31 Desember 2009

Kado Tahun Baru

“Mak, besok Udin ikut Emak bersihin taman, ya?”
Tangan lelaki yang seharusnya duduk di kusri taman kanak-kanak itu menggelayuti sepeda butut yang baru saja di pakai ibunya sepulang dari kawasan Taman Monas. Seorang wanita kecil berpakaian kusam seusia di bawah lelaki itu ikut membuntuti sambil melepas sapu lidi dan bak sampah seukuran belahan ember kecil.
Ibunya membelai kedua anak yang sehari-hari ia tinggalkan di rumah saat dirinya pergi bekerja sebagai buruh petugas kebersihan Taman Monas untuk menghidupi kehidupan diri dan kedua anaknya. Suparti adalah janda dari dua orang anak. Mendiang suaminya yang juga buruh petugas kebersihan Pemda DKI Jakarta sudah dua tahun meninggalkannya. Sebelumnya mereka tinggal di kawasan Jakarta Timur. Namun karena wilayah tempat mereka tinggal akan dijadikan proyek Banjir Kanal Timur, mereka diminta untuk pindah dari rumah mereka saat itu. Sebelumnya Pemerintah Daerah Jakarta Timur berjanji akan mengganti rumah dan tanah mereka dengan bangunan utuh di sebuah daerah yang belum jelas letaknya. Entah alasan apa, setelah keluarga mereka menandatangani kesepakatan bersama, Pemda DKI Jakarta belum juga memberikan tempat tinggal yang layak. Mereka sempat tinggal di berbagai kolong jembatan hingga akhirnya sekarang terdampar di pinggiran kawasan rel kereta Johar Baru. Terakhir Suparti mendengar kabar bahwa makam suami dan ayah dari kedua anaknya telah digusur dan dipindahkan entah di mana, karena proyek Banjir Kanal Timur mulai diperluas.
“Ngapain Lu ikut Emak, nanti yang jagain si Wati siapa? Kan dia masih kecil?”
“Ya, Wati di ajak aja sekalian, Mak,” balas Udin sambil menyenderkan sepeda tua ibunya ke tembok depan rumah.
“Udah, ah. Yuk, masuk. Udah sore, tuh, pada mandi sono. Entar abis mandi kita makan. Nih, Emak udah beli nasi bungkus,”
Suparti duduk sebentar di kursi kayu reot. Matanya sesekali melihat kawanan anak-anak kecil berebut mainan bekas di pinggir rel. Berisik. Bising lalu lalang kendaraan bermotor. Setiap waktu memang keadaan seperti itu tak akan hengkang dari kawasan kumuh piggir rel Johar Baru. Pagi, siang, sore, tengah malam pun hingar bingar suasana kaum marjinal tetap menyelimuti.
Bayangan sosok suaminya terkadang muncul tiba-tiba sekelebat dalam pikirannya. Suparti hanya menarik napas dalam-dalam. Sedikit sesak. Mungkin ia merasa getir untuk mengenangnya.
Azan maghrib terdengar samar beradu dengan rongrongan bus-bus kota. Bayang-bayang mega menyelinap dari balik wilayah Barat langit. Suparti mengeja langkahnya untuk membersihkan diri dan melaksanakan shalat.
“Mak, boleh, ya, Mak. Udin mau kerja kayak Emak biar bisa sekolah,” pinta Udin mengulang.
Suparti yang baru saja membaringkan badannya untuk istirahat malam memandang kosong langit-langit papan bertambal plastik rapuh. Akhir-akhir ini Udin sering meminta diizinkan untuk ikut membantunya membersihkan Taman Monas karena ingin sekolah. Tatapannya bertambah kosong diiiringi napas berat putri kecilnya yang sudah terlelap beralas tikar kusam.
“Nanti aja, ya, Din. Lu, kan masih kecil. Emak kagak tega ngeliat Lu panas-panasan di sono,” Suparti mengeja pikiran Udin yang sejak beberapa hari menunggu jawaban dari mulut ibunya.
“Udin pengen sekolah, Mak,” lirihnya pelan sambil menarik kain sarung menutupi seluruh tubuhnya. Entah apa yang dipikirkannya menjelang tidur malam itu. Mungkin isi hatinya sedih. Tapi rasanya ia malu untuk sedikit menangis di sampng ibunya. Usianya memang belum seberapa. Tapi ia sudah mampu merasakan beban ibunya yang berpeluh keringat mengurusi kehidupan ia dan adiknya. Matanya sedikit-sedikit terpejam berbenturan dengan getaran-getaran yang dilalui ular besi di luar sana.

