04 Februari 2009

Lelaki Setengah Rasa



Malam bergulir menembus relung jiwa yang terseret buliran angin bertabur bintang tersapu awan. Teriak hewan malam saling bersahutan menghiasi sunyi dari sudut kamar yang pengap dan penuh ngiang nyamuk terbentur kulit yang sejak tiga hari tak tersentuh rasa segar walau hanya seciduk air.
“Wan, kalo Lu masih kayak gini aja, Lu bakalan ketinggalan, tau,” kutuk Iman yang sejak sore tadi berkutat dengan tugas kuliahnya. Padat.
“Lu kira Gue mau kayak gini terus? Gue juga mau kayak pejabat yang kerjaannya sedikit tapi nyabet duit banyak,” bales Irwan sambil ngisep sisa puntungan rokok yang ia dapat dari tong sampah teman kos sebelahnya.
Detik jarum jam semakin menambah konsentrasi mereka berdua mengisi sisa malam yang penuh problema. Jarum jam menunjuk tepat tengah malam. Rongrongan anjing malam menambah kesunyian sekitar kamar mereka. Hening.
”Prrrrraaakk...” pecahan lampu depan kamar mengganggu ketenangan mereka.
”Keluar Lu, bocah brengsek !” cercah satu suara keras bercampur pecahan lampu depan kamar yang kesekian kali.
”Bakar... bakar... bakar... sialan!!” tambah satu orang. Bersuara serak sambil menggedor pintu.
Seorang wanita muda berwajah pucat masuk melewati jendela kamar yang sejak tadi terbuka. Bukan terbuka. Tetapi memang sengaja dibuka oleh Iman yang terbiasa menyelesaikan tugas kuliah ditemani angin malam.
”Tto... ttoo... ttolong. saya... saya mohon, jangan serahkan saya kepada mereka,” suara wanita itu parau. Memohon kepada dua lelaki pemilik kamar yang memang tak kenal siapa sebenarnya wanita asing yang berani melompat masuk lewat jendela kamar mereka diikuti teriakan ramai orang di depan.
”Buka, cepet! Kalo nggak, gua dobrak nih pintu. Buka!!” paksa seorang yang sejak tadi berteriak tak acuh di depan kamar mereka.
”Tolong, jangan kalian buka pintu ini, saya tidak bersalah,” kepucatan semakin terlihat di wajah wanita yang jelas-jelas wajahnya mirip salah satu artis ternama di TV.
”Sebenernya, apa yang Lu kerjain? Lu nyuri?!” wajah panik Iman tergambar jelas mengimbangi keterkejutan Irwan yang mendadak bangun dari duduk santainya.
”Terus, kenapa banyak orang teriak-teriak di depan?!” digilasnya dengan kaki rokok yang sejak tadi menemani Irwan mengkhayal tentang masa depan. Tapi khayalan itu kandas setelah seorang wanita tak dikenalnya masuk secara mendadak ke kamarnya.
”Udah, deh. Sekarang apa yang harus kita kerjain biar kita semua gak ada yang dirugiin?!,” selak Iman memutus perdebatan Irwan dan wanita asing tanpa basa-basi.
Teriakan ramai di luar semakin menambah detak jantung ketiga orang yang berada di kamar sempit itu. Terdengar samar bisik diskusi antara Irwan dan Iman ditelinga yang berhias anting bercahaya perak dari wanita asing tersebut....
***
Sisa angin fajar terasa sejuk di wajah ketiga sosok penghuni kamar semalam. Buratan garis sinar mentari pagi hampir muncul terseret awan, beriring, berarak-arakan membayangi rasa peluh ketiga sosok penghuni kamar yang berhasil lolos dari kejaran maut yang mengancam nyawa mereka. Hamparan padi menghijau dari kejauhan. Rona kuning kemerahan merangkak dari balik deretan gunung. Tak terbayang masih. Irwan memandangi kedua orang di sebelahnya. Guratan rasa lelah terlihat jelas pada rona wajah kedua orang itu. Dipandangi satu persatu orang tersebut. Irwan tercengang. Seolah tak percaya. Dia pandangi kembali wanita yang sedang terlelap kecapekan akibat jauh berjalan sejak orang-orang kampung Soja mencari mereka hingga terpaksa harus lari dari sana. Irwan mencoba menyeka-nyeka kedua matanya...
Gita...?! ya ampun, ngapain dia ke sini? Terus, kenapa orang-orang Soja ngejar-ngejar dia?. Ungkapnya dalam hatinya seolah tak percaya.
