31 Desember 2009

Kado Tahun Baru

“Mak, besok Udin ikut Emak bersihin taman, ya?”
Tangan lelaki yang seharusnya duduk di kusri taman kanak-kanak itu menggelayuti sepeda butut yang baru saja di pakai ibunya sepulang dari kawasan Taman Monas. Seorang wanita kecil berpakaian kusam seusia di bawah lelaki itu ikut membuntuti sambil melepas sapu lidi dan bak sampah seukuran belahan ember kecil.
Ibunya membelai kedua anak yang sehari-hari ia tinggalkan di rumah saat dirinya pergi bekerja sebagai buruh petugas kebersihan Taman Monas untuk menghidupi kehidupan diri dan kedua anaknya. Suparti adalah janda dari dua orang anak. Mendiang suaminya yang juga buruh petugas kebersihan Pemda DKI Jakarta sudah dua tahun meninggalkannya. Sebelumnya mereka tinggal di kawasan Jakarta Timur. Namun karena wilayah tempat mereka tinggal akan dijadikan proyek Banjir Kanal Timur, mereka diminta untuk pindah dari rumah mereka saat itu. Sebelumnya Pemerintah Daerah Jakarta Timur berjanji akan mengganti rumah dan tanah mereka dengan bangunan utuh di sebuah daerah yang belum jelas letaknya. Entah alasan apa, setelah keluarga mereka menandatangani kesepakatan bersama, Pemda DKI Jakarta belum juga memberikan tempat tinggal yang layak. Mereka sempat tinggal di berbagai kolong jembatan hingga akhirnya sekarang terdampar di pinggiran kawasan rel kereta Johar Baru. Terakhir Suparti mendengar kabar bahwa makam suami dan ayah dari kedua anaknya telah digusur dan dipindahkan entah di mana, karena proyek Banjir Kanal Timur mulai diperluas.
“Ngapain Lu ikut Emak, nanti yang jagain si Wati siapa? Kan dia masih kecil?”
“Ya, Wati di ajak aja sekalian, Mak,” balas Udin sambil menyenderkan sepeda tua ibunya ke tembok depan rumah.
“Udah, ah. Yuk, masuk. Udah sore, tuh, pada mandi sono. Entar abis mandi kita makan. Nih, Emak udah beli nasi bungkus,”
Suparti duduk sebentar di kursi kayu reot. Matanya sesekali melihat kawanan anak-anak kecil berebut mainan bekas di pinggir rel. Berisik. Bising lalu lalang kendaraan bermotor. Setiap waktu memang keadaan seperti itu tak akan hengkang dari kawasan kumuh piggir rel Johar Baru. Pagi, siang, sore, tengah malam pun hingar bingar suasana kaum marjinal tetap menyelimuti.
Bayangan sosok suaminya terkadang muncul tiba-tiba sekelebat dalam pikirannya. Suparti hanya menarik napas dalam-dalam. Sedikit sesak. Mungkin ia merasa getir untuk mengenangnya.
Azan maghrib terdengar samar beradu dengan rongrongan bus-bus kota. Bayang-bayang mega menyelinap dari balik wilayah Barat langit. Suparti mengeja langkahnya untuk membersihkan diri dan melaksanakan shalat.
“Mak, boleh, ya, Mak. Udin mau kerja kayak Emak biar bisa sekolah,” pinta Udin mengulang.
Suparti yang baru saja membaringkan badannya untuk istirahat malam memandang kosong langit-langit papan bertambal plastik rapuh. Akhir-akhir ini Udin sering meminta diizinkan untuk ikut membantunya membersihkan Taman Monas karena ingin sekolah. Tatapannya bertambah kosong diiiringi napas berat putri kecilnya yang sudah terlelap beralas tikar kusam.
“Nanti aja, ya, Din. Lu, kan masih kecil. Emak kagak tega ngeliat Lu panas-panasan di sono,” Suparti mengeja pikiran Udin yang sejak beberapa hari menunggu jawaban dari mulut ibunya.
“Udin pengen sekolah, Mak,” lirihnya pelan sambil menarik kain sarung menutupi seluruh tubuhnya. Entah apa yang dipikirkannya menjelang tidur malam itu. Mungkin isi hatinya sedih. Tapi rasanya ia malu untuk sedikit menangis di sampng ibunya. Usianya memang belum seberapa. Tapi ia sudah mampu merasakan beban ibunya yang berpeluh keringat mengurusi kehidupan ia dan adiknya. Matanya sedikit-sedikit terpejam berbenturan dengan getaran-getaran yang dilalui ular besi di luar sana.

