11 Februari 2008

Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada


Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada
(Oleh Herwin)

Kita sebut saja, Kusuma, salah satu dari mahasiswa UIN Jakarta yang memang ‘maniak’ dengan buku. Suatu siang yang cerah, tapi tak secerah harapannya ketika berkunjung ke Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta. Kusuma hendak meminjam buku di sana untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menggunung melebihi gunung Pangrango di Jawa Barat. Tentu sebagai mahasiswa dia tahu harus ke mana untuk mencari bahan tugasnya tersebut. Dan sudah pasti dia menuju PU yang ‘seharusnya’ menyediakan banyak buku referensi bagi mahasiswanya. Tetapi memang siang hari itu tak secerah harapannya, ketika datang ke dalam, bukan dianggap sebagai mahasiswa yang ‘rajin’ untuk berkunjung, namun setiap kali ia berkunjung harus menerima tatapan jutek dan sok interogatif dari petugas PU. “Gue mungkin udah di cap rusak kali di sana. Padahal Gue Cuma mau pinjem buku, bukan niat yang nggak-nggak,” keluhnya, terpaksa mencari buku-bku dengan persaan sedikit kesal.
Berbeda dengan Jabar. Mahasiswa dari Fakultas Tarbiyah ini lebih ironis lagi, ketika ia harus menerima lontaran kata sebagai ‘pencuri’ dari petugas PU. Hal tersebut terjadi tanpa kesengajaan dari Jabar. Saat ia mengembalikan buku, ternyata buku yang dipinjamnya tidak masuk daftar data peminjam dalam komputer petugas. Terang, Jabar menghela napas. Toh, walau dengan mengelak tetap saja lontaran kata itu sudah diterimanya.
Di hari lain, ternyata kejadian serupa mengenai seorang mahasiswa lain dari fakultas yang berbeda. Di sanalah letak penyebabnya. Ternyata ada sesuatu yang salah terjadi dalam komputer petugas, buku yang dipinjam Jabar dan mahsiswa lain tersebut tidak terdeteksi di komputer petugas, bukan Karena kesalahan Jabar dan mahasiswa lain tersebut. Dan petugas PU pun seharusnya tidak serta merta melontarkan kata ‘mencuri’ bagi kedua mahasiswa resebut.
Hal di atas baru beberapa kejadian yang dialami mahasiswa UIN Jakarta. Belum lagi tentang daftar buku pada katalog tidak sesuai dengan kenyataan di rak-rak buku, ketersediaan buku-bku referensi bagi mahasiswa, dan berbagai persoalan lain yang seharusnya tidak ditemukan di kampus yang mengklaim sebagai ‘World Class University’.
Menjadi Kampus berstandar internasional memang keinginan bersama. Tetapi cita-cita tersebut mestinya dibarengi dengan kekuatan internal; optimis juga realistis. Tidak sekedar membayangkan untuk memakan hidangan lezat tetapi tidak berupaya memesan atau membuat makanan lalu dihidangkan agar siap disantap.

Perpustakaan bukan sekedar koleksi buku

Bila dilihat lebih menyeluruh, keberadaan buku-buku referensi yang disediakan di PU sebenarnya lebih banyak buku-buku lama –tanpa maksud menghinakan buku sebagai sumber ilmu- yang memang disumbangkan dari lembaga-lembaga di Indonesia dan luar negeri. Namun apakah sebenarnya PU tidak bisa menyediakan buku-buku referensi yang lebih banyak dan bervariasi sesuai dengan kebutuhan mahsiswa UIN Jakarta? Bila terjawab tidak bisa, bukankah anggaran mahasiswa setiap semester untuk PU selalu mengalir? Bila dikalikan dengan jumlah seluruh mahasiswa UIN, jelas seharusnya PU UIN Jakarta mampu membeli buku-buku referensi sebanyak mahasiswa UIN Jakarta dalam setiap semester. Dan yang lebih memalukan lagi, kebanyakan buku-buku baru yang berada di PU adalah hasil dari sumbangan (red: memaksa) mahasiswa UIN yang diwisuda. Bila ini terus terjadi, jelas sebenarnya PU UIN hanya berdiri sebagai kolektor buku-buku sumbangan dari mahasiswa dan lembaga-lembaga lain yang peduli (red: Kasihan) dengan UIN. Seharusnya manajemen PU mesti bekerja keras untuk menghasilkan PU yang berkualitas dengan anggaran dana yang tidak sedikit diberikan oleh mahasiswa tiap semester. Tidak lagi berpikir untuk mencari ‘keuntungan’ semata dan ‘bagi hasil’ dengan kegiatan-kegiatan sepele yang mengatasnamakan mahasiswa UIN.
Bila kampus-kampus lain yang dinilai dibawah tingkatan –meski belum tentu kampus besar manajemennya bagus- UIN Jakarta bisa menyediakan layanan internet gratis bagi mahasiswanya yang membutuhkan bahan- bahan, mengapa PU UIN tidak mencoba untuk belajar dari kampus-kampus tersebut dengan menerapkan berbagai inovasi yang mereka miliki –dengan penyeleksian tentunya- untuk diterapkan di UIN Jakarta. Dan hal tersebut tidak menjadikan UIN dipandang hina oleh kampus-kampus tersebut. Justru kampus kampus yang sudah berstandar internasional pun lebih sering berinteraksi dan belajar dengan kampus-kampus di bawahnya. Dan UIN pun seharusnya lebih bisa untuk melaksanakan itu, dengan realita memang kampus UIN belum berstandar kampus dalam negeri, tanpa berpikir pesimis memang kampus UIN belum berada pada kampus menuju berstandar internasional.

Memaksimalkan anggaran mahasiswa

Mungkin ini solusi yang menyeleneh, tetapi solusi ini tidak juga dianggap remeh. Anggaran dana yang diberikan oleh mahasiswa seharusnya mampu meningkatkan kualitas PU UIN Jakarta, tetunya dengan kemauan keras pihak-pihak yang memang berhubungan langsung dengan kebijakan penggunaaan anggaran tersebut untuk berjalan sinergis dengan civitas akademika UIN Jakarta.
Memaksimalkan anggaran, bukan berarti untuk hal-hal yang tidak berguna bagi pengembangan PU UIN Jakrata. Memaksimalkan anggaran agar seluruh mahasiswa UIN Jakarta tidak luput untuk melakukan diskudi-diskusi keilmiahan, merutinkan diri untuk menggali sumber-sumber ilmu, dan merasa memiliki gairah untuk menciptakan sebuah karya ilmiah yang popular sehingga UIN dikenal di dalam negeri terlebih dunia internasional. Semakin banyak karya-karya ilmiah yang dihasilkan, pasti cita-cita menjadi kampus berstandar internasional dapat diraih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar