01 Maret 2008

SG UIN; Wadah Bibit-Bibit Koruptor Baru Indonesia?


Belum terlupa kasus penyelewengan dana almamater dan berbagai kebijakan acuh Student Government UIN Jakarta pada masa pemerintahan mahasiswa, Addi Hasan, periode 2005-2006 yang menyebabkan keterlambatan distribusi almamater bagi mahasiswa baru, tahun 2005-2006 serta tertundanya perpuataran Pemilu Raya Kampus di tahun tersebut. Telah berlalu juga UIN Jakarta telah disibukkan dengan pesta hak mahasiswa dalam menyampaiakan aspirasinya melalui perayaan politik kampus (PEMIRA) yang juga terlambat dilaksanakan karena pemerintahan mahasiswa yang dipimpin oleh Syukron Jamal pun tak mentaati aturan yang sudah dibangun lewat komitmen bersama bahwa seharusnya PEMIRA digelar setiap bulan Juni. Padahal, dahulu masih kita ingat bahwa Syukron Jamal berjanji akan menstabilkan kondisi perpolitikan di UIN Jakarta dengan mengembalikan aturan PEMIRA seperti kesepakatan bersama, “SG UIN Jakarta adalah harga mati!”. Ironis memang. Orang yang dahulu sangat keras mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Addi Hasan, ternyata harus menelan ludahnya sendiri dengan memperlambat pembentukkan Panitia Pemilihan Umum Raya Kampus 2007.


Pemerintahan Syukron Jamal tidak membawa perubahan bagi pendidikan politik di UIN Jakarta. Hal ini dapat dirasakan bahwa selama Syukron Jamal menjabat sebagai Presiden Mahasiswa UIN Jakarta (2006-2007), tidak ada perjuangan yang berarti bagi mahasiswa UIN Jakarta. Mereka mengadakan kegiatan yang hanya diperuntukkan bagi golongan mereka sendiri atas nama mahasiswa dalam mencari dana di luar. Kegiatan-kegiatan yang dapat mencerdaskan mahasiswa UIN Jakarta pun tidak difasilitasi olehnya. Mahasiswa UIN Jakarta terkukung oleh pendidikan politik yang semu dan tak terarah. Dana mahasiswa yang dikorbankan untuk pelaksaan PEMIRA seolah hanya sekedar hibah yang dijadikan proyek rebutan kekuasaan demi kepentingan sepihak yang berkedok demokrasi mahasiswa.


Menipu untuk mengantongi suara

Spanduk-spanduk dan baliho terlihat ramai sejak 4 bulanan yang lalu. Semua partai berlomba mencari citra positif dari mahasiswa yang dinilai ‘bodoh’ dan ‘buta’ dalam memaknai politik kampus. Siapa sebenarnya yang ‘bodoh’ dan ‘buta’ terhadap politik kampus? Peningkatan mencari citra posituf itu pun terbawa hingga pelaksanaan Propesa. Partai-partai mengklaim dirinya sebagai ‘pembaharu’. Mulai dari sebutan ‘Kampus Hijau’, ‘Kampus Biru’, ‘Kampus Cokelat’, ‘Putih’, ‘Orange’, ‘Hitam’, dan apalah sebutan itu. Padahal yang kita tahu UIN tidak memiliki ciri khas dalam warna-warna tertentu. Kalau pun bila dilihat dengan alasan dari warna cat yang terpampang di bangunan UIN, jelas bangunan UIN kombinasi dari berbagai warna, tidak hanya satu warna. Apakah sebenarnya semua ini bisa menjawab pertnyaan di atas bahwa yang sebenarnya ‘bodoh’ dan ‘buta’ adalah mereka sndiri yang mengklaim bahwa UIN Jakarta merupakan Kampus dengan ciri-ciri warna tertentu.

Sangat disayangkan bila SG UIN Jakarta ternodai oleh pihak-pihak yang ‘bodoh’ dan ‘buta’ itu. Sebab UIN Jakarta adalah Kampus yang didirikan dengan harapan agar insan-insan berilmu yang keluar dari UIN mampu menjawab tantangan zaman yang kian detik terus bergulir bermacam problematika menyapa negeri ini. Di saat masyarakat menunggu peran serta mahsiswa untuk bersatu padu menyelesaikan masalah-masalah bangsa, seharusnya seluruh elemen mahasiswa pun memiliki komitmen untuk memperjuangkan rakyat Indonesia, tidak terjebak dalam kendali elit-elit politik negeri ini, apalagi terus meniru mereka secara membabi buta. Seharusnyalah elemen mahasiswa menjadi lokomotif perjuangan rakyat dalam setiap perannya, tidak loyal terhadap elit-elit politik yang memang merugikan masyarakat, bukan terus mengikuti arus mereka sehingga gerakan mahasiswa manjadi mandul di telan kedunguan yang keluar dari pola perjuangan.


Saling berebut proyek ‘kesejahteraan’

SG UIN memang menyilaukan mata hati setiap yang berkuasa mendudukinya dengan rencana dan target untuk menambah ‘kesejahteraan’ diri. Bagaimana tidak? Hal ini sudah terbukti dengan berjalan dan berlalunya pemerintahan kampus UIN Jakarta. Sekilas kita dengar bagaimana dana DPMU menjadi dana-dana yang menggiurkan untuk dimafaatkan oleh pihak-pihak yang memang berada di dalamnya. Jangan kaget bila tahun lalu (2005-2006) dana DPMU yang berjumlah sekitar empat juta rupiah hampir hilang tak tahu digunakan untuk apa oleh tangan-tangan berdosa. Padahal kita masih benci oleh proyek Propesa yang tidak ideal dari jumlah dana yang dikelurkan, bahkan mahasiswa baru menjadi korban keserakahan pemerintahan mahasiswa yang korup (periode 2005-2006) akibat merasa tidak puas dengan dana sebesar dua puluh juta yang sudah berada di tangannya.