Iman mulai membuka matanya perlahan-lahan. Belum terbuka seluhnya, sinar pagi mencuap masuk ke kelopak matanya yang sayu. Kembali dia menutup sesaat kemudian mencoba memaksa untuk membuka. Dari samping, dia menoleh ke Irwan, ”Eh, ngapain Lu ngeliatin aja tuh cewek, naksir Lu?” Iman mencoba bercanda. Mungkin dia sedikit terlupakan oleh peristiwa semalam. Tetapi, bagi Irwan, peristiwa semalam memang pahit. Namun yang membuat dia bertanya-tanta adalah mengapa penyebab terjadinya peristiwa semalam adalah gadis itu. Ya, Irwan mengenal gadis itu.
Lima tahun yang lalu. Tidak lama memang. Tetapi lima tahun yang ditinggalkan Irwan adalah hal yang menggariskan memori baginya, terlebih dengan gadis yang ada bersamanya sekarang. Gita. Memang seorang gadis yang dahulu pernah jatuh hati dengan Irwan semasa mereka sekolah di Yogja. Namun karena orang tuanya melarang bergaul dengan Irwan, dengan alasan keluarga si gadis berasal dari keturunan ningrat, dan Irwan, dia hanya anak dari pesuruh di kelurga si gadis itu. Orang tua si gadis terpaksa memindahkan anaknya untuk sekolah di Surabaya.
”Eh... Wan, Lu kenapa sih?” tangan Iman melayangkan tepakkan sedikit nyeri di punggung Irwan.
”Sssttt... diam, Gue kenal sama gadis ini!” Irwan mencoba menepis pikiran buruk Iman.
”Sumpah, Wan? Yang bener Lu?!” ketidakpercayaan Iman bersatu dengan kicauan burung pagi yang terbawa angin menembus aliran sungai dihadapan mereka. Pancaran sinar kuning sedikit-sedikit mengintip percakapan mereka dari balik dedaunan. Titik-titik embun pagi dari rerumputan memantulkan gerak awan. Sesekali burung-burung kecil turun ke hamparan nan hijau mematuk sisa buliran padi hasil semaian penanamya.
Gadis cantik yang sedang mereka bincangkan mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya. Rupanya mentari pagi semakin bergeser mengajak setiap yang dilewatinya untuk bersama meyambut pancarannya. Sesekali ia mencoba membuka. Lagi-lagi mentari bergerak genit menyilaukan mata lentik si pemiliknya untuk membuka. Ia bergeser sedikit untuk menghindar. Dan kembali mencoba untuk memandang pagi yang sejuk.
Detak jantung Irwan menghentak tak beraturan. Iman, sebagai sahabatnya mengetahui benar apa yangs sedang dirasakan oleh sahabatnya. Irwan mencoba menundukkan pandangan. Lalu ia angkat kembali memperhatikan wanita di hadapannya.
Wanita berambut hitam itu sudah berhasil menggenapkan pandangannya. Dia sisiri pemandangan di sekitarnya. Pandangan kosongnya menyapu sudut-sudut hamparan sawah yang masih sepi dari belaian pekerjanya. Berkali-kali ia gerakkan kedua tangannya sambil terus memandangi kejaran burung-burung mungil berebut buliran padi. Riang. Gerakkan tangannya seketika berhenti ketika pandangannya tepat berbentur dengan pandangan kedua orang di sampingnya. Dia pandangi lebih dalam kedua orang yang lebih dahulu memperhatikannya.
”Irwan...? Kamu Irwan, kan...??” ungkapan keterkejutannya dilepaskan setelah melihat jelas salah seorang yang sejak tadi memperhatikannya. Angin pagi semakin sejuk bergulir. Sinar mentari pagi mulai redup terbentur gumpalan awan yang menemani pertemuan mereka.
” Dan, kamu...”
” Ya, aku, Gita, Wan,” ungkapan kegembiraanya mulai terpancar. Burung-burung mungil bertambah riang terdengar dan semakin riang ketika beberapa bagian berkumpul dari arah lain. Ramai.
***
Aliran sungai mengalir tenang. Di antara alirannya tertata pohon-pohon kecil behimpit bebatuan. Sesekali terlihat ikan-ikan kecil bersembunyi diantara keduanya.
Iman duduk termenung. Menyendiri ditemani rerumputan yang tertiup angin. Tidak disangka. Harapan untuk menyelesaikan kuliahnya kandas setelah kejadian tadi malam. Dia harus rela meninggalkan seluruh bekal kehidupan yang selama ini diperolehnya. Hanya pakaian yang melekat di badannya yang berhasil ia selamatkan. Karena panik, tak dapat berpikir dua kali selain melarikan diri dari kejaran maut di depan matanya. Sesekali ia menorehkan pandangannya ke arah dua orang di belakangnya yang berjarak sepelemparan batu. Irwan dan Gita sedang menumpahkan keluh kesahnya. Sengaja ia menghindarkan diri sejenak. Tak ingin mengganggu pertemuan dua orang tersebut.
Kembali Iman memandangi ikan-ikan kecil yang sejak tadi mengumpat di sela-sela pohon kecil dan bebatuan. Seolah ingin bercanda, ikan tersebut berulang kali memunculkan mulutnya ke permukaan. Iman terus memandangi tanpa tahu sebenarnya apa yang harus ia lakukan setelah ini. Tangannya mencoba memetik rumput di sampingya. Membersihkan kemudian menggigit-gigitnya. Pandangannya kosong menatap ke seberang sungai. Tampak sekumpulan petani berpeluh lelah mengendalikan kerbaunya membajak sawah. Di sudut-sudut hamparan nan hijau. Dengan menggunakan sabit. Beberapa wanita separuh baya asyik menyiangi panen hari ini. Bertambah indah saat sekerumunan burung hinggap di orang-orangan sawah.
Iman mencoba berdiri. Memusatkan pandangannya pada lambaian gunung nan kokoh. Mendongakkan kepala menghirup napas dalam-dalam. Setangkai batang rumput masih dimainkan dalam gigitannya.
Sebenarnya apa dosa Gue? Gue gak nyangka bakal begini. Terus, kenapa mesti wanita yang dikenal oleh Irwan itu yang mesti hadir dihadapan Gue dan Irwan?
Untaian pertanyaan dalam benaknya terus bergulir. Bergulir rapih diiringi rombongan gumpalan awan yang menari indah di angkasa....
Mentari tampak mulai terasa menyilaukan. Dua orang yang sejak tadi duduk bersampingan sesekali menghalangi pancaranya dengan jemari.
”Maafkan aku, Wan. aku terpaksa lari dari rumah,” ungkap penyesalan wanita berambut lurus itu. ”Ketika Bapak memindahkanku ke Surabaya, jabatan Bapak meningkat pesat. Bapak diangkat menjadi orang nomor satu di Yogjakarta. Bapak semakin sibuk. Walau setiap yang aku inginkan dikabulkan oleh Bapak, tapi aku merasa kesepian karena susah untuk berkumpul bersama,” untaian isi hati Gita terus mendapat perhatian dari Irwan.
”Jabatan tinggi yang Bapak terima semakin membutakan hati Bapak. Bertambah sering ia pulang malam. Pernah ibuku mendapati beliau pulang dalam keadaaan mabuk. Dak tidak disangka kalau Bapak juga datang dengan memarahi ibu bila sudah mabuk. Ibuku mulai resah,” titik-titik sejuk tampak di matanya. Angin pagi mulai berkurang. Sinar mentari bertambah terang. Burung-burung kecil berkejaran menuju pohon-pohon rindang.
”Lalu, kenapa kamu bisa sampai ke sini? Dan... apa yang kau lakukan dengan penduduk Soja?” keingintahuan Irwan semakin menambah sekatan di hati Gita.
”Sebulan yang lalu. Saat aku hendak berlibur di rumah. Aku mengharapkan liburan yang benar-benar menarik untuk keluargaku. Tapi... ” Titik-titik jernih di sudut matanya mulai jatuh. ”...ketika aku baru tiba di depan rumah. Kudapati ibu sedang menagis di teras depan. Kudapati kerumunan orang dan beberapa wartawan media terus menggali informasi dari aparat. Kulihat...” Titik-titik air dingin semakin sering berjatuhan di pipinya. ”...Bapak sedang dimasukkan ke dalam mobil tahanan. Kudengar cercaan seorang warga dari balik kerumunan bahwa ayahku ternyata seorang koruptor. Kupeluk ibu. Semakin bertambah kesedihan diwajahnya. Kurasakan tubuhnya semakin kurus. Mungkin lantaran perubahan Bapak yang selama ini memakan pikirannya,” tangannya mencoba membasuh air di pipi. Irwan menundukkan mukanya.
