07 Agustus 2010

Selai Janji

“Siapa bilang Gue, gak kenal Dia?” Rere menyeruput jus apel yang sejak tadi dimainkan oleh jari-jarinya.
“Jadi, Lu pernah ketemu dia?! OMG!! Kenalin, dong ke Gue, Re. Pliiss,” Dila menggoyang-goyagkan bahu Rere dengan tampang memohon.

“Uhhukk… uhhukk… uhhukk… Parah, Lu, ya?! Gak liat Gue lagi minum gini apa? Untung katup kerongkongan Gue masih orisnil,” celetuk Rere sambil membersihkan percikan jus apel yang jatuh di meja kantin kampus.
“Ya, maaf, Bu. Tapi beneran Lu pernah ketemu dia? Mau dong, Re,” pinta Dila mengulang.
“Beneran Lu mau?”
“Jadi Lu bakalan ngajak Gue buat ketemu dia?!”
“Bukan, tapi ini…”
“Aduhh… Rere. Awas Lu, ya. Jadi kotor nih muka Gue,” teriak Dila sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah orang yang memercikkan jus apel dari sedotan tepat ke wajahnya.
“Hahaa… Satu sama. Gue cabut dulu ya. Ada janji sama nyokap. Sii yuu… Mmuaaccchhh…” sambil tersenyum dan sedikit berlari, Rere meninggalkan Dila yang masih menggerutu di sudut meja.
Pukul dua siang. Sedikit sinar terik yang dipantulkan jalan beraspal legam berbaur masuk melalui kaca depan Honda Jazz biru. Merasa udara di kabin mulai hangat, tangan kirinya menekan tombol AC yang menyumbul merayu pada dashboard.
Mata kuliah Komunikasi Statistik tiga jam lalu membuat gadis yang dianugerahi nama Retno Dwi Jayanti oleh kedua orang tuanya itu banyak memeras otak. Dan untuk menenangkan otot-otot kepalanya ia rela memeras sedikit isi dompetnya untuk mentraktir segelas jus untuk Dila.
Lantunan lagu JAP milik Sheila on 7 dari tape Honda Jazz yang biasa dia bawa menyentak konsentrasinya. Pikirannya menuju pada Dila dan seseorang yang dibicarakannya saat mereka duduk di kantin selesai mata kuliah beberapa jam lalu. Memori di kepalanya melayang beberapa saat mengingat kata-kata yang diucapkan seorang laki-laki ketika mereka meninggalkan acara perpisahan SMA tiga setengah tahun yang lalu.

Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue

Bayang-bayang lamunannya pudar berpencar dipecahkan bunyi klakson bus kota yang berada tepat dibelakang Honda Jazz birunya. Rere baru tersadar bahwa lampu hijau dipersimpangan sudah menyala. Dalam hitungan detik tangan kirinya mengayun ke persneling dan melaju menyisakan ocehan tak jelas dari kernek bus kota.