Propesa yang selesai dijalankan beberapa bulan lalu pun tidak jauh berbeda. Pemerintahan ini lebih parah lagi. Dengan dalih kepentingan pribadi mereka berupaya untuk menggarap proyek Propesa tanpa butuh ‘bantuan’ dari elemen-elemen (red: UKM) kampus yang seharusnya dilibatkan.

Tampak jelaslah bahwa masih ada oknum-oknum yang mengaku dirinya ‘peduli’ dengan SG UIN Jakarta, padahal belum mampu dan siap untuk memperjuangkan demokrasi yang terarah di UIN Jakarta ini. Maka tidak salah bila ada pernyataan bahwa SG UIN adalah wadah baru bagi bibit-bibit koruptor di Indonesia.

Hanya ada satu sikap yang harus kita pegang dan kita jalankan, SG UIN Jakarta harus menjadi lokomotif perjuangan mahasiswa sebelum terjun untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia. Dan salah satu caranya adalah menjauhkan ‘noda-noda hitam’ dari PEMIRA tahun depan. Hidup Mahsiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

11 Februari 2008

Menunggu Kabar Bapak Pembangunan

Menunggu Kabar Bapak Pembangunan

Awal pagi. Sekitar pukul lima, Minggu (27/1). Jalan Rumah Sakit Pusat Pertamina senyap. Sesekali mulai terdengar bisik burung-burung kecil. Di Rumah Sakit tersebut masih dirawat mantan penguasa Orde Baru, Soeharto (86).
Di depan lobi utama masih teronggok karangan bunga dari beberapa organisasi dan individu. Turut mengharap kesembuhan mantan Presiden RI kedua. Tangga-tangga lipat dan penyangga kamera wartawan setia berdiri menatap pintu masuk.
Di pelataran. Dua wartawan sedang pulas tertidur beralas kardus seadanya. Beberapa orang lainnya tetap terjaga menjulurkan pandangan pada setiap orang yang hendak masuk sambil duduk berbincang di lantai kanan pintu masuk lobi utama. Meski sudah 24 hari Soeharto dirawat, mobil-mobil perangkat siaran dari berbagai media elektronik memadati ruang parkir depan lobi.
Berjalan ke dalam lobi. Enam wartawan tertidur ayam di kursi ruang tunggu sambil merangkul kamera.
Menyisir ke depan Instalasi Gawat Darurat. Dua wartawan media elektronik sedang mengecek kamera, mengarah-arahkannya ke sudut pandang tak tentu.
Matahari mulai bersinar. Petugas kebersihan rumah sakit mulai berdatangan. Dirawatnnya Bapak Pembangunan sejak empat Januari lalu memetakan seluruh media elektronik dan cetak di Indonesia, tak terkecuali media asing untuk memberitakannya. Kesabaran dan kerja keras seorang kuli tinta menjadi tulang punggung penyebaran informasi kepada masyarakat. Mereka harus rela terpanggang terik matahari, tergigit dinginnya malam, beradu waktu menggulirkan berita dan berbagai hambatan yang tak jarang harus dihadapi. Rumor tetang mendapat informasi dan gambar baru akan melanjutkan kehidupan hari esok seorang pencari berita tidak bisa dielakkan. Pertarungan jiwa profesional dipertaruhkan. “Ya, harus rela bergadang,” jelas salah satu wartawan RCTI.
Melirik ke lantai lima, tempat Pak Harto di rawat. Tiga orang penjaga berbatik cokelat tetap mengawasi setiap orang yang melintasi ruangan-ruangan kamar rawat inap di sebelahnya. Sesekali tampak wartawan mengarahkan kamera dan kembali menyusuri lantai lima sambil menjinjing ‘senjata’ andalannya.
Turun kembali ke lobi utama. Beberapa wartawan lain mulai datang. Tidak tampak lagi wartawan yang tidur di ruang tunggu dan pelataran lobi. Di balik mobil-mobil perlengkapan siaran terlihat asyik beberapa petugas siaran dan wartawan meyantap sarapan paginya.
Jalan rumah sakit mulai ramai. Hilir mudik kendararan kota mulai menyisakan gumpalan asap ke setiap sudut.

Kabar baru Pak Harto datang
Bagai petir di siang bolong. Sebelum berita ini di tulis, Minggu (27/1), pukul 13.10. Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Mantan Presiden RI kedua. Penggagas Repelita I-V tersebut dikabarkan menghembuskan napas terakhir dalam usia 86 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Selamat jalan wahai tokoh pembangunan◘ Herwin

LPM Institut UIN

LPM Institut UIN Jakarta Adakan Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online

Ciputat – LPM Institut UIN Jakarta mengadakan Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online. Acara yang dilaksanakan hari Jum’at (28/12), di Aula Madya lantai 1 tersebut dihadiri lebih dari 70 peserta.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, Ira Lathief, blogger dan penulis biografi Tukul Arwana serta Ria Desy Saputra, bolgger dan wartawan LKBN ANTARA. Dalam sambutannya, Sulhan, ketua pelaksana, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan salah satu dari kegiatan LPM Institut dalam rangka merayakan hari jadinya yang ke-23 tahun. “Workshop ini untuk memotivasi mahasiswa agar bisa menuangkan tulisan dan gagasannya di media maya,” tambahnya.
Dalam penyampaian makalahnya, Desy menjelaskan bahwa di era konfergensi media, jurnalisme online sangat dibutuhkan oleh banyak pihak, termasuk media konvensional. “Jurnalisme online mampu menembus batas dalam hitungan menit, bahkan detik,” kata wanita lulusan Ilmu Komunikasi ini. Ditambahkan pula olehnya bahwa jurnalisme online sangat bermanfaat bagi pers kampus, di sana setiap mahasiswa mampu menungkan gagasannya atas isu-isu kebijakan kampus, khususnya rektorat.
Pada sesi lain, Ira Lathief menghadirkan pengalaman dari menuangkan gagasannya di dunia maya. Dia menyatakan bahwa karena menulis gagasan di blog, tulisannya bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. “Dengan menuliskan pengalamn-pengalaman di blog, tidak disangka ada penerbit yang menawarkan saya untuk membuat biografi Mas Tukul,” ungkap mantan wartawan selebritis di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta ini.
Acara yang dilaksanakan sampai sore tersebut menghasilkan sebuat blog dengan alamat http//:ciputatonline.uinjakarta.blogger,com yaag mampu menampung gagasan mahasiswa, khususnya di wilayah ciputat tanpa harus diseleksi oleh redaktur◘ Herwin

Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada


Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada
(Oleh Herwin)

Kita sebut saja, Kusuma, salah satu dari mahasiswa UIN Jakarta yang memang ‘maniak’ dengan buku. Suatu siang yang cerah, tapi tak secerah harapannya ketika berkunjung ke Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta. Kusuma hendak meminjam buku di sana untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menggunung melebihi gunung Pangrango di Jawa Barat. Tentu sebagai mahasiswa dia tahu harus ke mana untuk mencari bahan tugasnya tersebut. Dan sudah pasti dia menuju PU yang ‘seharusnya’ menyediakan banyak buku referensi bagi mahasiswanya. Tetapi memang siang hari itu tak secerah harapannya, ketika datang ke dalam, bukan dianggap sebagai mahasiswa yang ‘rajin’ untuk berkunjung, namun setiap kali ia berkunjung harus menerima tatapan jutek dan sok interogatif dari petugas PU. “Gue mungkin udah di cap rusak kali di sana. Padahal Gue Cuma mau pinjem buku, bukan niat yang nggak-nggak,” keluhnya, terpaksa mencari buku-bku dengan persaan sedikit kesal.
Berbeda dengan Jabar. Mahasiswa dari Fakultas Tarbiyah ini lebih ironis lagi, ketika ia harus menerima lontaran kata sebagai ‘pencuri’ dari petugas PU. Hal tersebut terjadi tanpa kesengajaan dari Jabar. Saat ia mengembalikan buku, ternyata buku yang dipinjamnya tidak masuk daftar data peminjam dalam komputer petugas. Terang, Jabar menghela napas. Toh, walau dengan mengelak tetap saja lontaran kata itu sudah diterimanya.
Di hari lain, ternyata kejadian serupa mengenai seorang mahasiswa lain dari fakultas yang berbeda. Di sanalah letak penyebabnya. Ternyata ada sesuatu yang salah terjadi dalam komputer petugas, buku yang dipinjam Jabar dan mahsiswa lain tersebut tidak terdeteksi di komputer petugas, bukan Karena kesalahan Jabar dan mahasiswa lain tersebut. Dan petugas PU pun seharusnya tidak serta merta melontarkan kata ‘mencuri’ bagi kedua mahasiswa resebut.
Hal di atas baru beberapa kejadian yang dialami mahasiswa UIN Jakarta. Belum lagi tentang daftar buku pada katalog tidak sesuai dengan kenyataan di rak-rak buku, ketersediaan buku-bku referensi bagi mahasiswa, dan berbagai persoalan lain yang seharusnya tidak ditemukan di kampus yang mengklaim sebagai ‘World Class University’.
Menjadi Kampus berstandar internasional memang keinginan bersama. Tetapi cita-cita tersebut mestinya dibarengi dengan kekuatan internal; optimis juga realistis. Tidak sekedar membayangkan untuk memakan hidangan lezat tetapi tidak berupaya memesan atau membuat makanan lalu dihidangkan agar siap disantap.

Perpustakaan bukan sekedar koleksi buku

Bila dilihat lebih menyeluruh, keberadaan buku-buku referensi yang disediakan di PU sebenarnya lebih banyak buku-buku lama –tanpa maksud menghinakan buku sebagai sumber ilmu- yang memang disumbangkan dari lembaga-lembaga di Indonesia dan luar negeri. Namun apakah sebenarnya PU tidak bisa menyediakan buku-buku referensi yang lebih banyak dan bervariasi sesuai dengan kebutuhan mahsiswa UIN Jakarta? Bila terjawab tidak bisa, bukankah anggaran mahasiswa setiap semester untuk PU selalu mengalir? Bila dikalikan dengan jumlah seluruh mahasiswa UIN, jelas seharusnya PU UIN Jakarta mampu membeli buku-buku referensi sebanyak mahasiswa UIN Jakarta dalam setiap semester. Dan yang lebih memalukan lagi, kebanyakan buku-buku baru yang berada di PU adalah hasil dari sumbangan (red: memaksa) mahasiswa UIN yang diwisuda. Bila ini terus terjadi, jelas sebenarnya PU UIN hanya berdiri sebagai kolektor buku-buku sumbangan dari mahasiswa dan lembaga-lembaga lain yang peduli (red: Kasihan) dengan UIN. Seharusnya manajemen PU mesti bekerja keras untuk menghasilkan PU yang berkualitas dengan anggaran dana yang tidak sedikit diberikan oleh mahasiswa tiap semester. Tidak lagi berpikir untuk mencari ‘keuntungan’ semata dan ‘bagi hasil’ dengan kegiatan-kegiatan sepele yang mengatasnamakan mahasiswa UIN.
Bila kampus-kampus lain yang dinilai dibawah tingkatan –meski belum tentu kampus besar manajemennya bagus- UIN Jakarta bisa menyediakan layanan internet gratis bagi mahasiswanya yang membutuhkan bahan- bahan, mengapa PU UIN tidak mencoba untuk belajar dari kampus-kampus tersebut dengan menerapkan berbagai inovasi yang mereka miliki –dengan penyeleksian tentunya- untuk diterapkan di UIN Jakarta. Dan hal tersebut tidak menjadikan UIN dipandang hina oleh kampus-kampus tersebut. Justru kampus kampus yang sudah berstandar internasional pun lebih sering berinteraksi dan belajar dengan kampus-kampus di bawahnya. Dan UIN pun seharusnya lebih bisa untuk melaksanakan itu, dengan realita memang kampus UIN belum berstandar kampus dalam negeri, tanpa berpikir pesimis memang kampus UIN belum berada pada kampus menuju berstandar internasional.

