04 Februari 2009

Filsafat Pendidikan; Relaksasi Akhir Semester Tujuh



Bingung! Itulah kata “kramat” yang pertama dirasakan oleh seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sebut saja Herwin. mahasiswa semester tujuh ini dihinggapi rasa bingung yang akut. Bingung bukan lantaran menghadapi UAS atau bingung bingung karena sopir angkot tidak menurunkan tariff angkotnya padahal SBY sudah melakukan inspeksi mendadak (sidak), juga bukan bingung karena belum bayar uang kuliah, apalagi bingung karena biaya PPKT di Fakultas Tarbiyah dan biaya Wisuda di UIN Jakarta amat mahal. Tapi dia bingung lantaran mendapat tugas akhir dari Dosen Filasafat Pendidikan, salah satu mata kuliah yang ia ambil –dipaksa mengambil- pada semester itu.


Tugas bagi seorang mahasiswa adalah biasa. Apa yang mesti dibingungkan atasnya? Mungkin itu yang terpikir di kepala orang-orang di sekitarnya. Sekali lagi, yang membuat bingung mahasiswa ini bukan soal tugas yang biasa dan memang membutuhkan referensi dan kesediaan meluangkan waktu untuk merangkum, mengetik dan memahaminya. Justru karena tugas akhir ini jauh berbeda dengan tugas-tugas biasanya.


“senyumlah pada sepuluh orang yag kalian tidak kenal, lalu tulislah reaksi mereka orang yang kamu senyumi itu!” perintah Dosen Filsafat Pendidikan itu pada mahasiswanya.


Inilah yang membuat Herwin kebingungan. Ilmu santet paku bumikah yang ia dapat? Aura cinta sejagadkah yang bakal ia terima? Atau sekedar bahan tertawaan orang yang disenyumi lantaran akan menganggap si Herwin gila, mahasiswa bloon –bego- sinting, atau beberapa kata lain dari planet luar yang bakal diterimanya sebagai hadiah awal tahun.


Tugas yang membingungkan memang. Kalau bukan karena tugas akhir atau atau segabai tugas wajib –fardhu ‘ain- 100% pasti dia bakal males dan ogah menyelesaikan tugas itu. Al hasil bin Al ajdinya, dia anggaplah tugas itu sebagai tugas dan Misi Suci dari Eyang Tanenji. Entah ilmu apa yang akan ia dapat, dan berapa kali kata-kata pujian dari planet luar yang mampir ditelinganya atau malah ada cewek-cewek sinting dan bloon yang bakal tertarik dengannya.


“Langit atas langit bawah… petir ombak angin puyuh… Restu bundo sate padang… Pecel lele ikan bakar… Bakso urat somay ikan…” entah mantra apa yang terucap di bibir Herwin untuk memulai Misi Sucinya.


Lelaki di seberang jalan


Siang makin terang. Raja Langit menjilat ubun-ubun kepala yang sejak pagi itu pusing menerima materi pelajaran di kelas. Herwin berjalan menuju Masjid Fathullah, tempat peradaban baginya untuk menghadap dan menyembah Tuhannya. Ratusan mahasiswa hilir - mudik keluar – masuk gerbang utama Kampus UIN Jakarta. Herwin salah satu darinya untuk ke seberang jalan di depan Masjid Fathullah. Entah kesamber petir apa, ia langsung teringat akan Misi Sucinya. Secepat burung gagak ia memancangkan matanya, mencari mangsa yang akan diterkamnya. Kanan kiri matanya melirik menatap dan mengurai panas matahari. Jatuhlah matanya pada sesosok lelaki di seberang jalan, berlawanan arah dengannya. Sejurus singkat dan secepat hantu karang bolong ia lemparkan senyum asamnya pada lelaki di seberang jalan itu. Reaksi apa yang di dapatnya? Lelaki yang mulanya ceria langsung berubah rona wjahnya menjadi kaku dan mencoba melirik ragu pada si pemberi senyum. Herwin tetap tersenyum dan lelaki itu terus mencoba untuk melirik, memastikan kembali, siapa sebenarnya orang yang memberinya senyum? Dengan lirik kilatnya, wajahnya semakin kaku dan entah apa yang dipikirnya untuk si pemberi senyum itu.