***

“Aryo… Cepat turun! Kamu mau ikut sarapan bareng, tidak?” panggil Tante Susan setelah sun kanan-kiri pada Om Bagas.
“Iya, Ma. Sebentar,” sambut Aryo sambil mengarahkan kursor dan menekan fitur sign out pada note book-nya.
“Jadi, Papa berapa lama di Singapur?” tanya Tante Susan pada suaminya.
“Ya, tergantung klien, Ma. Tapi paling lama dua minggu,” sahut Om Bagas sambil mengoleskan selai kacang di atas roti tawar yang disodorkan Tante Susan.
“Pagi, Ma. Pagi Pa,” sapa Aryo dan langsung duduk mengambil roti berisi selai cokelat yang sudah disiapkan oleh Mamanya.
“Pagi ini jadi berangkat, Pa? Mau Aryo antar ke bandara, Pa?”
“Jadi, dong. Masa janji sama klien tidak ditepain? Bisa hilang nanti kepercayaan mereka sama perusahaan Papa,” canda Om Bagas.
“Oh, jadi kalo nggak tepain janji sama anaknya nggak apa-apa, ya?” bales Aryo sedikit tersenyum. Om Bagas yang merasa tersindir juga tersenyum-senyum dihadapannya.
“Wajar, dong, Aryo. Papamu kan sibuk. Yang antar Papa ke bandara pagi ini Mama,” Tente Susan berusaha membela suaminya. Senyum Om Bagas sempurna mendengar pembelaan dari istrinya.
“Loh, Mama ikut juga ke Singapur? Katanya Mama mau ada pameran butik sama teman-teman Mama,” selidik Aryo.
“Mama cuma antar papa sampai bandara, terus langsung ke apartemennya Tante Alina untuk meeting pameran butik minggu depan,” potong Om Bagas.
“Gimana kabar kamu sama Bella? Baik-baik, kan?” Selidik Om Bagas.
“Oh… Hmm, baik, Pa,” tanggap Aryo singkat. Mendengar pertanyaan Papanya tentang Bella, napsu sarapan Aryo berkurang.
“Kayaknya kamu makin cocok, deh, sama putri semata wayangnya Om Edwar itu,” sambung Tante Susan memastikan.
“Ah, Mama. Aryo dan Bella, kan masih saling mengenalkan diri,” jawab Aryo. Malas.
“Kamu bisa belajar bisnis juga sama Om Edwar, Aryo. Cobalah saling mengenal lebih dekat lagi,” kembali Om Bagas menekankan bahwa ia merestui hubungan Aryo dengan Bella.
“Iya, Pa. Hmm… Eh, Pa. Rencananya Papa mau kerja sama apa sama klien Papa yang di Singapur?” potong Aryo mencoba untuk mengalihkan pembicaraan tentang dirinya dan Farah Bella Anugerah, putri Om Edwar yang juga rekan bisnis Papa.
“Cuma ingin mengembangkan bisnis Papa. Rencananya Papa mau buka kantor baru di sana. Makanya kamu harus banyak belajar sama Om Edwar untuk memegang bisnis Papa yang di Singapur itu,” balas Om Bagas meyakinkan Aryo.
“Eh, ayo, Pa, kita berangkat. Satu jam lagi pesawat take off, loh. Hmm… Aryo, jangan lupa sampaikan salam Mama untuk Bella, ya. Ajaklah dia main ke sini. Mama kangen, nih, sudah lama nggak ngobrol sama dia,” tambah Tante Susan yang juga ingin meyakinkan Aryo.
“Hmm… Iya, Ma, Pa.” bales Aryo ringan.
“Ya sudah, Mama antar Papa dulu ke bandara ya,” muachh… muach… Cium Tante Susan untuk putra semata wayangnya.
“Hati-hati ya, Ma, Pa.”
Hening sekejap menyapa. Aryo bermain dengan pikirannya. Potongan roti berisi selai cokelat kesukaannya tersisa. Entah apa yang menyebabkannya. Biasanya dia paling bersemangat bila sarapan pagi dengan roti berisi selai cokelat itu. Keheningan yang merayap itu membawa ingatannya pada acara perpisahan SMA dulu. Wajah Rere mulai hadir dalam bayangannya. Dan kata-kata yang dulu dia ucapkan pada Rere ikut berpendar dalam sayup-sayup kerinduan.

Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue

Kata-kata itu. Ya, kata-kata itu seolah menyatu dalam dekapannya. Entah kapan dia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kecondongan hatinya terhadap Rere. Dan entah sampai kapan Rere bersabar menunggu hal itu.
Tlitt…Ttlitt.. Tlitt… Suara handphone Aryo memanggil. Mebuyarkan harmoni angan-anagnnya tentang Rere.
“Ya, halo,” sahut Aryo sedikit dipaksakan.
“Pagi, sayang. Kamu baru bangun, ya?” sapa Bella.
“Oh, udah dari tadi, kok. Aku lagi sarapan, nih,? Kamu sudah sarapan?” balas Aryo basa-basi.
“Ya, sudah. Eh, Kamu jadi, kan mau antar Aku ke salon dan ke fashionshop hari ini?” tanya Bella memastikan.
“Jadi dong, sayang. Jam berapa mau Aku jemput?” sambung Aryo.
“Satu jam lagi, ya. Aku baru selesai renang, nih.”
“Oh, ya udah. Tunggu, ya.”
“Ya, Aku tunggu. Kiss me!
Mmuuaacchhh… Sii yuu, honey
Mmuuaacchhh… Sii yuu tuu, sayang.”