Memaksimalkan anggaran mahasiswa

Mungkin ini solusi yang menyeleneh, tetapi solusi ini tidak juga dianggap remeh. Anggaran dana yang diberikan oleh mahasiswa seharusnya mampu meningkatkan kualitas PU UIN Jakarta, tetunya dengan kemauan keras pihak-pihak yang memang berhubungan langsung dengan kebijakan penggunaaan anggaran tersebut untuk berjalan sinergis dengan civitas akademika UIN Jakarta.
Memaksimalkan anggaran, bukan berarti untuk hal-hal yang tidak berguna bagi pengembangan PU UIN Jakrata. Memaksimalkan anggaran agar seluruh mahasiswa UIN Jakarta tidak luput untuk melakukan diskudi-diskusi keilmiahan, merutinkan diri untuk menggali sumber-sumber ilmu, dan merasa memiliki gairah untuk menciptakan sebuah karya ilmiah yang popular sehingga UIN dikenal di dalam negeri terlebih dunia internasional. Semakin banyak karya-karya ilmiah yang dihasilkan, pasti cita-cita menjadi kampus berstandar internasional dapat diraih.

Negeri Dongeng Ala Kita


Negeri Dongeng

Malu… bener2 malu… lagi-lagi masyarakat Negeri Dongeng bikin malu. Uhh.. sebel.. gimana nggak, coba? Negeri Dongeng yang katanya selama ini dikenal sama negeri lain bangsa yang bermoral, eh.. ternyata itu semua sudah terbantahkan akibat ulah remaja/i Negeri Dongeng yang bertindak amoral. Bayangin coba, mereka bangga bikin ratusan Film Porno yang setiap hari, dilakukan dengan sengaja dan diedarkan lewat internet dan Hp. Bikin geregetan gak sih? Kata peneliti sih, mereka ngelakuin itu sekedar rasa cinta ama pacar or biar tenar! Ihh, Guemes!! Udah gitu, baru 700-an kasus yang ketauan. Ini baru yang ketauan! Berapa lagi coba yang belum ketauan?

Ada lagi kebegoan sikap anggota legislatif yang masih menerima ‘duit haram’ buat ngelolosin UU yg bakal nguntungin pihak-pihak yang gak mikirin masyarakat kecil, mereka cuma mikirin perut buncitnya sendiri.
Uhh.. bener2 malu2in, joker,Oon, egois, serakah…!!

Tangan Baja

Tangan Baja

(Oleh Herwin)

Tangan-tangan itu kembali mengepal
Menunjukkan kekuatan yang nyata
Serpihan batu-batu neraka menghujam ke angkasa
Menerpa, menderu tersapu angin panas yang membisu


Tangan-tangan telanjang itu seolah tak bertuan
Bergerak maju, membidik lawan yang congkak dengan kesombongannya
Sungguh, tangan-tangan itu tak terkoyak bentangan senapan dan tank-tank pengecut di hadapannya


Segudang emosi pengecut-pengecut meluluhlantakkan tangan-tangan tak berdosa
Tangan-tangan yang berdiri tegar mempertahankan kemuliannya untuk merdeka
Dimana mata-mata dunia yang mengaku dirinya penyeru kedamaian


Dimana Kepala-kepala negara yang mengaku dirinya penyeru kemerdekaan
Pengecut… sampah… bedebah…
Dan satu tangan tetap mengepal ke langit Pelestina yang mulia…

