09 Juni 2009

Lembaga Survey dan Politisme Gerbong Lokomotif

Usaha untuk mencapai RI 1 & 2 nampaknya seamkin bergelora. Berbagai kesibukan dan cara untuk mendulang suara agar sukses di pilpres tujuh Juli nanti gencar dilakukan oleh masing-masing tim sukses pengusung dari ketiga capres dan cawapres. Dari mengeluarkan materi untuk membayar konsultan politik hingga memberi support pada lembaga-lembaga survey yang mereka anggap dapat menaikkan polpularitas mereka.

Lalu, di manakah pisisi lembaga-lembaga survey yang katanya bersikap netral itu? Benarkah mereka netral dan murni atas tujuan mencari data?

Nampaknya tidak begitu. Sejak semakin hidupnya demokrasi di Indonesia. Dari semaraknya pilkada di daerah kota/kabupaten dan propinsi hingga perolehan kursi partai di legislatif. Lembaga-lembaga survey di Indonesia bak kerbau yang di cocok hidungnya. Dengan proyek yang dapat menghasilkan dan menggemukkan kantong-kantong pribadi mereka, kesan netral itu tak lagi ada. Masing-masing memiliki pandangan berbeda sesuai dengan siapa yang menyokong proyek mereka, maka itulah yang akan mereka tingkatkan dan perjuangkan agar dapat menjadi raja-raja kecil dalam pilkada dan mendulang suara dalam kursi legislatif. Lembaga-lembaga survey di Indonesia mungkin sudah menganut paham politik gerbong lokomotif. Mereka menuruti saja apa kata 'masinis' yang menderek mereka dengan berlomba menampung suara untuk mempengaruhi masyarakat agar memihak pada lokomotif yang mendanai mereka.

Mungkin kita belum lupa, bagaimana LSI dan LRI jor-joran mempertontonkan hasil pemungutan data mereka terhadap kecondongan masyarakat Indonesia pada capres dan cawapres yang akan bertarung pada tujuh Juli nanti. LSI memperlihatkan bahwa SBY-Boediono akan unggul dalam satu putaran dengan suara kurang lebih 71 %. Sedang LRI tak mau kalah, lembaga ini juga memperlihatkan bahwa perbedaan masing-masing kandidat hanya beda tipis sekitar sepuluh persen, artinya akan ada dua putaran dalam pilpres nanti. Sejauh manakan elektabilitas kesesuian data mereka terhadap idealisme dan pengaruh finansial? Kita pernah dengar bahwa LSI didonaturi oleh konsultan politik yang digandeng oleh pasangan SBY-Boediono. Sedang LRI pernah dipakai Jusuf Kalla dalam pilpres 2004 lalu ketika dia bersanding dengan SBY.

Masih netral dan murnikah acuan data yang diberikan lembaga-lembaga survey ini? Atau ini hanya menjadi proyek besar untuk menghidupkan kantong-kantong mereka?

Jawabannya tetap ada pada masyarakat pada tanggal tujuh juli nanti. Masyarakatlah yang menentukan pilihan mereka meski lembaga-lembaga survey itu tetap bagai kerbau yang dicocok hidungnya dan sedang menganut paham politik gerbong lokomotif.