***

Janji. Ya, mungkin bisa disebut begitu. Mungkin juga janji yang tak akan pernah terjawab. Bila memang janji itu benar-benar untuk dirinya, tidak bolehkah dia berharap? Walupun harapan itu hanya tersimpan dalam hatinya untuk menunggu. Atau memang janji itu terbatasi oleh ruang hampa yang menyelimuti kenangan masa lalu antara mereka berdua. Kenangan yang datang dan pergi tanpa meninggalkan buih dan asap kenyataan. Sepi tanpa irama kepastian.
”Belum tidur, sayang?” sapa Tante Rayya.
“Hmm… Eh, Mama. Belum, Ma,” sambut Rere sambil memeluk Winny kesayangannya. Boneka yang masih meninggalkan kenangan antara dia dan Aryo saat SMA dahulu.
“Sedang ada masalah?” belai Tante Rayya pada putri tunggalnya.
“Cuma belum ngantuk aja, Ma,” bales Rere semakin merasakan belaian cinta Mamanya.
“Sudah malam, loh. Besok ada kuliah, kan?”
“Ada, Ma,” jawab Rere ikut membelai Winny meniru belaian Tante Rayya terhadap dirinya.
“Bener, nih tidak ada masalah? Nggak mau cerita ke Mama? Jelek-jelek begini, Mama Psikolog, loh,” rayu Tante Rayya yang melihat ada sesuatu dalam pikiran putrinya.
“Ma…”
“Ya, sayang,”
“Sebelum Mama jadian sama almarhum Papa dulu, Papa pernah mengatakan sesuatu yang mirip-mirip janji ke Mama, nggak?”
“Duhh… kayaknya putri Mama sedang jatuh cinta, ya? Boleh kenalin sama Mama, dong,” goda Tante Rayya.
“Ah, Mama, nih, sama aja, deh kayak Dila,” wajah Rere sedikit meranum.
“Oh, jadi beneran, ya, putri Mama sedang jatuh cinta. Kalo Dila nggak boleh tau, masa Mamanya sendiri nggak boleh tau juga, sih?” Tante Rayya tersenyum.
“Ihh, Mama. Jawab, dong pertanyaanku,” peluk hangat Rere ke tubuh Mamanya.
“Janji apa, ya? Kayaknya Papa kamu dulu nggak pernah janji apa-apa deh,”
“Beneran, Ma? Masa nggak ada satu katapun yang diucapin Papa ke Mama. Terus kenapa Mama sama Papa bisa jadian dan langgeng bisa membangun rumah tangga?” belai jemari Rere pada tangan Mamanya.
“Seingat Mama, sih, Papamu nggak pernah janji apa-apa ke Mama. Cuma waktu sebelum kami berpisah dari SMA, almarhum Papa kamu cuma bilang…”
“Bilang, apa, Ma?! Kasih tau Rere, dong, Ma!” potong Rere semakin menghangatkan pelukannya pada Tante Rayya.
“Bilang apa, ya? Papa kamu cuma bilang, ‘Rayya, suatu saat, bila Aku sudah yakin, Aku akan mengutarakan ke orang tuaku tentang harapanku ke Kamu. Aku mohon Kamu bisa memahami, ya.’ Setelah itu Mama dan Papa berpisah untuk kuliah di tempat yang berbeda,” bales Tante Rayya dengan pelukan hangatnya seorang Mama.