***

Angin dingin di waktu fajar menusuk bagian dalam tubuh. Suparti beranjak dari istirahatnya menuju kamar mandi untuk mencuci pakaian kemudian memasak sarapan pagi dan makan siang anaknya nanti saat ia tinggalkan bekerja. Menghidupi kedua anak tanpa pendamping memang gamang dijalankan oleh Suparti. Mungkin ia ingin mengeluh, berteriak atau mengumpati kehidupannya. Tapi bagi Suparti yang sadar dan selalu ingat dengan pesan suaminya semasa hidup, bahwa seberat apa pun kehidupan ini, pasti ada nilai tambahnya bila kita selalu berusaha dan bersabar.
Ya, usaha dan sabar memang dua kata yang sepertinya selalu dipegang kuat oleh Suparti. Meski ujian demi ujian ia terima. Dia sudah mampu membuktikan perkataan suaminya selama ia dtinggalkan olehnya. Hingga saat ini ia mampu bertahan menghidupi kedua anaknya dengan pekerjaan sebagai buruh petugas kebresihan. Pekerjaan yang sepertinya jarang dipandang atau untuk dibicarakan sekalipun dalam kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta.
Azan shubuh memanggil. Suparti bergegas merapihkan pekerjaan rumahnya. Selepas shalat, segera ia kayuh batangan besi tua beroda dua menuju kawasan Taman Monas. Butiran-burtiran keringan dingin mulai bermunculan dari tubuhnya. Setengah perjalanan ia lalui. Iringan-iringan kendaraan umum mulai menampakkan diri. Suparti mengayuh sepedanya secepat waktu. Namun tetap saja waktu itu menatap risau pada Suparti yang mengejar harapan lepas sejauh melepas kepergian suaminya.
Dia senderkan sepadanya di balik pohon tua kawasan taman. Dia susuri sampah-sampah di taman seluas ratusan kali lapangan tenis itu. Keringat, peluh, bayang-bayang kuning keruh berulang kali menyapanya. Selembar, sekotak hingga berjumlah beberapa mobil pick up sampah ia masukkan ke dalam mobil sampah Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Kelincahannya beradu asa dengan buruh laki-laki yang senasib dengannya. Beberapa mata iba memandang dari dalam mobil mewah yang melintasi jalan di sekitarnya. Entah sudah berapa ribu kali tatapan iba itu ia dapatkan dari orang-orang yang memandangnya.
Sekelompok burung kecil berteriak riang sambil mematuk-matuk butiran-butiran biji rumput di sekelilingnya. Hatinya sedikit tersenyum karena burung-burung kecil itulah yang setia menghibur disaat-saat setengah kelelahannya muncul.
Matahari mulai beranjak sedikit ke atas kepala. Kadang awan putih menutupinya beberapa saat. Suparti masih menunduk dan menajamakan pandangannya pada sampah-sampah yang berserakan. Semangatnya tetap ada untuk mencintai pekerjaan itu. Dia kayuhkan sapu. Mengumpulkan berbagai jenis sampah dan memansukkannya pada mobil berwarna kuning yang setia mengikutinya.
Saat bulatan perak di langit mulai menggeser sedikit teriknya dari atas kepala, berkali-kali ucapan anak putranya menyentuh pikiran lelahnya. Sesekali hilang berpendar saat burung-burung kecil menghiburnya. Secara tiba-tiba muncul kembali saat galau ia rasakan.

Bukan Emak nggak mau nyekolahin Lu, Din. Tapi emang Emak saat ini belon mampu. Kalo aja bapak Lu masih ada, pasti Emak ama Bapak bakal nyekolahin Lu bareng-bareng Wati…Lu belon saatnya ikut kerja, Din. Maafin Emak, ya…

Sore kembali berpendar. Suparti tiba di rumah seperti biasa. Biasa karena tidak ada acara sambutan pembantu pada majikannya. Apalagi tawaran untuk mencicipi minuman dan hidangan yang serba nikmat. Biasa karena Suparti memang buruh petugas kebersihan. Buruh yang dalam jasanya tidak pernah tersentuh pujian dari kalangan manapun. Buruh petugas kebersihan yang selalu ramah menjaga kebersihan taman kota dari sampah-sampah yang berserakan sisa keceriaan orang-orang berada yang berkunjung ke taman itu.
“Mak, si Mina dibeliin terompet sama emaknya,” teriak Wati menyambut tangan ibunya manja.
Entah apa maksud Wati. Tapi Suparti memahami bahasa anak putrinya. Memang, besok malam seluruh warga di pelosok bumi akan merayakan malam pergantian tahun. Malam-malam yeng dilewati dengan suka cita oleh orang-orang yang berlebihan harta. Bagi Suparti, rasanya semua malam tak ada yang istimewa. Terlebih sejak ia dan kedua anaknya dengan hati perih harus meninggalkan rumah miliknya di Jakarta Timur karena proyek Banjir Kanal Timur yang menggusur banyak rumah penduduk tanpa status ganti rugi yang pasti.
“Iya, doain Emak biar bisa beli terompet buat Wati ama Bang Udin, ya,” belai rindu Suparti di kepala putrinya.
“Wah, Bang Udin, Emak mau beliin kita terompet, Bang,” teriak senang Wati mengarah ke wajah kakaknya yang sedang menuntun sepeda. Wati menggandeng tangan dan mengikuti ibunya masuk ke dalam.
Di depan rumah, Udin tampak memandang ke arah kerumunan pedagang kaki lima di seberang jalan. Tatapannya memulas awan yang mulai kemerahan disapu kemilau mega. Bayang-bayang memakai baju sekolah dan belajar di kelas masih menerawang di benaknya.
“Din, udah sore. Mandi sono!” belai manis tangan Suparti menyentuh pundak putranya.
“Ehh… iya, Mak,” Udin sedikit terkejut dari tatapan kosongnya. Dia angkat tubuhnya ke dalam menuruti perintah ibunya.
Pandangan Suparti mengantar punggung anaknya. Berganti dia yang termenung di depan rumah. Tatapan kosong matanya mengikuti jejak tatapan kelabu putranya beberapa detik lalu. Lama ia arahkan matanya ke sepeda tua milik almarhum suaminya. Beberapa kenangan manis melintas dalam benaknya saat pergi bekerja membersihkan taman, suaminya selalu memboncengi Suparti. Sekejap ia mencoba untuk menanggalkan, tapi usaha itu sia-sia ketika pandangannya kembali menyapa sepeda tua di sampingnya.

***

Malam itu sekelompok orang tampak bergembira. Anak-anak, tua-muda, laki-laki dan perempuan berseru senang sambil meniup terompet tanda bergantinya tahun. Wati dan Udin yang baru bisa memejamkan mata beberapa waktu lalu sedikit terganggu dengan riuh gembira suara terompet dan letupan mercon yang membumbung membelah tengah malam. Suparti yang saat itu belum mampu memejamkan kedua matanya mencoba menengarai gerak-gerik kedua anaknya yang tampak terkejut mendengar berulang kali ledakan mercon. Dia usap tubuh kedua anaknya agar tidak terbangun. Dia selimuti kedua anaknya agar tak dijahili nyamuk malam itu.
Riuh gemuruh bising terompet dan luapan mercon semakin menggema. Semakin bertambah kegelisahan kedua anaknya yang mulai terlelap istirahat. Suparti mencoba untuk memeluk kedua anaknya agar tak terbangun. Riuh gemuruh terompet mengingatkan wajah Wati dan Udin yang berharap mereka dapat meniup terompet juga malam ini.
Napas Suparti sedikit tersentak. Butir-butir dingin sedikit menetes dari kelopak matanya. Semakin dia mencoba untuk menahan, bayangan wajah kedua anaknya semakin menambah berat air mata di kedua kelopaknya. Dia biarkan menetes. Air matanya terus menetes seiring riuh gemuruh terompet dan letupan mercon malam itu.
Gemuruh terompet dan letupan mercon mulai mereda. Buliran-buliran bening yang mengalir dari kelopak Suparti ikut terhenti. Kembali ia peluk kedua anaknya erat-erat hingga malam semakin hening.
Hawa menjelang shubuh memaksa Suparti untuk bangun dan mengambil air wudhu. Berdiri tahajud dan witir membantu dirinya menghilangkan kesedihan. Dia angkat kedua tangannya untuk mengiba pada zat yang telah memberinya kekuatan.
Selepas shubuh. Dia ayunkan dirinya bersama sepeda tua yang setia membawanya.