Herwin gondok dan jengkol (eh… jengkel) bukan main, tak ada senyum balasan dari lelaki di seberang jalan itu. Misi suci pertamanya hancur tak menimbuklan gairah.


Anak kecil itu berpaling


Pagi masih dingin. Angin lembut diselingi sesekali rintik gerimis kecil membelai kulit. Beberapa rintik gerimis itu menimpa kaca mata Herwin dan membuatnya agak berkabut. Dia membasuh kaca matanya dengan baju yang dikenankannya. Sebentar kabut hilang, dan sebentar datang datang kembali karena rintik gerimis lagi-lagi menimpa kaca matanya.


Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya, Herwin berjalan dari rumah ke Gintung. Berjalan bukan kerana gak ada uang untuk naik ojeg, tapi memang tidak punya alokasi dana untuk mengeluarkan empat ribuan pada pahlwan roda dua itu. Delapan ratus meter ia langkahkan kakinya untuk berjumpa dengan sopir pribadinya -angkot- dengan tempat duduk yang nyaman, berkhayal sebanding dengan tempat duduk anggota dewan yang mendapat banyak tunjangan sana-sini, meski tak terlihat apa yang ia kerjakan untuk rakyat di sana. Walau sebelum menjabat, mereka berjanji berjuang untuk kepentingan rakyat.


Sepertiga akhir perjalanan adalah kegembiraan baginya. Sebab, di tempat dan jalan itulah ia bisa menghirup udara pagi dan nikmatnya pemandangan Danau Situ Gintung yang asri, meski akhir-akhir ini limbah zat-zat kimia dari gedung Fakultas Kedokteran UIN Jakarta di Kampus Dua menodainya.


Angin makin berhembus agak kencang. Herwin mencoba mengerak-gerakkan tangannya untuk melakukan olah raga kecil-kecilan. Sekitar tiga puluh langkah menuju jembatan beton, ia lihat seorang anak yang berjalan dengan ibunya. Sekitar delapan tahun usia anak itu. Ia digandeng ibunya, asyik bercanda dan bercanda ria laiknya anak-anak kecil lain. “Inilah saatnya untuk melakukan Misi Suci kedua,” ungkapnya. Senyum manis mulai mulai dia kembangkan
“Pikiran jorok” Herwin langsung tersirat. , kerah baju ia rapihkan. Sekitar sepuluh langkah dari anak itu, Herwin terus mengumbar senyum dan memandang anak kecil tersebut. Entah merasa takut diculik atau takut digampar, setelah berjarak sekitar lima langkah mendekatinya, anak itu langsung berpindah ke samping kiri sebelah ibunya dan memandang Herwin dari balik lengan ibunya.


Herwin merasa tidak enak dengan ibunya. Ia tundukkan kepalanya ketika pas bersampingan dengan anak kecil dan ibunya tersebut. Herwin terus menundukkan kepala hingga ia berjarak sekitar 6 langkah melewati anak itu. Karena masih penasaran, Herwin mencoba melihat kembali anak itu ke belakang, ternyata anak itu merubah posisinya kembali ke tempat semula dan bercanda kembali dengan ibunya.


Malam Minggu yang cerah


Bulan malam itu malu-malu memunculkan diri. Bercahaya cukup terang di balik gumpalan awan kecil. Bintang-bintak lentik dan imut menghiasinya, berkerlip-kerlip lincah dan manja. Jalan Cirendeu Raya tampak ramai dan macet. Pemandangan yang biasa Herwin dapati di jalan itu bila hari-hari dan malam-malam libur. Bunyi klakson, raungan motor dan mobil saling bersahutan. Dentuman sound musik penjaja VCD dan DVD bajakan menyatu menghiasi malam itu. Malam ini Herwin hendak menggenapkan hajatnya untuk membeli sepasang Kaos kaki di di salah satu tempat, dimana tempat itu adalah tempat bersejarah baginya. Bersejarah Karena waktu kelas satu SD, di tempat itulah ia pertama kali main Ding Dong, salah satu permainan yang bergengsi di zamannya. Hanya dengan memasukkan koin ratusan ke dalam kotak permainan tersebut, ia akan senang dan bersuka cita dapat bertarung dengan lawannya dlam permainan itu. Tapi, malam itu berbeda dengan masa SD dulu. Permaian di tempat itu sudah tidak ada, yang tersisa hanya tempat bermandi bola khususu anak-anak TK dan beberapa permaian baru. Dan tidak mungkin Herwin akan bermandi bola malam itu.