“Dan setelah Mama dan Papa selesai kuliah, Papa menepati janjinya ke Mama, ya?"
“Mama nggak tau itu janji atau bukan, Rere. Yang jelas Papa kamu datang bersama keluarganya untuk meminang Mama. Sehingga Mama dan Papa kamu bisa membangun keluarga juga dianugerahi putri secantik kamu,” sambung Tante Rayya.
“Hmm, jadi saat itu Mama nggak menganggap itu sebagai janji, ya, Ma?”
“Ya, saat itu Mama cuma mendengarkan dan Mama simpan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk Mama saat perpisahan SMA,” belai jentik jemari Tante Rayya pada rambut putrinya.
“Gitu ya, Ma? Ma kasih ya, Ma,” kecupan cinta Rere di kening Tante Rayya.
“Ya sudah. Segera tidur. Sudah larut malam,” balas kecupan hangat Tante Rayya pada kening Rere.
***
Ruang parkir kampus sedikit renggang. Mungkin karena hari ini Sabtu. Sedikit kelas yang belajar. Kalau tidak karena tambahan makalah pun, sebenarnya hari ini Rere libur.
Rere menempatkan Honda Jazz birunya tepat di bawah pohon rindang. Memang beda udara hari ini dan kemarin. Rere sedikit mendapat bonus kesejukan pagi ini. Rupanya sedikit berkurang kendaraan di ruang parkir pagi ini membuat volume Oksigen yang singgah di paru-paru Rere bertambah banyak. Rere turun menuju kelas di lantai dua merasa siap dengan mata kuliah hari ini.
“Re, tunggu!” teriak Dila sambil merapikan ujung jilbabnya dan sedikit berlari kecil.
“Eh, pagi-pagi udah teriak serak gitu, Lu. Malu tau. Tuh, Lu diliatin orang,” tunjuk pandangan Rere ke sekerumunan mahasiswa UKM yang sedang latihan mingguan.
“Ah, biarin,” wajah Dila sedikit ranum.
“Tumben Lu nggak bawa mobil?” selidik Rere.
“Dipake Abang Gue. Mau jalan sama gebetannya. Maklum, masih status pinjaman dari BoNyok,” Sahut ceplos Dila.
“Eh, Re. Entar anter Gue ya ke Pameran Butik di GI,” rayu Dila.
“Pameran Butik? Sejak kapan Lu dateng ke pameran begituan?” celetuk Rere.
“Ya, anter Gue ya, Re,” rayu Dila sambil memijit-mijit pundak Rere.
“Ih, hombreng Lu, ya? Malu tau diliatin orang”
“Mau kan anter Gue, Re. Pliss…” rayu Dila dengan aksi memijit yang semakin membuat kerumunan orang-orang memandang ke arah mereka.
“Eh, geli, tau. Iya… iya… entar Gue anterin. Tapi Lu yang beli bensin, ya?” tanggap Rere terpaksa karena malu diperhatiin orang-orang di sekitarnya.
“Tenang aja. Gue dapet uang rental dari Abang Gue. Hahaa…”
“Huu… Dasar curang, Lu”