***

Siang semakin memeras keringat. Peluh keringat Suparti membasahi sekujur tubuhnya. Satu liter air putih yang sudah ia teguk belum mapu menghilangkan dahaga. Ratusan kubik sampah sisa peringatan parayaan malam tahun baru belasan jam yang lalu baru setengah dirampungkan. Suparti dan belasan buruh petugas kebersihan Taman Monas siang ini bermandi keringat. Bagai merindukan bulan untuk ikut merayakan pergantian tahun. Hanya kubikan sampah yang harus mereka bersihkan yang didapat.
Dengan lemah lunglai Suparti terus mengumpulkan tumpukan sampah kemudian memasukkannya ke mobil Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Detik demi detik berubah dengan bergesernya bola terik di bawah langit. Keseimbangan kedua kakinya sedikit tak terarah. Bayangan kunang-kunang bertebaran mengganggu pandangannya. Sisa-sisa sampah mulai rampung dibersihkan. Napasnya sedikit reda karena tanda berakhirnya tumpukan sampah mulai terlihat. Napasnya mulai menghempas luas setelah pandangannya menyusuri seluruh kawasan Taman Monas bersih dari kubikan sampah sisa peringatan tahun baru semalam.
Suparti mencoba untuk meneduhkan dirinya di bawah pohon rindang. Dia kibas-kibaskan topi lusuhnya ke arah wajah. Sebotol air putih dia alirkan ke tenggorokannya yang mulai kering. Satu persatu percikan keringat yang membasahi sekujur bajunya mulai tertiup angin sore memberi rasa sejuk. Pekerjaan hari ini rampung ia sudahi.
Bayangan pohon mulai lebih panjang dari aslinya. Suparti menyegaja bangun dari istirahanya berjalan ke arah sepeda yang bersender di bawah pohon rindang. Sinar hangat mentari sore mengikuti punggungnya. Dia kayuh sepeda sekuat asa agar segera bertemu dengan kedua anaknya. Sesampainya di depan rumah, kedua anaknya sedang asyik bermain di dekat rel. Dengan wajah sedikit bercahaya dia sandarkan sepeda tuanya ke dinding tembok dan mengambil dua buah benda dari sadel jok belakang sepeda.
“Udin… Wati… sini!” senyumnya mengembang sambil menunjukkan dua buah benda kepada anak-anaknya.
“Horeee… Bang Udin, tuh, Emak bawa terompet,” Wati memanggil abangnya yang tidak menyadari kehadiran ibunya. Keduanya berlari ke arah ibunya.
“Nih, tadi waktu Emak bersihin taman, banyak terompet berserakan,” tanggap Suparti melihat kegembiraan kedua anaknya.
Udin dan Wati bergegas mengambil terompet yang sudah tampak hilang hiasan dan sedikit robek di ujung kartonya. Keduanya saling meniupkan terompet tersebut ke arah wajah mereka masing-masing. Sejurus kemudian, keduanya berlari ke arah kerumunan teman-teman bermainnya. Pandangan uparti kemblai berbenturan dengan sepeda tua yang bersandar di tembok depan rumahnya.