04 Januari 2008

Senyum Gundah Mas Indra

Sejak saat itu kekhawatirannya mulai datang. Dimasa aku sedang hamil tiga bulan. “Ma, kamu siap untuk menjaga si kecil ?” perasaan iba terlihat jelas dari raut wajahnya yang bersih.
Suamiku memang seorang lelaki yang penuh perhatian dengan istri. Selama setahun kami menikah, beliau selalu menjaga dan membimbingku. Namun, akhir-akhir ini dia sering termenung akan keadaanku yang baru mengandung anak pertama.
“Mas, tadi ada surat dari kantor,” kutunjukkan padanya dengan hati-hati. Dia membuka amplop surat itu lalu membacanya. “Yah… jadi, Ma!” diletakkannya surat itu ke atas meja. Kembali raut wajahnya menyiratkan kecemasan. “lho, memangnya kenapa kalau jadi berangkat, Mas ?” selaku mencoba untuk mengurangi kerisauannya.
Mas Indra adalah seorang wakil direktur sebuah perusahaan besar yang memegang saham terbesar di kota Jakarta. Direkturnya meminta ia untuk menemaninya dalam pertemuan dengan pengusaha mancanegara di salah satu negara adidaya. Aku mengerti betapa berat hatinya meninggalkanku selama sebulan.
“Mereka bangsa serakah dalam berbisnis, Ma,” keraguannya muncul dengan perusahaan-perusahaan di sana. “Diminum dulu tehnya,Mas!” kusodorkan segelas air hangat untuk membuka pikirannya. Sebenarnya aku pun ragu dengan keberangkatan Mas Indra. Tapi aku tidak ingin melihat suamiku bimbang hanya karena aku sedang mengandung. Aku tahu bahwa ini adalah fitrah yang diberikan oleh-Nya kepada seorang wanita.
“Mas, bukankah perusahaan sudah memberikan tugas kepada Mas untuk dilaksanakan?” kucoba untuk menjadi sahabatnya dalam berbagi masalah. “Bukan Mas ingin melanggar tugas,Ma,” kekecewaanya terlihat lebih dalam. “Mama lihat, apa yang sudah dikukan perusahaan asing pada bangsa ini?”
“Mama tahu kok, bahwa perusahaan asing lebih banyak mendapatkan keuntungan dari negara kita.”
“Terus, Mama ingin kalo selamanya kita dibodohi?”
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan membiarkan ia untuk berpikir…
“Tuh, kan, Mas bilang juga apa? Mama harus banyak istirahat!” ungkapan keluhnya tepat tertancap dalam benakku. Sudah kurasakan beberapa hari ini mual perutku semakin menjadi. Apakah sama yang dirasakan orang tuaku saat mengandungku dahulu? Namun hal ini tak ingin kutunjukkan pada suamiku. Sebab aku khawatir bila ia benar-benar tidak jadi untuk berangkat.
“Ya sudah, Ma, besok Aku minta dibatalkan untuk berangkat ke sana,” keputusan yang dikatakan pada saat ia bimbang menambah rasa gelisahku untuk terus memotivasinya.
“Mama nggak apa-apa kok, Mas. Ini memang sudah menjadi kebiasaan pada seorang istri yang hamil pertama kali,” kutunjukkan rasa semangatku kepadanya agar ia percaya bahwa aku benar-benar siap untuk menjaga kandunganku selama ia bertugas di luar. Mas Indra mengusap perutku dan menuntunku untuk duduk di ruang tengah.
“Sudahlah, Ma. Di kantor masih banyak sahabatku yang bisa menggantikan.”
“Lho, Mas kan sebagai wakil direktur, pastilah Mas yang memiliki kelebihan dibandingkan kawan-kawan Mas di kantor,” kuletakkan kepalaku dibahunya. Terasa sekali kasih sayangnya. Aku tetap akan memotivasi dirinya. Meski ia berpikir bahwa selama ini bekerja sama dengan perusahaan asing lebih menguntungkan mereka.
Mas Indra sangat perhatian terhadap masalah sekecil apapun. Terlebih ketika terjadi pembantaian yang dilakukan bangsa adidaya dan sekutunya kepada rakyat Irak. Suamiku tahu bahwa salah satu sponsor yang mendukung pembantaian di sana dan beberapa negara lainnya adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanya. Dia tidak rela sepeser pun uang hasil kerja sama dengan perusahaannya digunakan untuk membeli senjata bagi tentara adidaya dan sekutunya dalam membuat makar yang lebih besar.
“Mama tenang aja, Mas akan buat surat izin kepada direktur agar Mas diizinkan tidak ikut berangkat.” Kepalaku terasa pusing dan rasa mual kembali menyerang tubuhku. Seketika itu keringat dingin keluar dari tubuhku dan wajahku tampak pucat.
“Tuh, kan, Mama belum siap kalo Mas tinggal ?” tangannya merangkul dan menuntuku ke kamar. Kurasakan kekhawatirannya semakin tampak bahwa ia benar-benar tidak tega meninggalkanku. Kubaringkan tubuhku yang lemah dan kupejamkan mata untuk istirahat. Dia menyelimuti dan menciumku sebelum kembali ke ruang tengah.
***
Kuhirup udara segar pagi ini. Kugerak-gerakkan tubuhku agar staminaku tetap terjaga walau sedang mengandung.
“Hiruplah, anakku ! Betapa udara pagi amat sejuk. Bersyukurlah atas karunia-Nya!” kutahan napasku. Beberapa saat kemudian kuhempaskan kembali ke udara lepas. Kucoba menenangkan diri sambil memandang hijaunya daun dan rerumputan. Kupandangi ikan-ikan yang berkejaran berebut makan di kolam halaman rumah. “Betapa Maha Adilnya Engkau, Ya Allah,” gumamku dalam hati sambil mengusap kandunganku dengan lembut.
Mas Indra sudah berangkat ke kantor setelah shalat shubuh karena jarak kantor yang cukup jauh dari rumah. Sosok lelaki yang semangat memang. Pagi buta sudah berangkat dan kembali ke rumah larut malam setelah mengikuti kajian, dan kadang harus bertemu dengan binaannya. Pernah suatu hari ia pulang hampir shubuh karena mengisi acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan di daerah puncak. Walau baru pulang kerja, Mas Indra tetap berangkat ke sana. Aku teringat akan kata-katanya yang tulus, “Jika kita menolong agama-Nya pasti kita juga akan ditolong oleh-Nya,” potongan arti sebuah ayat dalam Al qur’an yang selalu membuatnya melihat segala sesuatu itu kecil dibandingkan dengan kekuasaan-Nya.
