan mencoba berunding. Gita menundukkan wajahnya.
”Maksud Gue, Lu masih mau temenan sama Gue atau Gue jauh dari Lu?!” keseriusan emosinya semakin menggila.
”Maafkan saya telah merepotkan kalian. Terima kasih atas pertolongan kalian,” Gita berdiri dan melangkahkan kakinya meninggalkan kedua lelaki dihadapannya. Sekilas matanya berbenturan rindu dengan Irwan. Tak tahu harus ke mana ia melangkahkan diri untuk melanjutkan kehidupannya.
Tanpa sepatah kata. Iman meninggalkan Irwan yang tetap berdiam duduk dengan wajah menunduk....
Irwan tetap duduk menyendiri. Rumput-rumput kecil dihadapannya menjadi saksi. Sedikit terlihat burung-burung kecil menaruh iba. Herwin