Pukul 23:28, akhir Desember 2009


Herwin

Seulas Harapan

Angin pagi berhembus menyapa setiap ruang di sudut taman SMAN 2 Ciputat. Kicau burung dan sesekali hempasan daun saling bergesekkan membuat suasana semakin sejuk. Jarun jam bertengger di 06.15 Waktu Indonesia Ciputat. Dengan langkah berirama tampak terlihat wajah cerah dengan penuh semangat menuju kelas yang berjarak dua puluh langkah kaki balita di sebelah Masjid Baitul Ilmi.
“Barisan mujahid melangkah ke depan, tanpa rasa takut menghalau rintangan… “ sambil melantunkan lirik nasyid, Maulana menghempas semua kegelisahannya. Maklum, semalam penuh dia menyelesaikan pekerjaan rumah, “Assalamu alaikum…” ucapnya ketika masuk kelas yang masih kosong dan penuh sampah berserakan. Tangannya segera melepas tas warna biru yang tertera Tulsan Adimas ke atas meja. Kebetulan hari ini giliran dia tugas piket kelas. Dengan langkah pasti ia mengambil sapu dan membersihkan kelasnya.
“Uhh… udah jam setengah tujuh gini, kok bocah-bocah belon ada yang nongol juga, sih?” tegasnya dengan nada heran. Segera ia kembali ke tempat duduknya. Ketika ia sedang membaca HANIF, dengan terburu-buru seorang temannya berlari mendekati.
“Wah, gawat, nih, Gua belon ngerjain PR MTK, Ul,” tegas Arif, temen seperjuangan Maul, panggilan akrab Maulana, saat latihan sepak bola.
“Woii… jangan seradak-seruuduk gitu, dong! Kayak banteng abis minum Exstra Joss, aja, Lu.”
“Ul, Gua liat PR MTK, dong. Lu pasti udah ngerjain, kan?”
Maul merasa kasihan dengan temannya. Tetapi kalau dikasih tahu, itu bisa berakibat fatal bagi Arif. Maksudnya bisa membuat dia malas. Sambil diam sejenak, Maul mencari strategi untuk mengalihkan pembicaraan temannya.
“Eh, Rif, entar mau ikut, gak?”
“Ke mana?”
“Mentoring di Masjid BI”
“Mentoring tuh apaan, sih, Ul?”
“Mentoring, tuh, ngobrol-ngobrol ringan yang ngebahas semua kehidupan kita supaya sesuai sama ajaran Islam, dari kita tidur, bangun sampe kita tidur lagi.”
Sambil berfikir, Arif berucap, “Boleh juga, tuh. Tapi, Gua, kan belon lancar baca qur’an, Ul”
“Udah, sekarang Lu mau ikut kagak?”
“Iya, dah, Gua ikut. Tapi tungguin, ya!”
Bel masuk berdering. Kebetulan jam pelajaran pertama pas Matematika. Arif bingung bukan kepalang, seperti nelayan yang sedang mencari jarum di dasar laut. Guru bidang studi pun menanyakan tugas rumah. Arif semakin bingung campur tegang, deg-degan, takut kalau di suruh maju. Sebenarnya Arif termasuk siswa yang pandai. Hanya saja, dia tertidur karena kelelahan pulang larut malam selepas latihan sepak bola, sehingga tidah sempat mengerjakan tugas rumahnya.
“Ya Allah… mudah-mudahan PR-nya nggak dikoreksi sekarang…” dengan nada pasrah, Arif memohon pada Tuhan-nya. Padahal selama ini dia jarang mengingat Tuhan-nya. Mungkin karena Tuhan-nya masih sayang dengan Arif, tidak diduga guru tersebut langsung menjelaskan materi pelajaran baru.
“Alhamdulillaaaahhh… ya Allah terima kasih,” tandas Arif.

***

Waktu istirahat tiba. Arif duduk termenung melihat siswa-siswi lain ada yang menuju ke masjid BI. Dengan perasaan heran ia menyelidiki siswa-siswi yang hendak melaksanakan shalat dhuha. Hati kecilnya berkata, “Duuhh… bener-bener kurang bersyukur, Gua. Kalo susah Gua inget Allah, kalo seneng Gua lupa. Astaghfirullaahhh…”
“Rif, ngapain, Lu, bengong di situ? Nggak ada kerjaan, apa?”
“Ul, bocah-bocah bisa, yah, rajin shalat Dhuha? Padahal, bocah-bocah yang lain lagi asyik di kantin, tapi kok mereka kayaknya khusyuk banget, sih?”
“Rif, mereka juga lagi asyik nikmatin istirahat, kok. Cuma caranya aja yang beda. Mereka nggak cuma mau nikmat makan-minum, tapi lahir batin, Cui”
“Kok asyik, Ul. Emangnya ada apaan di sana?”
“Rif, setiap orang punya harapan yang pengen dia capai bukan dengan kenikmatan sesaat”
“Maksud, Lu, apaan sih, Ul”
“Maksud Gua, mereka rindu Tuhan-nya yang udah ngsih macem-macem nikmat buat mereka. Makanya mereka mau nginget-Nya dalam keadaan senang atau susah, Rif”
Arif merasakan betapa salahnya dia kepada Tuhan-nya. Kalau saja di sampingnya tidak ada Maulana, sebenarnya dia ingin menangis menyadari dirinya yang jauh menginat Tuhan-nya.
“Ul, mulai hari ini Gua mau ikut mentoring, ah. Gua mau belajar lebih dalem, Ul tentang makna hidup”
“Sama-sama, Rif. Semoga Allah tetep ngasih kita keteguhan di jalan-Nya, Rif”
Beberapa siswa yang mendengar ketulusan Arif tersenyum dan bersyukur sambil melanjutkan wudhu hendak menunaikan shalat dhuha.


Latihan nulis cerita saat SMA


Herwin

17 Desember 2009

Malam Itu

Beribu bintang tersenyum
Karena rembulan setia menyinari
Tapi gumpalan awan tampak termenung
Memandangi sekelompok anak menangis di bawah sana

Mereka menangisi massa depan mereka
Yang diperkosa oleh Koruptor durjana
Mereka menangisi Skandal Century dari balik jeruji besi
Hanya karena sebutir nasi

kadang mereka sedikit tersenyum
Karena malam itu
Kami berkarya dengan prestasi


Sukses untuk FFI 2009


Herwin

09 Desember 2009

Senyum Gundah Mas Indra

Sejak saat itu kekhawatirannya mulai datang. Dimasa aku sedang hamil tiga bulan.
“Ma, kamu siap untuk menjaga si kecil ?” perasaan iba terlihat jelas dari raut wajahnya yang bersih.
Suamiku memang seorang lelaki yang penuh perhatian dengan istri. Selama setahun kami menikah, beliau selalu menjaga dan membimbingku. Namun, akhir-akhir ini dia sering termenung akan keadaanku yang baru mengandung anak pertama.
“Mas, tadi ada surat dari kantor,” kutunjukkan padanya dengan hati-hati. Dia membuka amplop surat itu lalu membacanya.
“Yah… jadi, Ma!” diletakkannya surat itu ke atas meja. Kembali raut wajahnya menyiratkan kecemasan.
“Lho, memangnya kenapa kalau jadi berangkat, Mas ?” selaku mencoba untuk mengurangi kerisauannya.
Mas Indra adalah seorang wakil direktur sebuah perusahaan besar yang memegang saham terbesar di kota Jakarta. Direkturnya meminta ia untuk menemaninya dalam pertemuan dengan pengusaha mancanegara di salah satu negara adidaya. Aku mengerti betapa berat hatinya meninggalkanku selama sebulan.

“Mereka bangsa serakah dalam berbisnis, Ma,” keraguannya muncul dengan perusahaan-perusahaan di sana.
“Diminum dulu tehnya,Mas!” kusodorkan segelas air hangat untuk membuka pikirannya. Sebenarnya aku pun ragu dengan keberangkatan Mas Indra. Tapi aku tidak ingin melihat suamiku bimbang hanya karena aku sedang mengandung. Aku tahu bahwa ini adalah fitrah yang diberikan oleh-Nya kepada seorang wanita.
“Mas, bukankah perusahaan sudah memberikan tugas kepada Mas untuk dilaksanakan?” kucoba untuk menjadi sahabatnya dalam berbagi masalah.
“Bukan Mas ingin melanggar tugas, Ma,” kekecewaanya terlihat lebih dalam. “Mama lihat, apa yang sudah dikukan perusahaan asing pada bangsa ini?”
“Mama tahu kok, bahwa perusahaan asing lebih banyak mendapatkan keuntungan dari negara kita.”
“Terus, Mama ingin kalo selamanya kita dibodohi?”
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan membiarkan ia untuk berpikir….
“Tuh, kan, Mas bilang juga apa? Mama harus banyak istirahat!” ungkapan keluhnya tepat tertancap dalam benakku. Sudah kurasakan beberapa hari ini mual perutku semakin menjadi. Apakah sama yang dirasakan orang tuaku saat mengandungku dahulu? Namun hal ini tak ingin kutunjukkan pada suamiku. Sebab aku khawatir bila ia benar-benar tidak jadi untuk berangkat.
“Ya sudah, Ma, besok Aku minta dibatalkan untuk berangkat ke sana,” keputusan yang dikatakan pada saat ia bimbang menambah rasa gelisahku untuk terus memotivasinya.
“Mama nggak apa-apa kok, Mas. Ini memang sudah menjadi kebiasaan pada seorang istri yang hamil pertama kali,” kutunjukkan rasa semangatku kepadanya agar ia percaya bahwa aku benar-benar siap untuk menjaga kandunganku selama ia bertugas di luar. Mas Indra mengusap perutku dan menuntunku untuk duduk di ruang tengah.
“Sudahlah, Ma. Di kantor masih banyak sahabatku yang bisa menggantikan.”
“Lho, Mas kan sebagai wakil direktur, pastilah Mas yang memiliki kelebihan dibandingkan kawan-kawan Mas di kantor,” kuletakkan kepalaku dibahunya. Terasa sekali kasih sayangnya. Aku tetap akan memotivasi dirinya. Meski ia berpikir bahwa selama ini bekerja sama dengan perusahaan asing lebih menguntungkan mereka.
Mas Indra sangat perhatian terhadap masalah sekecil apapun. Terlebih ketika terjadi pembantaian yang dilakukan bangsa adidaya dan sekutunya kepada rakyat Irak. Suamiku tahu bahwa salah satu sponsor yang mendukung pembantaian di sana dan beberapa negara lainnya adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanya. Dia tidak rela sepeser pun uang hasil kerja sama dengan perusahaannya digunakan untuk membeli senjata bagi tentara adidaya dan sekutunya dalam membuat makar yang lebih besar.
“Mama tenang aja, Mas akan buat surat izin kepada direktur agar Mas diizinkan tidak ikut berangkat.” Kepalaku terasa pusing dan rasa mual kembali menyerang tubuhku. Seketika itu keringat dingin keluar dari tubuhku dan wajahku tampak pucat.
“Tuh, kan, Mama belum siap kalo Mas tinggal ?” tangannya merangkul dan menuntuku ke kamar. Kurasakan kekhawatirannya semakin tampak bahwa ia benar-benar tidak tega meninggalkanku. Kubaringkan tubuhku yang lemah dan kupejamkan mata untuk istirahat. Dia menyelimuti dan menciumku sebelum kembali ke ruang tengah.

