04 Februari 2009

Titik Nadir SG UIN Jakarta


Tak terasa. Satu tahun lebih –2007/2008- Adi Jonathan ‘menduduki’ Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta. Tak terasa pula apa yang telah dipersembahkannya untuk seluruh warga mahasiswa UIN Jakarta. Bukan lantaran banyaknya hal-hal berarti yang diberikan kepada warga negaranya. Tetapi memang tak terasa karena hampir lebih dari satu tahun, SG UIN terkesan mandul dan berjalan di tempat. Tak satupun aspirasi mahasiswa yang diperjuangkan. Dari mulai ketersediaan buku-buku referensi yang mumpuni di tiap-tiap perpustakaan, keterbukaan pihak rektorat dalam mengemukakan gagasannya dihadapan mahasiswa dan yang paling parah adalah Lembaga Eksekutif UIN sudah mengabaikan aspirasi teman-teman keluarga besar UKM dalam menumbuhkan demokrasi di UIN Jakarta.

Belum hilang luka teman-teman sebagai mahasiswa yang dikekang hak-haknya. Kini kita lihat kembali ‘wajah-wajah semu’ bertaburan terpampang di setiap sudut, lorong, kelas sampai tempat untuk membuang hajat bagai barang dagangan yang dijejerkan di pinggir jalan. Kita dapaksa untuk kembali memilih dan mendukung ‘wajah-wajah semu’ tersebut Seolah-olah ‘wajah-wajah semu’ itu akan membawa dan memperjuangkan hak-hak kita seperti janji-janji basi yang dahulu dilontarkan oleh ‘guru-guru’ mereka yang juga memberi janji semu dan sok idealis. Janji tinggal janji. Setelah mendapat ‘kue’ kekuasaan mereka lupa bahwa hak-hak kita mesti diperjuangkan.

Bermacam warna dan bentuk bendera dipertontonkan. Berbagai isu dan kebijakan abu-abu juga mereka tawarkan. Kebijakan absurd tanpa realisasi dan kesungguhan untuk ditorehkan. Kampus ini seakan dijadikan milik golongan tertentu dengan meletakkan simbol-simbol buta tanpa arah dan alasan fakta. Simbol ‘Kampus Hijau’, ‘Kampus Biru’, ‘Merah’, ‘Kuning’ atau apalah warnanya, mereka anggap sebagai Tuhan demi mendapat suara dan kedudukan yang mampu memberikan mereka ‘kue’ kekuasaan yang lebih besar.

Ironis memang. Kampus yang diwacanakan akan menuju kampus kelas mendunia dan universal, ternyata masih ada ‘zombi-zombi’ hitam yang terus menggerogoti cita-cita mulia tersebut demi kesenangan pribadi dan golongan. Dan belum terlihat SG UIN mencoba untuk bersama bekerja keras mewujudkan itu semua. Yang jadi masalah besar adalah ternyata kerusakan itu dimulai dari dalam SG UIN sendiri. Saling berebut ‘kue’ kekuasaan dan mengalihkan Dana Mahasiswa yang tak jelas akuntabilitasnya menambah jijik dan malu bila UIN bersanding dengan perguruan tinggi lokal apalagi bermimpi untuk mengejar kampus yang mendunia. Jauh panggang dari api.

Tuntutan untuk SG UIN Jakarta ke depan

SG UIN Jakarta, sebagai wadah aspirasi hak-hak mahasiswa sudah menjadi kewajiban untuk terus membela dan memperjuangkan segala kebutuhan masyarakat UIN dalam memperoleh hak-haknya tanpa ada gap dan intimidasi dari pihak manapun sejalan dengan sifat masyarakatnya yang dinamis.

Kesembronoan pejabat legislatif yang sudah mencapai puncak stadium mesti kita kikis bersama. Dan kita harus sudah mulai lebih cerdas dalam memilih mereka. Memilih bukan karena besar atau kecilnya massa pendukung di balik lokomotif mereka. Tetapi memilih atas landasan track record dan kemauan yang kuat dari ‘wajah-wajah semu’ tersebut untuk mengembalikan SG UIN pada landasan dan cita-cita yang terarah dan mampu menjadi solusi bagi negeri. Bukan sebagai wadah yang menambah berbagai masalah bagi masyarakat karena berlatih untuk melakukan korupsi dan tipu daya demi mencapai kepuasaan atau sekedar ingin dikatakan sebagai ‘artis’ di kampus.

SG UIN harus mampu berbuat lebih banyak tentang hal yang positif dan mengembangkan potensi masyarakat sekitar kampus dengan corak ragam daerah yang dimiliki. Sehingga UIN Jakarta mampu menjadikan masyarakat sekitar sebagai sistem sosial yang cerdas dan dapat diperhitungkan.

Memperjuangkan alokasi dana mahasiswa yang disediakan untuk kegiatan akademik dan pengembangan kepribadian mesti disalurkan secara akuntabilitas tanpa korupsi, memperkaya diri dan golongan sendiri.

SG UIN Jakarta harus lebih menggiatkan aktivitas-aktivitas akademik yang berbasis research agar budaya intelektual tetap terpelihara dan terus berkembang sehingga menghasilkan berbagai macam teori dan terapan yang mampu menyumbangkan aset besar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Berani untuk bersih, jujur dan adil

Amunisi dari masing-masing pengusung sudah disiapkan. Strategi untuk mendulang suara tertata rapi. Lantas, sejauh mana masing-masing pengusung akan bermaian secara bersih, jujur dan adil dalam ‘pertikaian’ politik kampus? Ini pertanyaaan besar bagi masing-masing pengusung untuk mencerminkan bahwa apa yang diusung dan di jabarkan benar-benar turut membantu meningkantkan kualitas SG UIN Jakarta atau malah merusaknya. Maka, bila dalam proses mencapai puncaknya sudah menimbulkan ‘bercak-bercak ‘ kotor dan menodai pondasi bangunan –SG UIN- yang sedang dirapihkan. Maka jelas pula apa yang akan mereka jalankan dalam roda pemerintahannya. Tak lain adalah memperkaya diri dan nengacuhkan semua janji serta kebijakan yang akan diambilnya adalah kebijakan ‘kantong jas safari’, seberapa besar keuntungan untuk diri dan golongannya seperti itulah kebijakan yang akan diputuskannya.

Namun bila dalam proses pencapaian puncak kekuasaan dengan bersih, jujur dan adil. Maka ke depan, SG UIN akan mampu menjadi lokomotif peradaban negeri. Dan untuk mencapai itu. Suara kitalah yang menentukan. Maka, gunakan suara kita dengan pertimbangan yang matang dan terarah dalam PEMIRA UIN Jakarta tahun ini. Herwin