11 Februari 2008

Menunggu Kabar Bapak Pembangunan

Menunggu Kabar Bapak Pembangunan

Awal pagi. Sekitar pukul lima, Minggu (27/1). Jalan Rumah Sakit Pusat Pertamina senyap. Sesekali mulai terdengar bisik burung-burung kecil. Di Rumah Sakit tersebut masih dirawat mantan penguasa Orde Baru, Soeharto (86).
Di depan lobi utama masih teronggok karangan bunga dari beberapa organisasi dan individu. Turut mengharap kesembuhan mantan Presiden RI kedua. Tangga-tangga lipat dan penyangga kamera wartawan setia berdiri menatap pintu masuk.
Di pelataran. Dua wartawan sedang pulas tertidur beralas kardus seadanya. Beberapa orang lainnya tetap terjaga menjulurkan pandangan pada setiap orang yang hendak masuk sambil duduk berbincang di lantai kanan pintu masuk lobi utama. Meski sudah 24 hari Soeharto dirawat, mobil-mobil perangkat siaran dari berbagai media elektronik memadati ruang parkir depan lobi.
Berjalan ke dalam lobi. Enam wartawan tertidur ayam di kursi ruang tunggu sambil merangkul kamera.
Menyisir ke depan Instalasi Gawat Darurat. Dua wartawan media elektronik sedang mengecek kamera, mengarah-arahkannya ke sudut pandang tak tentu.
Matahari mulai bersinar. Petugas kebersihan rumah sakit mulai berdatangan. Dirawatnnya Bapak Pembangunan sejak empat Januari lalu memetakan seluruh media elektronik dan cetak di Indonesia, tak terkecuali media asing untuk memberitakannya. Kesabaran dan kerja keras seorang kuli tinta menjadi tulang punggung penyebaran informasi kepada masyarakat. Mereka harus rela terpanggang terik matahari, tergigit dinginnya malam, beradu waktu menggulirkan berita dan berbagai hambatan yang tak jarang harus dihadapi. Rumor tetang mendapat informasi dan gambar baru akan melanjutkan kehidupan hari esok seorang pencari berita tidak bisa dielakkan. Pertarungan jiwa profesional dipertaruhkan. “Ya, harus rela bergadang,” jelas salah satu wartawan RCTI.
Melirik ke lantai lima, tempat Pak Harto di rawat. Tiga orang penjaga berbatik cokelat tetap mengawasi setiap orang yang melintasi ruangan-ruangan kamar rawat inap di sebelahnya. Sesekali tampak wartawan mengarahkan kamera dan kembali menyusuri lantai lima sambil menjinjing ‘senjata’ andalannya.
Turun kembali ke lobi utama. Beberapa wartawan lain mulai datang. Tidak tampak lagi wartawan yang tidur di ruang tunggu dan pelataran lobi. Di balik mobil-mobil perlengkapan siaran terlihat asyik beberapa petugas siaran dan wartawan meyantap sarapan paginya.
Jalan rumah sakit mulai ramai. Hilir mudik kendararan kota mulai menyisakan gumpalan asap ke setiap sudut.

Kabar baru Pak Harto datang
Bagai petir di siang bolong. Sebelum berita ini di tulis, Minggu (27/1), pukul 13.10. Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Mantan Presiden RI kedua. Penggagas Repelita I-V tersebut dikabarkan menghembuskan napas terakhir dalam usia 86 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Selamat jalan wahai tokoh pembangunan◘ Herwin

LPM Institut UIN

LPM Institut UIN Jakarta Adakan Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online

Ciputat – LPM Institut UIN Jakarta mengadakan Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online. Acara yang dilaksanakan hari Jum’at (28/12), di Aula Madya lantai 1 tersebut dihadiri lebih dari 70 peserta.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, Ira Lathief, blogger dan penulis biografi Tukul Arwana serta Ria Desy Saputra, bolgger dan wartawan LKBN ANTARA. Dalam sambutannya, Sulhan, ketua pelaksana, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan salah satu dari kegiatan LPM Institut dalam rangka merayakan hari jadinya yang ke-23 tahun. “Workshop ini untuk memotivasi mahasiswa agar bisa menuangkan tulisan dan gagasannya di media maya,” tambahnya.
Dalam penyampaian makalahnya, Desy menjelaskan bahwa di era konfergensi media, jurnalisme online sangat dibutuhkan oleh banyak pihak, termasuk media konvensional. “Jurnalisme online mampu menembus batas dalam hitungan menit, bahkan detik,” kata wanita lulusan Ilmu Komunikasi ini. Ditambahkan pula olehnya bahwa jurnalisme online sangat bermanfaat bagi pers kampus, di sana setiap mahasiswa mampu menungkan gagasannya atas isu-isu kebijakan kampus, khususnya rektorat.
Pada sesi lain, Ira Lathief menghadirkan pengalaman dari menuangkan gagasannya di dunia maya. Dia menyatakan bahwa karena menulis gagasan di blog, tulisannya bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. “Dengan menuliskan pengalamn-pengalaman di blog, tidak disangka ada penerbit yang menawarkan saya untuk membuat biografi Mas Tukul,” ungkap mantan wartawan selebritis di salah satu stasiun TV swasta di Jakarta ini.
Acara yang dilaksanakan sampai sore tersebut menghasilkan sebuat blog dengan alamat http//:ciputatonline.uinjakarta.blogger,com yaag mampu menampung gagasan mahasiswa, khususnya di wilayah ciputat tanpa harus diseleksi oleh redaktur◘ Herwin

Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada


Perpustakaan Utama UIN; Antara Ada dan Tiada
(Oleh Herwin)

Kita sebut saja, Kusuma, salah satu dari mahasiswa UIN Jakarta yang memang ‘maniak’ dengan buku. Suatu siang yang cerah, tapi tak secerah harapannya ketika berkunjung ke Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta. Kusuma hendak meminjam buku di sana untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menggunung melebihi gunung Pangrango di Jawa Barat. Tentu sebagai mahasiswa dia tahu harus ke mana untuk mencari bahan tugasnya tersebut. Dan sudah pasti dia menuju PU yang ‘seharusnya’ menyediakan banyak buku referensi bagi mahasiswanya. Tetapi memang siang hari itu tak secerah harapannya, ketika datang ke dalam, bukan dianggap sebagai mahasiswa yang ‘rajin’ untuk berkunjung, namun setiap kali ia berkunjung harus menerima tatapan jutek dan sok interogatif dari petugas PU. “Gue mungkin udah di cap rusak kali di sana. Padahal Gue Cuma mau pinjem buku, bukan niat yang nggak-nggak,” keluhnya, terpaksa mencari buku-bku dengan persaan sedikit kesal.
Berbeda dengan Jabar. Mahasiswa dari Fakultas Tarbiyah ini lebih ironis lagi, ketika ia harus menerima lontaran kata sebagai ‘pencuri’ dari petugas PU. Hal tersebut terjadi tanpa kesengajaan dari Jabar. Saat ia mengembalikan buku, ternyata buku yang dipinjamnya tidak masuk daftar data peminjam dalam komputer petugas. Terang, Jabar menghela napas. Toh, walau dengan mengelak tetap saja lontaran kata itu sudah diterimanya.
Di hari lain, ternyata kejadian serupa mengenai seorang mahasiswa lain dari fakultas yang berbeda. Di sanalah letak penyebabnya. Ternyata ada sesuatu yang salah terjadi dalam komputer petugas, buku yang dipinjam Jabar dan mahsiswa lain tersebut tidak terdeteksi di komputer petugas, bukan Karena kesalahan Jabar dan mahasiswa lain tersebut. Dan petugas PU pun seharusnya tidak serta merta melontarkan kata ‘mencuri’ bagi kedua mahasiswa resebut.
Hal di atas baru beberapa kejadian yang dialami mahasiswa UIN Jakarta. Belum lagi tentang daftar buku pada katalog tidak sesuai dengan kenyataan di rak-rak buku, ketersediaan buku-bku referensi bagi mahasiswa, dan berbagai persoalan lain yang seharusnya tidak ditemukan di kampus yang mengklaim sebagai ‘World Class University’.
Menjadi Kampus berstandar internasional memang keinginan bersama. Tetapi cita-cita tersebut mestinya dibarengi dengan kekuatan internal; optimis juga realistis. Tidak sekedar membayangkan untuk memakan hidangan lezat tetapi tidak berupaya memesan atau membuat makanan lalu dihidangkan agar siap disantap.