“Semoga kau kelak seperti Papamu, anakku,” obrolanku dengan bayi yang ada dalam kandunganku. Terasa sekali bayiku bergerak tanda setuju dengan harapanku. Suamiku pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas. Hal ini memang sudah dibuktikannya. Setiap hendak tidur beliau selalu melantunkan Al qur’an di sampingku sambil mengusap bayi dalam kandunganku. Sering pula beliau mengajakku untuk shalat tahajud bersama pada keheningan ditemani bisik jangkrik dan desah dedaunan terbelai angin malam. Mesra sekali… begitu nikmat kudengar lantunan surat Arrahman dari lisannya yang fasih. Seketika itu mukenaku basah dengan derai air mata yang menetes karena takut akan murka-Nya dan rindu untuk jumpa dengan-Nya bersama keluarga. Indah memang apa yang dikatakan Mas Indra bahwa seseorang akan berkumpul bersana keluarganya di surga karena ketundukan dalam berbakti kepada-Nya.
Kembali kugerak-gerakkan tangan dan kakiku agar bayi dalam kandunganku semakin sehat dan cepat berkembang dengan normal. Kicau burung terdengar riang terseret angin pagi yang sejuk. Pohon-pohon berbisik mesra memandang keadaan kandunganku yang mulai tumbuh. Kucoba berjalan menyusuri rerumputan yang tertata rapi diselingi kerikil cantik seolah malu berhadapan denganku. Ahh… kurasakan keadaan tubuhku semakin baik kini.
***
“Ukh… jadi juga, Mas berangkat,” keluhnya saat selesai memberi salam dan meletakkan tas setibanya dari kantor. “Direkturku tidak mengizinkan, malahan besok Aku harus berangkat.” Tampak kurasakan bebannya untuk meninggalkanku.
“Lho, kalo memang itu yang terbaik kenapa harus ditolak, Mas?” kusodorkan segelas air putih dan beberapa potong kue kepadanya. Terlihat ia begitu lelah menyelesaikan tugasnya di kantor. “Kalo gitu, Mama akan siapkan perbekalan Mas untuk sebulan.”
“Sudah, Ma, biar Mas saja yang menyiapkan ! Paling cuma untuk sebulan.”
“Bener nih, Mas dah siap untuk berangkat ?” candaku menghiburnya.
“Bukan, maksud Mas biar Mama tetap istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Lagi pula, kan ada si Mbok yang bisa siapkan kebutuhanku di sana,” risaunya tetap saja ada.
“Si kecil bagaimana, Ma, masih suka nendang-nendang nggak?” rasa ingin tahunya membuatku tersenyum. “Kayaknya, ia mulai berani deh, Mas tinggal,” lontaran kata-kataku terus memotivasi dan berdiskusi tentang rencana keberangkatannya esok hari.
Malam kian larut, tampak kelelahan suamiku berada pada puncaknya. Ia menyelimutiku sebelum akhirnya ia pun tidur pulas…
Keheningan malam membuat suamiku kembali bangun dari tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Inilah kebiasaan ia untuk bercumbu dengan Rabbnya sambil meneteskan air mata. Malam ini merupakan malam kami untuk shalat tahajud bersama sebelum ia berangkat ke negeri adidaya. Lantunan ayat Al qur’an semakin merdu ia ucapkan. Dan butiran air suci jatuh satu persatu ke tempat sujudku. Kupanjatkan do’a kepada Rabbku agar suamiku diberi kemudahan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.
Bisik jangkrik terdenganr riang disapu angin malam yang sunyi. Buaian lantunan ayat suci dari lisannya menambah kekhusyu’anku dalam munajat kepada-Nya. Gesek dedaunan beradu dengan ranting dan batang terdengar merdu semakin membuatku tetap berdiri dalam keheningan malam untuk tunduk pada-Nya. Percik-percik air kolam terhempas kumpulan ikan menyatukan suasana malam indah penuh berkah ditemani kilauan bintang gemintang yang tersapu deretan awan berhias sinar rembulan…
Selesai shalat shubuh, Mas Indra sudah siap. “Jangan lupa jaga kondisi kesehatan Mama dan Si kecil. Jangan lupa banyak istirahat!” pesannya sebelum berangkat ke negeri adidaya. “Mbok, Saya titip Dia dan Si kecil. Tolong ingatkan agar Dia jangan banyak melakukan pekerjaan yang berat!”
“Baik, Pak,” sungkem si Mbok tanda menurut dengan suamiku. Kuterima ciumannya dikeningku dan ia lekas berangkat menuju bandara. Aku tidak turut ke bandara karena tidak diizinkan olehnya. Aku hanya bisa berdo’a atas keselamatannya.
***
Rasa mual kembali menyerang tubuhku. Keringat dingin terus keluar dari kulitku setelah beberapa jam keberangkatan Mas Indra. Pandanganku semakin kabur, tak dapat membuka mata walau hanya sekedar menatap. Kupandangi sekitarku hanya tersirat goretan-goretan dinding yang iba memandangku. Akh… rasa mual semakin menjadi, membuatku tidak bisa menahan untuk terus muntah. Kulihat si Mbok panik melihat kondisiku yang semakin lemah. Segera ia memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Tubuhku lemas dan membuatku sulit untuk membuka mata sampai tiba di rumah sakit. Kurasakan gelap di sekitarku seketika aku tak sadarkan diri…
Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Akh… berat sekali. Namun terus kucoba membuka dan akhirnya dapat juga kubuka. Aku tersentak ketika kutatap ke samping, seorang lelaki sedang mengusap kepalaku dan berbisik, “Sudah, jangan bicara dulu. Aku tidak jadi berangkat karena pesawat tidak bisa lepas landas,” senyum gundahnya tetap ada bersama butiran dingin menetes di mataku.