”Seketika ibuku shock dan meninggal dunia. Aku menangis parau. Menangisi dua hal berbeda yang aku terima di saat awal liburanku. Sementara aku belum bisa bersapa dengan Bapakku. Aku harus rela ditinggalkan ibu untuk selamanya,” tangan lentiknya kembali mengusap aliran dingin di sudut hidungnya. Belaian angin mulai hadir kembali.
”Seluruh harta keluargaku di sita. Aku terpaksa pergi meninggalkan Yogja dan tak sempat menjenguk Bapak karena malu atas perbuatannya,” pandangannya mulai terarah. ”Aku meninggalkan Yogja tak tentu arah ingin ke mana selanjutnya. Aku hanya menuju ke mana kekosongan hatiku menuntun. Dan ketaksengajaanku singgah ke Desa Soja pun karena arahan kegundahanku. Mungkin karena dosa Bapakku. Ketika Aku mencoba menolong seorang yang terkapar di tepi jalan dan aku tak tahu bahwa sebenarnya orang tersebut mati terbunuh. Seseorang yang sedang lewat mengira aku telah membunuhnya. Serta merta orang itu berteriak dan membuat sekerumunan warga mulai menambatkan bahwa akulah pembunuhnya. Aku Mencoba untuk menyelamatkan diri dengan berlari tak tahu di mana aku dapat menyelamatkan nyawaku. Dan kutemukan dalam keadaan tak berpikir, melompak ke sebuah jendela yang masih terbuka di tengah malam. Maafkan aku, Wan. Aku tak bermaksud merepotkan kamu dan kawanmu,” bias kepiluannya terlihat dari garis-garis wajahnya yang memerah.
Irwan terus menundukkan pandangannya. Pikirannya jauh melayang mengingat betapa hebat kekuatan keluarga Gita dahulu namun kini hilang tak berbekas.
***
Bayangan pepohonan mulai tertutupi tinggi aslinya. Buratan garis-garis awan putih mulai tertembus cahaya. Semakin sedikit burung-burung kecil yang berani terjun ke hamparan hijau. Pekerja sawah mulai memaksakan diri untuk sedikit beristirahat pada panggung-panggung kecil di tengah keluasan hamparan. Iman masih duduk dipinggiran sungai. Setangkai batang rumput masih menempel di bibirnya. Pandangannya masih kosong tertutupi awan semesta. Kegalauan hatinya mulai tampak dalam gerak-geriknya. Berulang kali ia lepaskan matanya kepada dua orang di belakanya yang sejak tadi tak menghiraukannya. Kegalauannya semakin menjadi ketika tak tampak lagi ikan-ikan kecil yang sejak tadi menemaninya.
Terik mentari semakin menyengat. Tak ada atap untuk sekedar mengurangi sengatan mentari pada kepalanya. Bertambahnya terik mentari semakin menambah labil keseimbangan emosi Iman. Dengan napas tersengal. Iman berdiri dan melangkahkan kakinya menuju dua insan yang berbeda. Langkah kakinya semakin cepat semakin ia dekat dengan keduanya. Siratan rasa sesalnya menghinggapi ruang panas semesta. Jalan pikirnya tertutupi asa keegoisan dunia. Dengan wajah tak ramah saat ia tiba dihadapan keduanya. Ia lepaskan setangkai rumput dari bibirnya.
”Wan, Gue mau Lu ambil keputusan sekarang. Lu pilih Gue apa Wanita sial ini?!” wajah emosinya tampak jelas di mata Irwan dan Gita.
”Man, maksud...?” Irwan mencoba berunding. Gita menundukkan wajahnya.
”Maksud Gue, Lu masih mau temenan sama Gue atau Gue jauh dari Lu?!” keseriusan emosinya semakin menggila.
”Maafkan saya telah merepotkan kalian. Terima kasih atas pertolongan kalian,” Gita berdiri dan melangkahkan kakinya meninggalkan kedua lelaki dihadapannya. Sekilas matanya berbenturan rindu dengan Irwan. Tak tahu harus ke mana ia melangkahkan diri untuk melanjutkan kehidupannya.
Tanpa sepatah kata. Iman meninggalkan Irwan yang tetap berdiam duduk dengan wajah menunduk....
Irwan tetap duduk menyendiri. Rumput-rumput kecil dihadapannya menjadi saksi. Sedikit terlihat burung-burung kecil menaruh iba. Herwin