Perpustakaan bukan sekedar koleksi buku

Bila dilihat lebih menyeluruh, keberadaan buku-buku referensi yang disediakan di PU sebenarnya lebih banyak buku-buku lama –tanpa maksud menghinakan buku sebagai sumber ilmu- yang memang disumbangkan dari lembaga-lembaga di Indonesia dan luar negeri. Namun apakah sebenarnya PU tidak bisa menyediakan buku-buku referensi yang lebih banyak dan bervariasi sesuai dengan kebutuhan mahsiswa UIN Jakarta? Bila terjawab tidak bisa, bukankah anggaran mahasiswa setiap semester untuk PU selalu mengalir? Bila dikalikan dengan jumlah seluruh mahasiswa UIN, jelas seharusnya PU UIN Jakarta mampu membeli buku-buku referensi sebanyak mahasiswa UIN Jakarta dalam setiap semester. Dan yang lebih memalukan lagi, kebanyakan buku-buku baru yang berada di PU adalah hasil dari sumbangan (red: memaksa) mahasiswa UIN yang diwisuda. Bila ini terus terjadi, jelas sebenarnya PU UIN hanya berdiri sebagai kolektor buku-buku sumbangan dari mahasiswa dan lembaga-lembaga lain yang peduli (red: Kasihan) dengan UIN. Seharusnya manajemen PU mesti bekerja keras untuk menghasilkan PU yang berkualitas dengan anggaran dana yang tidak sedikit diberikan oleh mahasiswa tiap semester. Tidak lagi berpikir untuk mencari ‘keuntungan’ semata dan ‘bagi hasil’ dengan kegiatan-kegiatan sepele yang mengatasnamakan mahasiswa UIN.
Bila kampus-kampus lain yang dinilai dibawah tingkatan –meski belum tentu kampus besar manajemennya bagus- UIN Jakarta bisa menyediakan layanan internet gratis bagi mahasiswanya yang membutuhkan bahan- bahan, mengapa PU UIN tidak mencoba untuk belajar dari kampus-kampus tersebut dengan menerapkan berbagai inovasi yang mereka miliki –dengan penyeleksian tentunya- untuk diterapkan di UIN Jakarta. Dan hal tersebut tidak menjadikan UIN dipandang hina oleh kampus-kampus tersebut. Justru kampus kampus yang sudah berstandar internasional pun lebih sering berinteraksi dan belajar dengan kampus-kampus di bawahnya. Dan UIN pun seharusnya lebih bisa untuk melaksanakan itu, dengan realita memang kampus UIN belum berstandar kampus dalam negeri, tanpa berpikir pesimis memang kampus UIN belum berada pada kampus menuju berstandar internasional.

Memaksimalkan anggaran mahasiswa

Mungkin ini solusi yang menyeleneh, tetapi solusi ini tidak juga dianggap remeh. Anggaran dana yang diberikan oleh mahasiswa seharusnya mampu meningkatkan kualitas PU UIN Jakarta, tetunya dengan kemauan keras pihak-pihak yang memang berhubungan langsung dengan kebijakan penggunaaan anggaran tersebut untuk berjalan sinergis dengan civitas akademika UIN Jakarta.
Memaksimalkan anggaran, bukan berarti untuk hal-hal yang tidak berguna bagi pengembangan PU UIN Jakrata. Memaksimalkan anggaran agar seluruh mahasiswa UIN Jakarta tidak luput untuk melakukan diskudi-diskusi keilmiahan, merutinkan diri untuk menggali sumber-sumber ilmu, dan merasa memiliki gairah untuk menciptakan sebuah karya ilmiah yang popular sehingga UIN dikenal di dalam negeri terlebih dunia internasional. Semakin banyak karya-karya ilmiah yang dihasilkan, pasti cita-cita menjadi kampus berstandar internasional dapat diraih.

Negeri Dongeng Ala Kita


Negeri Dongeng

Malu… bener2 malu… lagi-lagi masyarakat Negeri Dongeng bikin malu. Uhh.. sebel.. gimana nggak, coba? Negeri Dongeng yang katanya selama ini dikenal sama negeri lain bangsa yang bermoral, eh.. ternyata itu semua sudah terbantahkan akibat ulah remaja/i Negeri Dongeng yang bertindak amoral. Bayangin coba, mereka bangga bikin ratusan Film Porno yang setiap hari, dilakukan dengan sengaja dan diedarkan lewat internet dan Hp. Bikin geregetan gak sih? Kata peneliti sih, mereka ngelakuin itu sekedar rasa cinta ama pacar or biar tenar! Ihh, Guemes!! Udah gitu, baru 700-an kasus yang ketauan. Ini baru yang ketauan! Berapa lagi coba yang belum ketauan?

Ada lagi kebegoan sikap anggota legislatif yang masih menerima ‘duit haram’ buat ngelolosin UU yg bakal nguntungin pihak-pihak yang gak mikirin masyarakat kecil, mereka cuma mikirin perut buncitnya sendiri.
Uhh.. bener2 malu2in, joker,Oon, egois, serakah…!!

Tangan Baja

Tangan Baja

(Oleh Herwin)

Tangan-tangan itu kembali mengepal
Menunjukkan kekuatan yang nyata
Serpihan batu-batu neraka menghujam ke angkasa
Menerpa, menderu tersapu angin panas yang membisu


Tangan-tangan telanjang itu seolah tak bertuan
Bergerak maju, membidik lawan yang congkak dengan kesombongannya
Sungguh, tangan-tangan itu tak terkoyak bentangan senapan dan tank-tank pengecut di hadapannya


Segudang emosi pengecut-pengecut meluluhlantakkan tangan-tangan tak berdosa
Tangan-tangan yang berdiri tegar mempertahankan kemuliannya untuk merdeka
Dimana mata-mata dunia yang mengaku dirinya penyeru kedamaian


Dimana Kepala-kepala negara yang mengaku dirinya penyeru kemerdekaan
Pengecut… sampah… bedebah…
Dan satu tangan tetap mengepal ke langit Pelestina yang mulia…