Bukan bermaksud promosi, tempat itu adalah Aneka Buana, salah satu supermarket yang telah menyatu di hati masyarakat Cirendeu, meski monopoli perdagangan meluas pada Superindo, Alfa Mart, Indomart dan berbagai jenis usaha-usaha besar yang katanya dapat mematikan usaha-usaha kecil di sekitarnya.

Herwin mulai mengazamkan hajatnya. Ia tuju rak-rak tempat kaos kaki ditenggerkan. Dia pilih-pilih mana yang cocok untuknya. Walau sebagus apapunkaos kaki itu, tetap tak menaikkan kondisi ekonominya. Pas-pasan. Berhasil memilih satu, ia langsung meuju kasir. Dalam perjalanan menuju kasir, ia lihat tiga anak gadis seusia SMA sedang memilah-milah kalung dan gelang yang ditenggerkan pada salah satu rak besi di lantai dua itu. Inisiatif untuk menjalankan Misi Suci yang ketiga tumbuh dan merekah malam itu.


Herwin langsung menunda langkahnya untuk meuju kasir. Ia ambil posisi yang dapat dilihat salah seorang dari tiga gadis seusia SMA itu untuk menbar senyumnya. “Here I’m Herwin… I’m Here to you…” ungkap dalam hatinya. Ia pura pura memilih-milih baju, seolah ingin membelinya. Padahal uang di kantongnya hanya cukup untuk membeli sepasang kaos kaki dan sisanya mungkin bisa untuk membeli semangkuk bubu kacang hijau Madura.


Ia coba melirikkan pandangannnya ke salah satu gadis itu, belum ada yang memperhatikannya. Dia coba lagi mengatur posisi, dan tepat. Salah seorang gadis dari mereka menangkap senyum Herwin. Dan gadis itupun membalas senyumya. “Eureka… I found it!!” Herwin langsung bergegas menuju kasir dan membayar sepasang kaos kakinya. Sambil menunduk, Herwin istighfar, jarena tidak menjaga kode etik sebagai mahasiswa UIN Jakarta yang katanya pandai menjaga pandangan; gadhul bashar, Bu!


“Jamu, Mas?”

Pagi itu, Jakarta masih macet, yak berkurang meski Fauzi Bowo menerapkan kebijakan jam masuk lebih awal bagi pelajar sekolah di Ibu Kota ini. “Bagaimana macet bisa berkurang kalo kebijakan import kendaraan bermotor gak dibatasi dan pajaknya semakin murah,” sungut herwin dalam hati.


Hampir satu jam ia dalam bus jurusan Lebak Bulus – Kota. Pagi itu ia sengaja melegalkan diri berdesak-desakkan dan berdiri dalam bus umum untuk menuju ke Harco Mas Mangga Dua, bukan mau cari VCD-DVC atau software bajakan, tapi ia menyengaja ingin membeli Hardisk 80 G’Ziget IDE’ model lama di sana. Maklum, Hardisk 5 G di computer jadulnya udah gak bisa nampung data.


