04 Februari 2009

Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia


“…. Aku heran…. Aku heran…. yang salah dipertahankan.
Aku heran…. Aku heran…. yang benar disingkirkan….”

Syair di atas mungkin tidak luput dari ingatan kita. Kondisi keprihatinan yang dituangkan oleh Hengky Sahilatua, juga keprihatinan kita semua atas mundurnya kekuatan hukum di negeri yang memiliki beribu sumber daya alam yang melimpah ini. Keprihatinan bukan karena tidak bisa mengembangkan daya upaya untuk memajukannya, tapi keprihatinan akan adanya moral yang menghambat daya upaya untuk mengembangkan dan memajukan sumber daya alam dan manusia tersebut. Mental korup yang telah membudaya sistemik dan endemik inilah yang terus menggerogoti bangsa ini sehingga sulit untuk maju dan berkembang sesuai dengan usia yang dimilikinya.

Lantas, apakah tidak ada upaya untuk menghilangkan mental tercela tersebut dari bumi pertiwi ? Atau memang “ritual suci” ini harus dipertahankan dalam setiap lini kehidupan?
Beberapa rambu sudah dilalui untuk mengekang laju kecepatan mental korup tersebut. Sejak zaman awal pemerintahan Republik Indonesia sampai saat ini, seakan tak ada habisnya dipancangkan. Hal terus berubah karena kesungguhan dari pemegang kebijakan dan lembaga yang ditunjuk tak memiliki “gigi taring” untuk benar-benar memberantasnya. Sebab itu, kemauan untuk meningkatkan kesungguhan dalam pemberantasan korupsi sampai tingkat dasar tetap terus diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melihat kendala dan kekurangan atas kinerja lembaga yang ditunjuk dari awal pemerintahan Republik Indonesia sampai awal era reformasi.

Pemberantasan Korupsi di Era Orde Lama

Di masa Kabinet Juanda, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang_Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tetapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.

Kedua, pada tahun 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Opreasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni meyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini deberhentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno sebagai ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk jalur lambat, bahkan macet (Bohari, 2001)
Korupsi di Era Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemebrantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Aguing. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat, beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johanes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo dan A. Tjokroaminoto dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini tampak tak dihargai ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentulah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga membarantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemebrantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemeberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan semakin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Pemberantasan Korupsi di Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari tim anggota ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantsana Korupsi (KPK) pada tahun 2003 untuk mengatasi, menaggulsngi dan memberantas korupsi di Indonesia, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. Sampai Desember 2006, sudah 20 kasus korupsi berhasil ditangani oleh KPK. Dengan nilai tertinggi senilai 440 miliar dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tanpa jaminan (Tempo, 2007). Hal ini merupakan sebuah peningkatan yang berarti.


Pemberantasan Korupsi di Masa Depan
Sebagai lembaga yang masih eksis, KPK dituntut untuk lebih maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu dengan cara yang cerdas dan tetap mengacu pada undand-undang yang berlaku. Walaupun pro-kontra terhadap pembubaran KPK yang digulirkan oleh beberapa elit politik terus bermunculan. Namun hal tersebut jangan menjadi batu penghalang bagi KPK untuk berhenti dari tugas mulia yang diembannya. KPK mesti berbenah diri dalam mengambil langkah dan sikap atas tindak korupsi yang memang diwariskan sejak zaman sebelum KPK ini berdiri.

Beberapa hal yang mungkin bisa meningkatkan laju kecepatan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan diantaranya:
Memosisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau intuisi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
Menjadikan pemberantasan korupsi bukan hanya menyangkut bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi lebih jauh adalah bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan anti korupsi (disinergikan dengan kurikulum sekolah), kampanye anti korupsi, daerah dan tokoh percontohan bebas korupsi (island and public figure of integrity), serta sosialisasi dan pembentukan KPK di daerah Kota/Kabupaten.

KPK harus berani menunjukkan kekuatannya untuk memeriksa seluruh warga negara Indonesia yang terjerat kasus korupsi tanpa ada “tebang pilih” pada wilayah intern-ekstern .
Akhirnya, KPK ke depan adalah KPK yang berwujud nyata tanpa keabsurd-an yang tidak jelas di mana posisi lembaga ini berada. Apakah sebagai kaki-tangan penguasa yang ingin dilindungi atau benar-benar murni lembaga yang beritikat kuat untuk memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Sebagaimana harapan seluruh warga negara Indinesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja digdaya. Herwin