***

Angin dingin di waktu fajar menusuk bagian dalam tubuh. Suparti beranjak dari istirahatnya menuju kamar mandi untuk mencuci pakaian kemudian memasak sarapan pagi dan makan siang anaknya nanti saat ia tinggalkan bekerja. Menghidupi kedua anak tanpa pendamping memang gamang dijalankan oleh Suparti. Mungkin ia ingin mengeluh, berteriak atau mengumpati kehidupannya. Tapi bagi Suparti yang sadar dan selalu ingat dengan pesan suaminya semasa hidup, bahwa seberat apa pun kehidupan ini, pasti ada nilai tambahnya bila kita selalu berusaha dan bersabar.
Ya, usaha dan sabar memang dua kata yang sepertinya selalu dipegang kuat oleh Suparti. Meski ujian demi ujian ia terima. Dia sudah mampu membuktikan perkataan suaminya selama ia dtinggalkan olehnya. Hingga saat ini ia mampu bertahan menghidupi kedua anaknya dengan pekerjaan sebagai buruh petugas kebresihan. Pekerjaan yang sepertinya jarang dipandang atau untuk dibicarakan sekalipun dalam kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta.
Azan shubuh memanggil. Suparti bergegas merapihkan pekerjaan rumahnya. Selepas shalat, segera ia kayuh batangan besi tua beroda dua menuju kawasan Taman Monas. Butiran-burtiran keringan dingin mulai bermunculan dari tubuhnya. Setengah perjalanan ia lalui. Iringan-iringan kendaraan umum mulai menampakkan diri. Suparti mengayuh sepedanya secepat waktu. Namun tetap saja waktu itu menatap risau pada Suparti yang mengejar harapan lepas sejauh melepas kepergian suaminya.
Dia senderkan sepadanya di balik pohon tua kawasan taman. Dia susuri sampah-sampah di taman seluas ratusan kali lapangan tenis itu. Keringat, peluh, bayang-bayang kuning keruh berulang kali menyapanya. Selembar, sekotak hingga berjumlah beberapa mobil pick up sampah ia masukkan ke dalam mobil sampah Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Kelincahannya beradu asa dengan buruh laki-laki yang senasib dengannya. Beberapa mata iba memandang dari dalam mobil mewah yang melintasi jalan di sekitarnya. Entah sudah berapa ribu kali tatapan iba itu ia dapatkan dari orang-orang yang memandangnya.
Sekelompok burung kecil berteriak riang sambil mematuk-matuk butiran-butiran biji rumput di sekelilingnya. Hatinya sedikit tersenyum karena burung-burung kecil itulah yang setia menghibur disaat-saat setengah kelelahannya muncul.
Matahari mulai beranjak sedikit ke atas kepala. Kadang awan putih menutupinya beberapa saat. Suparti masih menunduk dan menajamakan pandangannya pada sampah-sampah yang berserakan. Semangatnya tetap ada untuk mencintai pekerjaan itu. Dia kayuhkan sapu. Mengumpulkan berbagai jenis sampah dan memansukkannya pada mobil berwarna kuning yang setia mengikutinya.
Saat bulatan perak di langit mulai menggeser sedikit teriknya dari atas kepala, berkali-kali ucapan anak putranya menyentuh pikiran lelahnya. Sesekali hilang berpendar saat burung-burung kecil menghiburnya. Secara tiba-tiba muncul kembali saat galau ia rasakan.