***

Kuhirup udara segar pagi ini. Kugerak-gerakkan tubuhku agar staminaku tetap terjaga walau sedang mengandung.
“Hiruplah, anakku ! Betapa udara pagi amat sejuk. Bersyukurlah atas karunia-Nya!” kutahan napasku. Beberapa saat kemudian kuhempaskan kembali ke udara lepas. Kucoba menenangkan diri sambil memandang hijaunya daun dan rerumputan. Kupandangi ikan-ikan yang berkejaran berebut makan di kolam halaman rumah.
“Betapa Maha Adilnya Engkau, Ya Allah,” gumamku dalam hati sambil mengusap kandunganku dengan lembut.
Mas Indra sudah berangkat ke kantor setelah shalat shubuh karena jarak kantor yang cukup jauh dari rumah. Sosok lelaki yang semangat memang. Pagi buta sudah berangkat dan kembali ke rumah larut malam setelah mengikuti kajian, dan kadang harus bertemu dengan binaannya. Pernah suatu hari ia pulang hampir shubuh karena mengisi acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan di daerah puncak. Walau baru pulang kerja, Mas Indra tetap berangkat ke sana. Aku teringat akan kata-katanya yang tulus, “Jika kita menolong agama-Nya pasti kita juga akan ditolong oleh-Nya,” potongan arti sebuah ayat dalam Al qur’an yang selalu membuatnya melihat segala sesuatu itu kecil dibandingkan dengan kekuasaan-Nya.
“Semoga kau kelak seperti Papamu, anakku,” obrolanku dengan bayi yang ada dalam kandunganku. Terasa sekali bayiku bergerak tanda setuju dengan harapanku. Suamiku pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas. Hal ini memang sudah dibuktikannya. Setiap hendak tidur beliau selalu melantunkan Al qur’an di sampingku sambil mengusap bayi dalam kandunganku. Sering pula beliau mengajakku untuk shalat tahajud bersama pada keheningan ditemani bisik jangkrik dan desah dedaunan terbelai angin malam. Mesra sekali. Begitu nikmat kudengar lantunan surat Arrahman dari lisannya yang fasih. Seketika itu mukenaku basah dengan derai air mata yang menetes karena takut akan murka-Nya dan rindu untuk jumpa dengan-Nya bersama keluarga. Indah memang apa yang dikatakan Mas Indra bahwa seseorang akan berkumpul bersana keluarganya di surga karena ketundukan dalam berbakti kepada-Nya.
Kembali kugerak-gerakkan tangan dan kakiku agar bayi dalam kandunganku semakin sehat dan cepat berkembang dengan normal. Kicau burung terdengar riang terseret angin pagi yang sejuk. Pohon-pohon berbisik mesra memandang keadaan kandunganku yang mulai tumbuh. Kucoba berjalan menyusuri rerumputan yang tertata rapi diselingi kerikil cantik seolah malu berhadapan denganku. Ahh… kurasakan keadaan tubuhku semakin baik kini.

***

“Ukh… jadi juga, Mas berangkat,” keluhnya saat selesai memberi salam dan meletakkan tas setibanya dari kantor. “Direkturku tidak mengizinkan, malahan besok Aku harus berangkat.” Tampak kurasakan bebannya untuk meninggalkanku.
“Lho, kalo memang itu yang terbaik kenapa harus ditolak, Mas?” kusodorkan segelas air putih dan beberapa potong kue kepadanya. Terlihat ia begitu lelah menyelesaikan tugasnya di kantor. “Kalo gitu, Mama akan siapkan perbekalan Mas untuk sebulan.”
“Sudah, Ma, biar Mas saja yang menyiapkan ! Paling cuma untuk sebulan.”
“Bener nih, Mas sudah siap untuk berangkat ?” candaku menghiburnya.
“Bukan, maksud Mas biar Mama tetap istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Lagi pula, kan ada si Mbok yang bisa siapkan kebutuhanku di sana,” risaunya tetap saja ada.
“Si kecil bagaimana, Ma, masih suka nendang-nendang nggak?” rasa ingin tahunya membuatku tersenyum.
“Kayaknya, ia mulai berani deh, Mas tinggal,” lontaran kata-kataku terus memotivasi dan berdiskusi tentang rencana keberangkatannya esok hari.
Malam kian larut, tampak kelelahan suamiku berada pada puncaknya. Ia menyelimutiku sebelum akhirnya ia pun tidur pulas….

Keheningan malam membuat suamiku kembali bangun dari tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Inilah kebiasaan ia untuk bercumbu dengan Rabbnya sambil meneteskan air mata. Malam ini merupakan malam kami untuk shalat tahajud bersama sebelum ia berangkat ke negeri adidaya. Lantunan ayat Al qur’an semakin merdu ia ucapkan. Dan butiran air suci jatuh satu persatu ke tempat sujudku. Kupanjatkan do’a kepada Rabbku agar suamiku diberi kemudahan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.
Bisik jangkrik terdengar riang disapu angin malam yang sunyi. Buaian lantunan ayat suci dari lisannya menambah kekhusyu’anku dalam munajat kepada-Nya. Gesek dedaunan beradu dengan ranting dan batang terdengar merdu semakin membuatku tetap berdiri dalam keheningan malam untuk tunduk pada-Nya. Percik-percik air kolam terhempas kumpulan ikan menyatukan suasana malam indah penuh berkah ditemani kilauan bintang gemintang yang tersapu deretan awan berhias sinar rembulan….

Selesai shalat shubuh, Mas Indra sudah siap. “Jangan lupa jaga kondisi kesehatan Mama dan Si kecil. Jangan lupa banyak istirahat!” pesannya sebelum berangkat ke negeri adidaya.
“Mbok, Saya titip dia dan si kecil. Tolong ingatkan agar Dia jangan banyak melakukan pekerjaan yang berat!”
“Baik, Pak,” sungkem si Mbok tanda menurut dengan suamiku. Kuterima ciumannya tepat dikeningku dan ia lekas berangkat menuju bandara. Aku tidak turut ke bandara karena tidak diizinkan olehnya. Aku hanya bisa berdo’a atas keselamatannya.

***

Rasa mual kembali menyerang tubuhku. Keringat dingin terus keluar dari kulitku setelah beberapa jam keberangkatan Mas Indra. Pandanganku semakin kabur, tak dapat membuka mata walau hanya sekedar menatap. Kupandangi sekitarku hanya tersirat goretan-goretan dinding yang iba memandangku. Aarrhh… rasa mual semakin menjadi, membuatku tidak bisa menahan untuk terus muntah. Kulihat si Mbok panik melihat kondisiku yang semakin lemah. Segera ia memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Tubuhku lemas dan membuatku sulit untuk membuka mata. Kurasakan gelap di sekitarku seketika aku tak sadarkan diri….

Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Aarrhh… berat sekali. Namun terus kucoba membuka dan akhirnya dapat juga kubuka. Aku tersentak ketika kutatap ke samping, seorang lelaki sedang mengusap kepalaku dan berbisik, “Sudah, jangan bicara dulu. Aku tidak jadi berangkat karena pesawat tidak bisa lepas landas,” senyum gundahnya tetap ada bersama butiran dingin menetes dari mataku.



Cirendeu, Malam hari


hari, tgl & tahunnya lupa