15 Mei 2009

World Ocean Conference 2009; Bukan untuk Nelayan Tradisional

 

Kemarin, tepatnya Kamis, 14 Mei 2009, Konferensi Kelautan Tingkat Dunia di buka Oleh Presiden RI -SBY- di Manado. Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan menteri kelautan dan perwakilan lembaga pariwisata dari kurang lebih 150 negara ini akan membahas perubahan iklim yang ikut mempengaruhi ekosistem maritim juga membahas pelestarian terumbu karang yang akhir.

Semua berkumpul seolah ikut perhatian dengan kondisi Iklim yang sekarang mengalami perubahan drastis.


Bagi Indonesia, mungkin acara ini hanya sekedar pemanis dan cari muka dihadapan pergaulan dunia. Sejak kapan Indonesia peduli dengan kondisi maritim dan pelestarian terumbu karang yang tersebar di pelosok negeri Bahari ini? Jangankan memeperhatikan kondisi Maritim dan perubahan terumbu karang, memperhatikan nelayan tradisional yang notabene banyak mempengaruhi ekonomi di sektor riil, pemerintah seakan b\membungkam mulut dan tak mau tahu. Maka tidak heran bila luas batas lautan dan kepulauan NKRI seiring beranjaknya waktu bak negeri yang tak memiliki tuan empunya.


Tak terdengar dan tak terlihat, seberapa besar perhatian pemerintah untuk melibatkan nelayan tradisional dalam WOC kali ini. Jika boleh mengeluh, sebenarnya nelayan tradisionallah yang mengalami stag mental atas perubahan iklim di dunia ini. Sebab di sanalah ujung tombak pendapatan mereka. Tetapi ironis, pemain utama dalam 'ceita misteri' ini tidak dilibatkan. Jangan bicara soal bagaimana mereka harus bertaruh prediksi atas kondisi alam yang tidak menentu saat ini. Memikirkan bagaimana untuk mendapatkan bahan bakar yang murah untuk melaut saja harus bergelut dengan asa dan rongrongan isi kantong tipis mereka.


Lantas akankah WOC 2009 ini benar-benar memberikan solusi bagi nelayan tradisional atas kegundahan hati mereka. Atau hanya sekedar pemanis bibir dan tak menghasilkan kebijakan yang tegas atas oknum-oknum yang selama ini mengambil keuntungan pribadi dari terumbu-terumbu karang dan penjualan pulau-pulau kebanggaan NKRI.


11 Mei 2009

Satu Ladang Satu Harapan

Di atas sana
Di awang-awang kegundahan mentari
DI balik terpaan awan siang yang menyengat
 
Satu langkah lunglai
Namun pasti menapaki beribu langkah
 
Dia terlihat lunglai
Mungkin memang senja memasaknya
 
Sedikit berbaring ia menghilangkan peluhnya
Satu ulir rumput ia masukkan di ujung mulutnya
Entah karena lapar dan haus
Atau memang tak ada teman untuk mnegisi sisa-sisa hari
 
Buratan garis di wajahnya memastikan dia tersesat
Tersesat jauh karena hampa dan rindu
 
Siapa peduli
Siapa terpana
Siapa menaruh iba
 
Hanya angin sore dan sisa sinar senja
Menaruh iba dari balik bukit
 
Satu ratapn terlihat dari ujung mata sayunya
Satu celoteh tampak dari daun telinganya
Satu perasaan duduk di tengah mulutnya
 
Mungkin ungkapan itu
Yang mampu menemani kesendiriannya
 
Dia tetap tersenyum
Senyumnya memang sendu
Bila memang hanya senyum yang membuatnya cerah
Mungkin secerah itulah ia memandang
Hasil kekayaan hamparan ladang yang luas
Yang ia sisakan untuk ank cucunya
 
 
 

10 Mei 2009

Senja Itu Menghilang di Situ Gintung

Dulu burung-burung sore menghibur kami... dulu ikan-ikan kecil menghibur kami sambil melompat ke udara menghirup udara lepas.... dulu angin lembut membelai kulit-kulit kami yang gersang terjilat mattahai... dudlu kami asyik becanda dan beseluh kesah dalam damai dan liukan kejaran air yang enggan menepi... dulu kami mengejar layang-layang dan mandi melompat terjun dan membentangkan tang seluas kami memamndang...
Tapi kini...itu semua hanya khayalan kami yang porak poran da atas keserakahan pengusaha perumahan dan anjing-anjing kelurahan yang sengaja mengeluarkan IMB tanpa aturan dan memang melanggar aturan..
Dan.. kini SITU GINTUNG kami hanya senonggok perahu besar yang ksong tanpa isi dan terseok untuk melangkah dan mengejar asa, menghibur dan membimbing kami akan sikap peduli atas anugerah Ilahi atas alam yang telah dilimpahkan pada kami..
Kutunggu ka wahai para pembual yang kongkalikong dengan mereka-kereka yang saat ini mengambil cita dan harapan akami atas keteduhan DAnau kami.... Kami akan selalu ingat wajah kalian yang terus merampasa danu kami demi rupiah yang akan hilang diterpa masa.....
KAmi akan selalu ingat... dan akan kami ingat..... dan ingatan kami tak kan lepas dari pekerjaan jijik kamila yang kalian wariskan pada darah daging kalian...

