04 Februari 2009

Laskar Pelangi VS Hedonisme


Masih tersisa dalam ingatan kita. Saat seorang Tauifk Ismail membacakan sebuah puisi dihadapan sang wakil presiden –Yusuf Kalla- negeri ini ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional di suatu daerah. Tak disangka puisi yang dibaca olehnya membuat telinga sang wakil prsiden negeri ini terlihat memerah. Bukan lantaran tingginya nada alat pengeras suara sehingga memekakan telinga sang wakil presiden, tetapi karena dalam puisi tersebut tesisip beberapa kata-kata ‘kotor’ yang didengar oleh sang wakil presiden.

“… sekolah kami bagai kandang ayam…”

Begitulah bunyi kata-kata ‘kotor itu’. Sebenarnya kata-kata tersebut hanyalah sebuah cermin dari keprihatinan seorang sastrawan atas kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Kemprihatinan juga bagi masyarakat Indonesia umumnya untuk benar-benar merasakan dunia pendidikan yang mensejahterakan.

Dengan nada mengelak, dalam sambutannya sang wakil presiden membantah jika sekolah yang ada saat ini dianggap sebagai kandang ayam. Tidak disangka. Puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris dan dibaca dalam waktu beberapa menit itu mampu mengalahkan suara ribuan masyarakat yang turun –berunjuk rasa- ke jalan berualang kali untuk menuntut agar anggaran pendidikan di Indonesia ditingkatkan.

Tidak dikira pula bahwa puisi dengan bahasa sederhana itu mampu membuat salah seorang petinggi negeri ini memberikan komentar. Padahal sudah puluhan kali ribuan masyarakat turun ke jalan tidak ditanggapi. Jangankan diberi tanggapan, untuk melihat saja sang petinggi negeri ini harus berfikir tujuh kali.

Tak heran bila kondisi pendidikan yang digambarkan oleh Adrea Hirata dalam Laskar Pelangi juga sebuah kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutupi. Bukan hanya bagai kandang ayam, tetapi memang laskar-laskar tersebut belajar di dalam kelas yang sebenarnya tidak pantas digunakan oleh seorang guru dan siswa-siswa yang katanya hidup pada negeri yang berlimpah keanekaragaman sumber dayanya. Pendidikan dijadikan jurang pemisah antara ‘golongan biru’ dan ‘golongan lumpur’. Semua sudah terbongkar seiring sikap acuh pemerintah yang semakin hari semakin terbentang.

Laskar-laskar cerdas yang bertekat untuk membangun peradaban bagi diri dan lingkungannya di atas bumi pertiwi ini tak dapat terbendung. Mereka mampu mengalahkan hegemoni anak-anak manja dan tak memiliki kematangan jiwa atas didikan orang tua yang merasa paling tinggi dan mulia. Semua itu runtuh karena asa dan kesungguhan laskar-laskar cilik itu lahir atas nilai kepekaan diri terhadap kondisi pendidikan di negerinya.

Sebut saja, Lintang, salah satu anak dari Laskar Pelangi yang mampu memembus berbagai terpaan ujian berat hanya untuk sampai ke sekolah. Berbeda dengan anak-anak manja dari ‘golongan biru’ yang selalu diberikan fasilitas lebih dan serba ada namun hampa dalam memandang dunia sekitarnya.
berat bagi kaum papa di negeri ini untuk merasakan pendidikan dengan wajar dan tanpa beban. Semua harus dihadapi dengan berkilo-kilo beban bila ingin mendapat fasilitas yang sama dengan kaum yang memang mendapat tempat khusus di kalangan pemerintah.

Itulah wajah pendidikan di negeri yang memiliki berbagai sumber kekayaan alam. Hal tersebut terjadi karena sistem pendidikan yang dibangun negeri ini adalah sistem pendidikan yang tak tentu arah dan ‘asal-asalan’. Biarkan nilai rendah asal lulus ujian, biarkan hutan Indonesia gundul asal kekayaan pribadi bertambah dan investasi keluraga kita aman di luar negeri, biarkan memberi sedikit uang –menyuap- kepada jaksa asal kita terbebas dari jerat hukum dan bisa korupsi lebih banyak lagi, biarkan wilayah hilir banjir asal bisnis apartemen kita di wilayah hulu tetap laris, dan masih banyak lagi sikap ‘biarkan’ dan ‘asal-asalan’ yang tercermin dalam sistem pendidikan Indonesia.

Maka amat wajar bila pendidikan di Indonesia saat ini bukan menjadi solusi atas permasalahan bangsa, tetapi justru menjadi wadah atas munculnya masalah-masalah –budaya korup, suap, trafficking, illegal logging- lain yang terus bergulir. Karena sistem pendidikan yang dibangun adalah sistem pendidikan yang berorientasi kepada pemenuhan kesejahteraan pribadi dan golongan bukan pendidikan yang berorientasi untuk mensejahterkan seluruh masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Sebab itu, meluruskan kembali tujuan pendidikan negeri ini adalah tugas kita bersama, gurukah Umar Bakrie, pelajar dan mahasiswakah kita atau menterikah Bambang Soedibyo. Herwin