Sumpek dalam bus, sudah biasa. Yang membuat melas hati Herwin adalah bau asap rokok. “Kurang ngajar juga nih orang, ngerokok semabrangan. Gak tau aturan apa?” maki Herwin dalam hati. Tak berguna lagi peraturan pemprov DKI, sebagian banyak orang masih cinta dengan asap itu. Padahal kalo dia tau berapa dana yang diuntungkan buat si pengusaha asap di balik kesengsaraan kelas bawah itu, haqqul yaqin pasti dia gak mau lagi ngerokok. Lihat saja bangunan tinggi di jalan Semanggi, Jakarta. Di sana bertengger apartemen berpuluh lantai, berdiri atas kesengsaraan si perokok yang sengaja tanpa sadar melibatkan diri atas pembangunan gedung tersebut. Padahal untuk menginjakkan kaki saja di tempat itu, si kelas bawah ini belum tentu diizinkan. Khusus untuk orang-oarang tertentu dan berduit. Gondok kan!?. Namanya Apartemen Sampoerna. Menjulang tinggi untuk mengambil keuntungan di bawah derita para pengidap bermacam penyakit akut akibat asap rokok itu.


Perjalanan baru sampai Jembatan Lima. Aroma kali-kali di Jakarta yang katanya puasat ibu kota Negara Indonesia tidak dapat digambarkan lagi. Sampah-sampah memamerkan diri di jalan-jalan dan bantaran kali. Jakarta sudah tidak tampak lagi sebagai ibo kota, bahkan penduduk di sana pun mayoritas ‘bermata sipit’. Mereka menguasai bermacam bisnis di daerah itu. Sedang penduduk Jakarta hanya sebagai kaum proletar –budak- kemajuan imigran lain.


Tiba di Harco Mas Mangga Dua. Herwin mencoba berdiri sebentar, meluruskan lekuk-lekuk tulangnya yang kaku selama satu setengah jam berdiri dalam bus. Ia mencari tempat duduk yang nyaman. IA tuju emperan halte bus di sana dan duduk sebentar sambil memandangi lalu lalang kendaraan di depannya. Rasa pegal dan capek sesaat hilang, ia bergegas menuju ke ITC dan Harco Mangga Dua. IA berjalan sambil memegangi tali tas di pundaknya. Di saat-saat itulah “pikiran jahatnya” muncul kembali. Misi Suci harus di jalankan. Dia mulai mengetes dan mencoba mengumbar senyum. Satu mangsa yang ia targetkan. Mangsa kali itu adalah penjual jamu yang sedang berjalan searah dengannya. Perlahan-lahan ia coba hampiri penjual jamu itu. Selangkah, dua langkah ia coba percepat. Dan pas di samping penjual jamu itu, dengan tebar pesona ia arahkan senyumnya pada penjual dan sejurus kemudian ditanggapi oleh penjual jamu itu, “Jamu, Mas?” Dengan refleks Herwin menggelengkan kepala dan mempercpat langkahnya menuju tangga penyeberangan ITC dan Harco Mas Mangga Dua.


Catatan


Kuungkapkan padamu, kawan. Ternyata memberi senyum pada orang yang tidak kita kenal memang mudah. Tetapi untuk menghibur diri atas tanggapan dan reaksi yang diberikan oleh orang yang kita senyumi tersebut yang sulit. Kadang malu, gondok, sebel, senang, lucu atau apalah.


Dan dari sepuluh Misi Suci yang harus kutulis, hanya empat Misi Suci yang sanggup kuungkapkan. Mungkin aku termasuk Murid yang melenceng dari tugas suci yang diberikan Sang Guru kepadanya. Meski reaksi dari enam orang yang tak kukenal lainnya sama atau mungkin berbeda dari empat hasil Misi Suci yang kutulis di atas.


Senyum. Itulah yang kutanggkap atas relaksasi ini. Senyum memang kadang menjadi budaya yang hampir ditinggalkan. Padahal ia menyimpan banyak kekuatan. Kekuatan utnuk berbagi, berkeluh kesah, bertukar asa, atau bertukar alamat dan nomor telpon bagi penyandang gelas “jomblo sejati”. Tapi senyum juga bisa mengantarkan kita pada penyakit pikiran kotor dan pikiran negatif seseorang tanpa melihat dan mengenal permasalahan yang terjadi sebenarnya. Untuk itu, tersenyum dan berpikir positiflah atas permasalahan yang belum kita ketahui penyebabnya. Herwin