Bukan Emak nggak mau nyekolahin Lu, Din. Tapi emang Emak saat ini belon mampu. Kalo aja bapak Lu masih ada, pasti Emak ama Bapak bakal nyekolahin Lu bareng-bareng Wati…Lu belon saatnya ikut kerja, Din. Maafin Emak, ya…

Sore kembali berpendar. Suparti tiba di rumah seperti biasa. Biasa karena tidak ada acara sambutan pembantu pada majikannya. Apalagi tawaran untuk mencicipi minuman dan hidangan yang serba nikmat. Biasa karena Suparti memang buruh petugas kebersihan. Buruh yang dalam jasanya tidak pernah tersentuh pujian dari kalangan manapun. Buruh petugas kebersihan yang selalu ramah menjaga kebersihan taman kota dari sampah-sampah yang berserakan sisa keceriaan orang-orang berada yang berkunjung ke taman itu.
“Mak, si Mina dibeliin terompet sama emaknya,” teriak Wati menyambut tangan ibunya manja.
Entah apa maksud Wati. Tapi Suparti memahami bahasa anak putrinya. Memang, besok malam seluruh warga di pelosok bumi akan merayakan malam pergantian tahun. Malam-malam yeng dilewati dengan suka cita oleh orang-orang yang berlebihan harta. Bagi Suparti, rasanya semua malam tak ada yang istimewa. Terlebih sejak ia dan kedua anaknya dengan hati perih harus meninggalkan rumah miliknya di Jakarta Timur karena proyek Banjir Kanal Timur yang menggusur banyak rumah penduduk tanpa status ganti rugi yang pasti.
“Iya, doain Emak biar bisa beli terompet buat Wati ama Bang Udin, ya,” belai rindu Suparti di kepala putrinya.
“Wah, Bang Udin, Emak mau beliin kita terompet, Bang,” teriak senang Wati mengarah ke wajah kakaknya yang sedang menuntun sepeda. Wati menggandeng tangan dan mengikuti ibunya masuk ke dalam.
Di depan rumah, Udin tampak memandang ke arah kerumunan pedagang kaki lima di seberang jalan. Tatapannya memulas awan yang mulai kemerahan disapu kemilau mega. Bayang-bayang memakai baju sekolah dan belajar di kelas masih menerawang di benaknya.
“Din, udah sore. Mandi sono!” belai manis tangan Suparti menyentuh pundak putranya.
“Ehh… iya, Mak,” Udin sedikit terkejut dari tatapan kosongnya. Dia angkat tubuhnya ke dalam menuruti perintah ibunya.
Pandangan Suparti mengantar punggung anaknya. Berganti dia yang termenung di depan rumah. Tatapan kosong matanya mengikuti jejak tatapan kelabu putranya beberapa detik lalu. Lama ia arahkan matanya ke sepeda tua milik almarhum suaminya. Beberapa kenangan manis melintas dalam benaknya saat pergi bekerja membersihkan taman, suaminya selalu memboncengi Suparti. Sekejap ia mencoba untuk menanggalkan, tapi usaha itu sia-sia ketika pandangannya kembali menyapa sepeda tua di sampingnya.

***

Malam itu sekelompok orang tampak bergembira. Anak-anak, tua-muda, laki-laki dan perempuan berseru senang sambil meniup terompet tanda bergantinya tahun. Wati dan Udin yang baru bisa memejamkan mata beberapa waktu lalu sedikit terganggu dengan riuh gembira suara terompet dan letupan mercon yang membumbung membelah tengah malam. Suparti yang saat itu belum mampu memejamkan kedua matanya mencoba menengarai gerak-gerik kedua anaknya yang tampak terkejut mendengar berulang kali ledakan mercon. Dia usap tubuh kedua anaknya agar tidak terbangun. Dia selimuti kedua anaknya agar tak dijahili nyamuk malam itu.
Riuh gemuruh bising terompet dan luapan mercon semakin menggema. Semakin bertambah kegelisahan kedua anaknya yang mulai terlelap istirahat. Suparti mencoba untuk memeluk kedua anaknya agar tak terbangun. Riuh gemuruh terompet mengingatkan wajah Wati dan Udin yang berharap mereka dapat meniup terompet juga malam ini.
Napas Suparti sedikit tersentak. Butir-butir dingin sedikit menetes dari kelopak matanya. Semakin dia mencoba untuk menahan, bayangan wajah kedua anaknya semakin menambah berat air mata di kedua kelopaknya. Dia biarkan menetes. Air matanya terus menetes seiring riuh gemuruh terompet dan letupan mercon malam itu.
Gemuruh terompet dan letupan mercon mulai mereda. Buliran-buliran bening yang mengalir dari kelopak Suparti ikut terhenti. Kembali ia peluk kedua anaknya erat-erat hingga malam semakin hening.
Hawa menjelang shubuh memaksa Suparti untuk bangun dan mengambil air wudhu. Berdiri tahajud dan witir membantu dirinya menghilangkan kesedihan. Dia angkat kedua tangannya untuk mengiba pada zat yang telah memberinya kekuatan.
Selepas shubuh. Dia ayunkan dirinya bersama sepeda tua yang setia membawanya.

***

Siang semakin memeras keringat. Peluh keringat Suparti membasahi sekujur tubuhnya. Satu liter air putih yang sudah ia teguk belum mapu menghilangkan dahaga. Ratusan kubik sampah sisa peringatan parayaan malam tahun baru belasan jam yang lalu baru setengah dirampungkan. Suparti dan belasan buruh petugas kebersihan Taman Monas siang ini bermandi keringat. Bagai merindukan bulan untuk ikut merayakan pergantian tahun. Hanya kubikan sampah yang harus mereka bersihkan yang didapat.
Dengan lemah lunglai Suparti terus mengumpulkan tumpukan sampah kemudian memasukkannya ke mobil Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Detik demi detik berubah dengan bergesernya bola terik di bawah langit. Keseimbangan kedua kakinya sedikit tak terarah. Bayangan kunang-kunang bertebaran mengganggu pandangannya. Sisa-sisa sampah mulai rampung dibersihkan. Napasnya sedikit reda karena tanda berakhirnya tumpukan sampah mulai terlihat. Napasnya mulai menghempas luas setelah pandangannya menyusuri seluruh kawasan Taman Monas bersih dari kubikan sampah sisa peringatan tahun baru semalam.
Suparti mencoba untuk meneduhkan dirinya di bawah pohon rindang. Dia kibas-kibaskan topi lusuhnya ke arah wajah. Sebotol air putih dia alirkan ke tenggorokannya yang mulai kering. Satu persatu percikan keringat yang membasahi sekujur bajunya mulai tertiup angin sore memberi rasa sejuk. Pekerjaan hari ini rampung ia sudahi.
Bayangan pohon mulai lebih panjang dari aslinya. Suparti menyegaja bangun dari istirahanya berjalan ke arah sepeda yang bersender di bawah pohon rindang. Sinar hangat mentari sore mengikuti punggungnya. Dia kayuh sepeda sekuat asa agar segera bertemu dengan kedua anaknya. Sesampainya di depan rumah, kedua anaknya sedang asyik bermain di dekat rel. Dengan wajah sedikit bercahaya dia sandarkan sepeda tuanya ke dinding tembok dan mengambil dua buah benda dari sadel jok belakang sepeda.
“Udin… Wati… sini!” senyumnya mengembang sambil menunjukkan dua buah benda kepada anak-anaknya.
“Horeee… Bang Udin, tuh, Emak bawa terompet,” Wati memanggil abangnya yang tidak menyadari kehadiran ibunya. Keduanya berlari ke arah ibunya.
“Nih, tadi waktu Emak bersihin taman, banyak terompet berserakan,” tanggap Suparti melihat kegembiraan kedua anaknya.
Udin dan Wati bergegas mengambil terompet yang sudah tampak hilang hiasan dan sedikit robek di ujung kartonya. Keduanya saling meniupkan terompet tersebut ke arah wajah mereka masing-masing. Sejurus kemudian, keduanya berlari ke arah kerumunan teman-teman bermainnya. Pandangan uparti kemblai berbenturan dengan sepeda tua yang bersandar di tembok depan rumahnya.



Pukul 23:28, akhir Desember 2009


Herwin