02 Januari 2008

Melati di Sudut Kota


Melati di Sudut Kota
Oleh Herwin*
Seperti biasa, malam ini aku lelap dalam buaian angan yang menutupi pikirku untuk mencari sebuah jati diri yang sempurna. Hempasan angin malam menyapa kering kulitku. Semilir angin menggetarkan relung jiwa yang gersang menatap celotehan mangsa-mangsa kota metropolitan. Bising mesin penggilas terusik dalam lunglai langkahku yang tak tentu.
“Hii… Girl… nggak ada pasien nih…!?” suara mangsa-mangsa metropolitan menghentakkan hati kecilku. Terhenyak kucoba menundukkan hati beberapa saat. Dingin malam kian menerobos ke dalam tulang igaku. Kutatap ke arah seberang, melambai-lambai iming-imingan buaian dunia yang memang menjadi pandangan malam bagiku.
“Uhh... kapan aku dapat merubah nasib ?” celotehku dalam hati seiring sisa-sisa tenaga yang kian rapuh.
***
“Hii… bangun… udah siang, dasar bocah tolol !” teriak majikan memekakan telingaku. Kupandangi sekitar, tampak sang surya mengintip dari pojok nako kamar yang sumpek dan pengap. Beginilah keadaan hidupku. Pukul 04.00 baru kembali ke asrama, namun harus beraktivitas kembali pukul 07.00.
“Dapat berapa semalam !?” celoteh majikanku menagih setoran.
“Tak dapat…” jawabku singkat sambil menyambar handuk dan sandal menuju kamar mandi.
“Dasar… bocah edan !” terdengar cerca majikan kepadaku. Kubasuh peluh dengan air jernih yang sejuk membelai wajahku. Kucoba menahan tetes air mata yang kerap membendung di kelopak mata. Bagiku sudah tidak asing lagi lontaran kata-kata pedas yang terungkap dari mulut majikan yang benar-benar killer itu
Siang ini majikanku akan mendatangkan seorang pasien baru yang terkenal tajir dikalangan tema-temanku. Mereka saling berceloteh harapan akan imbalan yang akan didapat. Gaun mereka tampak seperti artis bintang Hollywood yang memprtontonkan aurat berlebihan guna menarik pasiennya. Tangan mereka akrab dengan rokok dan minuman yang memabukkan. Tak sadar mereka dalam kesulitan yang jauh.
“Belum siap juga ? Nanti nggak dapet doku lho... ” hardik Jelita yang memang sekamar denganku.
“Ntar aja… aku masih capek.”
“Capek…? emang dapet pasien berapa semalam ?” tambahnya sambil memasang ikat pinggang dan menuju ke ruang tamu.
Hatiku kembali rapuh menerima candanya. Dalam benakku hal tersebut bukanlah sebuah canda yang mengasyikkan….
***
Malam kembali bergulir. Kutatapi satu persatu ruang asrama sudah kosong dari pasangan laki-laki hidung belang bersama teman-temanku. Hanya ada kursi dan meja yang kerap berdampingan serta detak jam dinding yang akrab bercanda dengan ngiang sayap nyamuk kebun. Kuambil sepatu dan memakainya dengan hati gundah. Kulangkahkan kakiku ditemani semilir angin yang membelai daun-daun rindang. Beberapa daun kuning melayang menuju tanah diantaranya mengusap rambutku yang panjang dan terurai. Riang jangkrik beradu dengan jeritan kendaraan di kejauhan. Lagi-lagi kuayunkan langkahku semakin cepat….
“Bbbbbrrrrakkk…” mataku tak kuat untuk memandang. Seketika ku tak sadarkan diri….
Kucoba membuka mata perlahan. Kudapati tabung oksigen di samping dan infus di lenganku.
“Yaa Allah… Kamu sudah sadar ? Maafkan aku, Mbak…” terdengar suara iba di sampingku. Kupandangi wajahnya serasa aku pernah berjumpa.
“Di mana... A... Ak... Aku sekarang !?’ gumamku entah kepada siapa kuucapkan..
“Mbak sedang berada di Rumah Sakit,” balasnya dengan rasa khawatir.
Jantungku kembali berdetak kencang. Bagaimana dengan amarah majikanku nanti ? Dan… teman-temanku pasti tak pelak lagi untuk menghina.
“Suster, tolong ke sini…! Mbakku sudah sadar..!”
Detak jantungku semakin membuncah mendengar ucapan seorang gadis berjilbab di sampingku yang mengaku bahwa aku adalah kakaknya.
Masih adakah orang yang menganggapku sebagai saudara ? gumamku dalam hati.
“Kenalkan, Mbak, nama saya Bertha… Saya yang menabrak Mbak tadi malam !” pucat wajahnya seakan mengiba padaku.
“Sa… Saya… Nita,” tanggapku singkat
“Bagaimana keadaan, Mbak, sekarang…?” tanya Suster dari balik pintu hendak merawatku.
“Agak pu...pusing, Suster,” jawabku pasti.
“Kalo gitu, silahkan Mbak tetap istirahat setelah makan dan minum obat ini !” perintah suster sambil mengecek tekanan darahku dan kembali ke ruangan lain.
“Sekarang makan dulu, Mbak, biar lekas sembuh !” ajak Bertha kepadaku. Tangan manisnya segera mengambil makanan dan menyuapiku hingga aku meminum obat.
“Kamu sudah menikah, Ber… ?” tanyaku kepadanya dengan hati-hati
“Belum kok, Mbak. Aku masih kuliah…” bibirnya yang bersih menanggapi dengan senyum yang ramah.
“Mbak sendiri sudah berkeluarga…? biar nanti kuhubungi..!” pertanyaannya membuat detak jantungku kembali bangkit.
“Be… belum…” jawabku ragu.
“Mbak memiliki saudara di sini… ?” lagi-lagi pertanyaannya membuat titik-titik air mata membendung di kelopak mataku.
“Tidak punya…”
“Ohh… maaf, Mbak, “ gumamnya dengan lipatan dahi seolah ingin mengetahui lebih banyak tentang diriku.
“Ya sudah, Mbak istirahat dulu, saya minta izin untuk kembali ke rumah,” Bertha mencium keningku sebelum ia mengucap salam dan ke luar.
***
Sudah satu hari aku berada di atas ranjang rawat inap. Hatiku merasa bersalah dengan pihak asrama. Tetapi hati kecilku berbisik, inilah saat yang tepat untuk merubah jalan hidupku....
“Nih orang betah amat main sama hidung belang… !” ungkap Jelita disertai rasa kesal.
“Namanya juga anak nggak tahu diuntung, mentang-mentang dapet pasien borju, udah lupa asrama !” timpal majikan kepada Jelita dan teman-temanku yang lain.
“Udah kawinin aja dia sama pasiennya… biar nggak nyumpek-nyumpekin asrama lagi !!” ledek salah satu temanku yang rada tomboy….