***

Ruang pameran berbagai macam butik di GI Shoping Town ramai meriah. Berbagai stand aneka produk tersusun rapi. Maha karya tradisional dan modern berdiri indah pada etalase-etalase cantik hasil kreasi seni selera tinggi. Ribuan art & craft menyatu dalam keindahan lautan busana ekspor-impor. Dila yang memang berniat total untuk hadir ke tempat ini tersenyum terperangah tanpa peduli isi dompetnya. Entah hanya sebatas mencuci mata atau memang ada gadjet yang sungguh-sungguh dia buru. Rere yang melihat temannya terperangah seperti dirasuki hantu hanya tersenyum tipis membayangkan entah apa yang ada dalam ruang kepala Dila.
“Aje Gile!! Kaseup pisan, euy!!” sontak kekaguman Dila.
“Yah, bahasa kampungya keluar. Ini tempat ekslusif, Non,” celetuk Rere sambil memandang ke sudut lain.
“Eit… Iya, ya. Sori… Sori,” sahut Dila sedikit malu.
“Baru nyadar, Mpok?” canda Rere pada wanita blasteran Jakarta-Bandung itu.
“Ah, udah, dong. Malu, tau. Eh, Re. Kita ke sana, yuk!” ajak Dila lansung menarik lengan Rere tanpa kesepakatan.
Dila dan Rere melangkah menuju stand bertulis Butik Susan. Tiba di ruang stand, Dila lekas mencari fashion buruannya untuk acara lamaran kakaknya bulan depan. Rere yang sejak tadi menuruti saja apa kata Dila mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam stand itu. Entah hanya perasaanya atau memang sungguh-sungguh ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Rere mulai merasa risih karena mungkin memang ulah aksi tawar-menawar Dila dengan pelayan stand yang menyebabkan seseorang di sudut stand itu mulai memperhatikannya. Rere mulai merasa harus mengakhiri aksi kesemrawutan tawar menawar Dila dengan pelayan stand.
“Eh, Dila. Udah, yuk. Cepetan, tau,” rayu Rere.
“Ya, jangan segitu dong, Mbak. Kurangin, ya?” Dila masih terus beraksi dengan tawar-menawarnya. Rere semakin risih dengan aksi temannya itu.
“Permisi. Rere, ya?” tanya seseorang itu ragu-ragu dari balik manekin yang terhalang posisi Rere. Rere yang masih belum melihat wajah seseorang yang mengenali dirinya itu memutar-mutar pandangannya mencari seseorang tersebut.
“Rere, kan? Apa kabar ?Masih inget Gue?” sambung seseorang yang mulai menampakkan dirinya di hadapan Rere.
“Nngg… Aryo?!” gumam Rere merasa tersentak.
“Iya, Gue Aryo. Apa kabar, Re?” sahut Aryo sedikit risau melihat Rere.
“Siapa?! Aryo?! Lu yang anak Sastra Perancis kampus tetangga itu?! Jadi ini Butik Lu?! OMG!! Kenalin, Gue temennya Rere. Pokoknya kita Akrab Banget, deh. Wuah… Gue nggak nyangka kita bisa ketemu di di sini, ya? Tuh, kan, Re. Utung Gue aja Lu ke sini!” lontaran cerewetnya Dila melaju pesat. Rere yang diajak bicara hanya diam dan masih tersentak.
“Iya, Gue Aryo yang Lu maksud,” balas Aryo yang sebenarnya ingin mendapat jawaban dari Rere.
“Eh.. Hmm.. Kabar Gue baik, Yo,” sahut Rere masih sedikit tersentak.
“Hmm… Re, bisa bicara sebentar?” pinta Aryo risau.
“Hei, sayang… Sori, ya, Aku telat. Ini Aku bawain Roti isi selai cokelat kesukaan Kamu. Tadi Kamu bilang belum sempat sarapan, kan? Gimana standnya, ramai, ya?” kehadiran dan ucapan Bella memotong pembicaraan Aryo dan Rere. Rere kembali pada diamnya yang membeku.
“Sori, Pacarnya Aryo, ya?” Tanya Dila ragu-ragu pada Bella.
“Ohh, kalian teman kampusnya Aryo, ya? Iya, saya Bella. Baru setahun, kok, kami jalan bareng,” sahut Bella dengan ceria. Aryo merasa tidak sampai hati melihat kegalauan yang ada pada Rere.
“Hhmm… terima kasih sudah melayani kami. Permisi,” ucap Rere singkat meninggalkan stand. Dila yang masih ragu dengan jawaban Bella hanya menuruti keputusan temannya untuk segera pergi.
“Re, tunggu, Re,” pinta Aryo ragu.
“Sayang, dimakan dulu dong roti isi selai kesukaan Kamu itu,” sedikit teriakan Bella yang mulai melayani pengunjung stand menghentikan niatnya untuk mengejar Rere.
Rere hanya mengibaskan lengannya tanpa menghadap ke arah Aryo yang sedang memanggilnya, menahan laki-laki itu agar tidak menyusulnya. Dadanya bergetar menahan kumpulan air mata di kelopaknya. Rere terus mencoba menyimpan kata-kata Aryo saat akhir perpisahan SMA dahulu yang beradu dengan teriakan roti isi selai cokelat buatan Bella.

Cirendeu , 07/08/10, 16:58