31 Desember 2009

Seulas Harapan

Angin pagi berhembus menyapa setiap ruang di sudut taman SMAN 2 Ciputat. Kicau burung dan sesekali hempasan daun saling bergesekkan membuat suasana semakin sejuk. Jarun jam bertengger di 06.15 Waktu Indonesia Ciputat. Dengan langkah berirama tampak terlihat wajah cerah dengan penuh semangat menuju kelas yang berjarak dua puluh langkah kaki balita di sebelah Masjid Baitul Ilmi.
“Barisan mujahid melangkah ke depan, tanpa rasa takut menghalau rintangan… “ sambil melantunkan lirik nasyid, Maulana menghempas semua kegelisahannya. Maklum, semalam penuh dia menyelesaikan pekerjaan rumah, “Assalamu alaikum…” ucapnya ketika masuk kelas yang masih kosong dan penuh sampah berserakan. Tangannya segera melepas tas warna biru yang tertera Tulsan Adimas ke atas meja. Kebetulan hari ini giliran dia tugas piket kelas. Dengan langkah pasti ia mengambil sapu dan membersihkan kelasnya.
“Uhh… udah jam setengah tujuh gini, kok bocah-bocah belon ada yang nongol juga, sih?” tegasnya dengan nada heran. Segera ia kembali ke tempat duduknya. Ketika ia sedang membaca HANIF, dengan terburu-buru seorang temannya berlari mendekati.
“Wah, gawat, nih, Gua belon ngerjain PR MTK, Ul,” tegas Arif, temen seperjuangan Maul, panggilan akrab Maulana, saat latihan sepak bola.
“Woii… jangan seradak-seruuduk gitu, dong! Kayak banteng abis minum Exstra Joss, aja, Lu.”
“Ul, Gua liat PR MTK, dong. Lu pasti udah ngerjain, kan?”
Maul merasa kasihan dengan temannya. Tetapi kalau dikasih tahu, itu bisa berakibat fatal bagi Arif. Maksudnya bisa membuat dia malas. Sambil diam sejenak, Maul mencari strategi untuk mengalihkan pembicaraan temannya.
“Eh, Rif, entar mau ikut, gak?”
“Ke mana?”
“Mentoring di Masjid BI”
“Mentoring tuh apaan, sih, Ul?”
“Mentoring, tuh, ngobrol-ngobrol ringan yang ngebahas semua kehidupan kita supaya sesuai sama ajaran Islam, dari kita tidur, bangun sampe kita tidur lagi.”
Sambil berfikir, Arif berucap, “Boleh juga, tuh. Tapi, Gua, kan belon lancar baca qur’an, Ul”
“Udah, sekarang Lu mau ikut kagak?”
“Iya, dah, Gua ikut. Tapi tungguin, ya!”
Bel masuk berdering. Kebetulan jam pelajaran pertama pas Matematika. Arif bingung bukan kepalang, seperti nelayan yang sedang mencari jarum di dasar laut. Guru bidang studi pun menanyakan tugas rumah. Arif semakin bingung campur tegang, deg-degan, takut kalau di suruh maju. Sebenarnya Arif termasuk siswa yang pandai. Hanya saja, dia tertidur karena kelelahan pulang larut malam selepas latihan sepak bola, sehingga tidah sempat mengerjakan tugas rumahnya.
“Ya Allah… mudah-mudahan PR-nya nggak dikoreksi sekarang…” dengan nada pasrah, Arif memohon pada Tuhan-nya. Padahal selama ini dia jarang mengingat Tuhan-nya. Mungkin karena Tuhan-nya masih sayang dengan Arif, tidak diduga guru tersebut langsung menjelaskan materi pelajaran baru.
“Alhamdulillaaaahhh… ya Allah terima kasih,” tandas Arif.

***

Waktu istirahat tiba. Arif duduk termenung melihat siswa-siswi lain ada yang menuju ke masjid BI. Dengan perasaan heran ia menyelidiki siswa-siswi yang hendak melaksanakan shalat dhuha. Hati kecilnya berkata, “Duuhh… bener-bener kurang bersyukur, Gua. Kalo susah Gua inget Allah, kalo seneng Gua lupa. Astaghfirullaahhh…”
“Rif, ngapain, Lu, bengong di situ? Nggak ada kerjaan, apa?”
“Ul, bocah-bocah bisa, yah, rajin shalat Dhuha? Padahal, bocah-bocah yang lain lagi asyik di kantin, tapi kok mereka kayaknya khusyuk banget, sih?”
“Rif, mereka juga lagi asyik nikmatin istirahat, kok. Cuma caranya aja yang beda. Mereka nggak cuma mau nikmat makan-minum, tapi lahir batin, Cui”
“Kok asyik, Ul. Emangnya ada apaan di sana?”
“Rif, setiap orang punya harapan yang pengen dia capai bukan dengan kenikmatan sesaat”
“Maksud, Lu, apaan sih, Ul”
“Maksud Gua, mereka rindu Tuhan-nya yang udah ngsih macem-macem nikmat buat mereka. Makanya mereka mau nginget-Nya dalam keadaan senang atau susah, Rif”
Arif merasakan betapa salahnya dia kepada Tuhan-nya. Kalau saja di sampingnya tidak ada Maulana, sebenarnya dia ingin menangis menyadari dirinya yang jauh menginat Tuhan-nya.
“Ul, mulai hari ini Gua mau ikut mentoring, ah. Gua mau belajar lebih dalem, Ul tentang makna hidup”
“Sama-sama, Rif. Semoga Allah tetep ngasih kita keteguhan di jalan-Nya, Rif”
Beberapa siswa yang mendengar ketulusan Arif tersenyum dan bersyukur sambil melanjutkan wudhu hendak menunaikan shalat dhuha.


Latihan nulis cerita saat SMA


Herwin