Siang ini kudapati suster kembali merawatku. Membasuh kulitku dengan air hangat dan membenahi alat infus yang ada di sampingku.
“Adik Mbak, kok belum datang ?” tanya suster kepadaku
Lagi-lagi aku menahan titik-titik butiran air mata, “Mungkin sebentar lagi, Sus…” timpalku dengan nada lemah.
“Ya, sudah, saya tinggal dulu ya, Mbak. Jangan lupa diminum obatnya !” perintah suster cantik yang setia merawatku.
Jam dinding memberi isyarat pukul 14.00. Kutatap ke arah pintu... Bertha belum juga datang. Hatiku mulai merasakan ikatan dengannya.
“Yaa Allah... berilah petunjuk pada hambamu ini...” gumam yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak pernah kuucapkan.
“Assalaamu ‘alaikum…” bertha datang dengan membawa tas di pundaknya,memalingkan penyesalanku pada Sang Pencipta.
“Wa ‘alaikumus salam, Kamu dari kampus ?” sapaku ramah.
“Kamu sudah makan siang ?” tawaranku yang semakin ingin dekat dengannya.
“Udah kok, Mbak, tadi di kampus. Oh ya… Mbak, aku bawa pakaian ganti untuk Mbak”
Desah nafasku terasa sesak. Tak pernah kudapati hal seperti ini selama pergi dari kampung ke kota besar ini.
“Mbak, masih pusing ya ?” ungkapannya memotong lamunanku. Kuterima tawarannya dan kuletakkan di sampingku.
“Terima kasih, Bertha, Kamu baik sekali…!!”
“Sudahlah, Mbak. Sebagai seorang muslim kita dianjurkan harus saling tolong-menolong, iya kan? Lagi pula, saya harus bertanggung jawab karena membuat Mbak harus dirawat,” ucapan dari bibirnya yang bersih memastikanku untuk tersenyum.
“Mbak, ada kabar baik nih… Dokter bilang, Mbak boleh pulang nanti sore.” senyumnya melukiskan kegembiraan.
***
Kumandang adzan magrib terdengar sayup dari kejauhan. Aku tiba di asrama diantar oleh Bertha. Kutatap pintu pagar sudah tertutup dan ruangan tampak kosong.
“Mbak, kapan-kapan aku main kesini, boleh kan ?” pinta Bertha kepadaku
“Ja… Jangan, Bertha… Biar Mbak saja yang main ke rumahmu !” jawabku dengan pasti. Bertha tampak keheranan.
“Kalo gitu, aku pulang dulu, Mbak. Jangan lupa istirahat ya.. !” perintahnya kepadaku sambil menyalakan mobil sedan ayahnya untuk kembali ke rumah.
Bertha memang seorang anak dari kelurga berada di kawasan ibu kota . Walau demikian, ia tetap bermasyarakat kepada sesamanya. Tak seperti orang-orang berada yang selama ini kutemui. Mereka lebih suka bergaul dan berfoya-foya dengan orang-orang sekelas mereka .
Kuayunkan kakiku menuju pintu asrama. Kubuka kamarku, tampak sisa-sisa puntungan rokok dan botol minuman tergeletak di lantai. Kubersihkan segera semua itu. Kutuju kamar mandi di sebalah kamarku. Kubasuh dengan air suci tubuh yang selama ini bernoda. Kutenangkan wajahku dengan wudhu. Kuhadapkan diriku kepada Allah yang selama ini aku lupakan. Tak kuat batinku untuk menahan bendungan titik-titik air suci dari mataku. Seketika itu wajah dan tempat sujudku basah dengan tetes air mata dan jerit lirih dalam batinku…
“Rabbanaa… zhalamnaa…anfusanaa…wa illamtaghfirlanaa watarhamna… lanakunannaa... minalkhaaasiriiin…” jerit batinku semakin menggemakan sudut-sudut ruangan kamar yang selama ini gersang dengan asma-Nya. Kubaringkan tubuhku di atas sajadah yang bersimbah air mata.
***
“Bbiiuuurrrrrr…” siraman air dingin jatuh di wajahku.
Teriakan majikan tepat di telingaku, “Eh... Bocah tolol… enak-enakan aja Lu tidur… Lu masih ngerasa tinggal di sini...!?”
“Bagi-bagi dong… kalo punya rejeki enak, kan kita-kita juga mau...!!” tambah Jelita memekakan telingaku.
“Mana penghasilan Lu selama tiga hari di rumah orang kaya…? Cepet jawab…!” teriak salah satu temanku yang tomboy.
Jawabku spontan,“A... A… Aku .. kecelakaan…”
“Pppprrraaaakk…” kuterima tamparan dari majikan.
“Sekarang juga, Lu hengkang dari sini… Bocah pembohong sialan... !!” usir majikanku dengan wajah merah pitam….
Segera kubereskan semua perlengkapanku. Kutinggalkan asrama yang selama ini sedikit banyak telah memberikan pelajaran bagiku untuk hidup di kota metropolitan. Raja siang menjulurkan lidah apinya ke hadapan wajahku. Kutatap disekitar, hiruk pikuk kehidupan kota yang selama ini ku tak tahu di mana sebenarnya tempat tinggalku yang sesungguhnya. Bau busuk kurasakan. Lalat-lalat beterbangan hinggap di tumpukan sampah yang berserakan. Dinding-dinding tak tampak lagi oleh warna aslinya. Napasku semakin sesak ketika melewati sudut-sudut kota yang hingar-bingar termakan usia. Lorong-lorong kejahatan seraya tertuju pada diriku seolah mata srigala yang hendak menerkam mangsanya. Nyanyian-nyanyian sumbang membahana dalam untaian lagu kesengsaraan. Lagi-lagi cucuran keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku yang belum pulih. Kulanjutkan langkah kakiku yang tak pasti untuk menemukan kehidupan baru. Ya… kehidupan baru, kehidupan yang harus kudapati untuk menebus semua dosaku….
Raja sore semakin menyengat, memandangku dari balik gumpalan awan kecil. Tak ada tempat berteduh untuk sekedar memulihkan kondisiku. Senja mulai menghiasi langit sore yang cerah, beban di pundakku semakin berat. Titik-titik air mulai membendung di kelopak mataku. Kubasuh peluh dengan lengan yang tak kuat lagi untuk bergerak. Kucuran-kucuran keringat dingin semakin meresap dalam pakaianku. Langkah kakiku semakin berat dan mataku, ahh… semakin sayu. Kutatap ke sekitar, hampa. Hanya seseorang kutatap sebelum aku jatuh dan tak sadarkan diri. Ya... dia adalah sekuntum melati di sudut kota ini, Bertha memandangku dengan penuh hasrat untuk berbagi.

Jakarta Awal Taoen


Tes appload foto lagi