Simsalabim.....

Seminggu, sebelum Ujian Nasional di mulai.... semua sekolah berbenah.. berbenah bukan karena kesadaran penuh untuk menanamkan kedisiplinan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan sekolah. Tapi hanya sekedar mengusir rasa 'tidak enak' bila sekolah tak sedap dipandang oleh mata si pengawas uhian dari sekolah lain..  Itu yang terlihat di sekolah-sekolah wilayah Ciputat pekan lalu. Tak tanggung-tanggung semua siswa dikerahkan untuk membantu dalam pengecatan tembok sekolah.. yang lebih ngenes lagi, mereka dimintai iuran untuk membeli cat itu. Dengan dalih "gotong royong" si siswa hanya bisa nerima dengan tenggorokan yang agak kelu. Gotong royong beginikah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita?
Dan gotong royong pun berlanjut dalam "upacara suci" yang digelar sejak hari kemarin.. Setiap sekolah berusaha memberi pelyanan yang terbaik untuk makhluk2 pengawas dari sekolah lain. Mereka bilang itu sebagai sikap loyalitas tehadap tamu. Padaal, dalam kesehariannya, sekolah tidak memberikan pelayanan yang terbaik pada masing-masing guru yang memang mereka mengabdikan ilmunya pada sekolah itu, meski berpuluh tahun mereka bersimbah luka dan ar mata. Tak jarang pula makhluk2 pengawas dari luar sekolah tersebut diberi unag transport... Apa lagi ini? Seolah budaya kongkalikong yang berujung pada budaya korup di negeri ini memang sudah diajarkan dalam dunia pendidikan.
Satu hal lain yang lebih ironis..... beberapa sekolah membuat kesepakatan untuk tidak tegas dalam mengawas peserta ui\jian, mereka bilang agar anak-anak didik mereka lebih tenang dalam ujian.. Wooww... apa benar ini memang keadaan di negeri kita? Kadang soal ujian bocor bukan karena musim hujan yang menggerus, tapi memang di dukung oleh si buaya-buaya kerdil yang takut sekolah mereka tercoreng bila anak-anak didik mereka tak lulus. RAsanya tim sukses bukan saja ada dalam pemilu, tapi memang masuk dalam setiap lini kehidupan negeri ini. Dan sepertnya seberapapun besar anggaran pendidikan di negeri ini, tidak akan mampu merubah sikap acuh dan mental budak penduduk negeri ini tak akan hengkang. Dan rasanya, anak cucu kita akan tetap mewarisi budaya ini... Dan inilah kegagalan dunia pendidikan kita dalam membangun generasi berpotensi... Dan kini aku hanya cukup tahu.. Inilah wajah negeriku.

Saat PDIP Bertekuk Lutut di Hadapan DEMOKRAT



Ketetapan KPU pusat atas hasil suara pemilu legislatif 9 April 2009 lalu nampknya membuat peta politik Indonesia kian beranjak terseok. Terseok karena partai yang tidak disadari mampu memenangkan pemilu 2009 mengungguli 2 partai yang selama ini menganggap dirinya besar. GOLKAR dan PDIP hanya mendulang 14 persen suara jauh 6 persen di bawah Demokrat.
        PDIP yang sejak kalah dalam pemilu 2004 lalu terus menyerang dan mengkritik DEMOKRAT, sekarang bak seekor anjing yang memakan muntahnya sendiri. Entah karena takut tragedi kekalahan 2004 terulang atau memang basis massa yang mereka miliki sudah luntur diterjang kebijakan dan figur dalam partai yang tidak progresif. PDIP kini mencoba untuk berdekatan dengan DEMOKRAT, mungkin memang karena takut tidak mendapatkan kue kekuasaan kembali pada pilpres 2009. Tak heran bila koalisi dengan GOLKAR, HANURA dan GERINDRA terlihat stag dalam menentukan pasangan yang mampu menandingi SBY. GOLKAR pun yang sudah tidak berdekatan lagi dengan DEMOKRAT seakan tak mau ketinggalan mencari muka dihadapan partai-partai lain, meski sebenarnya kondisi dalam partai ini pun terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung Calon presiden mereka.
        Sangat Ironis bila partai yang selama ini selalu mengkritik dan mengolok-olok kebijakan pemerintahan SBY, ternyata malah mengaku kalah dan bertekuk lutut sebelum kompetisi RI 1 di mulai. Terlihat jelas ketakutan PDIP yang sedang dalam posisi di ujung tanduk kelesuan para pendukungnya. PDIP seakan tak memiliki gairah lagi dalam berpolitik di negeri ini, terlebih ketika bimbang dalam menentukan koalosi. Dengan enteng PDIP menyatakan bahwa statement yang diluncurkan beberapa bulan lalu terhadap kebijakan Pemerintahan SBY sebaiknya dijadikan cerita masa lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa PDIP dan GOLKAR hanya akan menjadi partai slogan dan isu yang tak menarik untuk dilihat.
       Mengakui kekurangan dalam berpolitik itu wajar. Namun, bertekuk lutut setelah melihat penurunan suara dan setelah mengkritik habis-habisan pemerintahan SBY jelas hanya menunjukkan bahwa PDIP tak lebih dari sekedar partai gerbang lokomotif yang hanya menjadi "domba sesat' untuk kebijakan pragmatis.