07 Agustus 2010

Selai Janji

“Siapa bilang Gue, gak kenal Dia?” Rere menyeruput jus apel yang sejak tadi dimainkan oleh jari-jarinya.
“Jadi, Lu pernah ketemu dia?! OMG!! Kenalin, dong ke Gue, Re. Pliiss,” Dila menggoyang-goyagkan bahu Rere dengan tampang memohon.

“Uhhukk… uhhukk… uhhukk… Parah, Lu, ya?! Gak liat Gue lagi minum gini apa? Untung katup kerongkongan Gue masih orisnil,” celetuk Rere sambil membersihkan percikan jus apel yang jatuh di meja kantin kampus.
“Ya, maaf, Bu. Tapi beneran Lu pernah ketemu dia? Mau dong, Re,” pinta Dila mengulang.
“Beneran Lu mau?”
“Jadi Lu bakalan ngajak Gue buat ketemu dia?!”
“Bukan, tapi ini…”
“Aduhh… Rere. Awas Lu, ya. Jadi kotor nih muka Gue,” teriak Dila sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah orang yang memercikkan jus apel dari sedotan tepat ke wajahnya.
“Hahaa… Satu sama. Gue cabut dulu ya. Ada janji sama nyokap. Sii yuu… Mmuaaccchhh…” sambil tersenyum dan sedikit berlari, Rere meninggalkan Dila yang masih menggerutu di sudut meja.
Pukul dua siang. Sedikit sinar terik yang dipantulkan jalan beraspal legam berbaur masuk melalui kaca depan Honda Jazz biru. Merasa udara di kabin mulai hangat, tangan kirinya menekan tombol AC yang menyumbul merayu pada dashboard.
Mata kuliah Komunikasi Statistik tiga jam lalu membuat gadis yang dianugerahi nama Retno Dwi Jayanti oleh kedua orang tuanya itu banyak memeras otak. Dan untuk menenangkan otot-otot kepalanya ia rela memeras sedikit isi dompetnya untuk mentraktir segelas jus untuk Dila.
Lantunan lagu JAP milik Sheila on 7 dari tape Honda Jazz yang biasa dia bawa menyentak konsentrasinya. Pikirannya menuju pada Dila dan seseorang yang dibicarakannya saat mereka duduk di kantin selesai mata kuliah beberapa jam lalu. Memori di kepalanya melayang beberapa saat mengingat kata-kata yang diucapkan seorang laki-laki ketika mereka meninggalkan acara perpisahan SMA tiga setengah tahun yang lalu.

Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue

Bayang-bayang lamunannya pudar berpencar dipecahkan bunyi klakson bus kota yang berada tepat dibelakang Honda Jazz birunya. Rere baru tersadar bahwa lampu hijau dipersimpangan sudah menyala. Dalam hitungan detik tangan kirinya mengayun ke persneling dan melaju menyisakan ocehan tak jelas dari kernek bus kota.

***

“Aryo… Cepat turun! Kamu mau ikut sarapan bareng, tidak?” panggil Tante Susan setelah sun kanan-kiri pada Om Bagas.
“Iya, Ma. Sebentar,” sambut Aryo sambil mengarahkan kursor dan menekan fitur sign out pada note book-nya.
“Jadi, Papa berapa lama di Singapur?” tanya Tante Susan pada suaminya.
“Ya, tergantung klien, Ma. Tapi paling lama dua minggu,” sahut Om Bagas sambil mengoleskan selai kacang di atas roti tawar yang disodorkan Tante Susan.
“Pagi, Ma. Pagi Pa,” sapa Aryo dan langsung duduk mengambil roti berisi selai cokelat yang sudah disiapkan oleh Mamanya.
“Pagi ini jadi berangkat, Pa? Mau Aryo antar ke bandara, Pa?”
“Jadi, dong. Masa janji sama klien tidak ditepain? Bisa hilang nanti kepercayaan mereka sama perusahaan Papa,” canda Om Bagas.
“Oh, jadi kalo nggak tepain janji sama anaknya nggak apa-apa, ya?” bales Aryo sedikit tersenyum. Om Bagas yang merasa tersindir juga tersenyum-senyum dihadapannya.
“Wajar, dong, Aryo. Papamu kan sibuk. Yang antar Papa ke bandara pagi ini Mama,” Tente Susan berusaha membela suaminya. Senyum Om Bagas sempurna mendengar pembelaan dari istrinya.
“Loh, Mama ikut juga ke Singapur? Katanya Mama mau ada pameran butik sama teman-teman Mama,” selidik Aryo.
“Mama cuma antar papa sampai bandara, terus langsung ke apartemennya Tante Alina untuk meeting pameran butik minggu depan,” potong Om Bagas.
“Gimana kabar kamu sama Bella? Baik-baik, kan?” Selidik Om Bagas.
“Oh… Hmm, baik, Pa,” tanggap Aryo singkat. Mendengar pertanyaan Papanya tentang Bella, napsu sarapan Aryo berkurang.
“Kayaknya kamu makin cocok, deh, sama putri semata wayangnya Om Edwar itu,” sambung Tante Susan memastikan.
“Ah, Mama. Aryo dan Bella, kan masih saling mengenalkan diri,” jawab Aryo. Malas.
“Kamu bisa belajar bisnis juga sama Om Edwar, Aryo. Cobalah saling mengenal lebih dekat lagi,” kembali Om Bagas menekankan bahwa ia merestui hubungan Aryo dengan Bella.
“Iya, Pa. Hmm… Eh, Pa. Rencananya Papa mau kerja sama apa sama klien Papa yang di Singapur?” potong Aryo mencoba untuk mengalihkan pembicaraan tentang dirinya dan Farah Bella Anugerah, putri Om Edwar yang juga rekan bisnis Papa.
“Cuma ingin mengembangkan bisnis Papa. Rencananya Papa mau buka kantor baru di sana. Makanya kamu harus banyak belajar sama Om Edwar untuk memegang bisnis Papa yang di Singapur itu,” balas Om Bagas meyakinkan Aryo.
“Eh, ayo, Pa, kita berangkat. Satu jam lagi pesawat take off, loh. Hmm… Aryo, jangan lupa sampaikan salam Mama untuk Bella, ya. Ajaklah dia main ke sini. Mama kangen, nih, sudah lama nggak ngobrol sama dia,” tambah Tante Susan yang juga ingin meyakinkan Aryo.
“Hmm… Iya, Ma, Pa.” bales Aryo ringan.
“Ya sudah, Mama antar Papa dulu ke bandara ya,” muachh… muach… Cium Tante Susan untuk putra semata wayangnya.
“Hati-hati ya, Ma, Pa.”
Hening sekejap menyapa. Aryo bermain dengan pikirannya. Potongan roti berisi selai cokelat kesukaannya tersisa. Entah apa yang menyebabkannya. Biasanya dia paling bersemangat bila sarapan pagi dengan roti berisi selai cokelat itu. Keheningan yang merayap itu membawa ingatannya pada acara perpisahan SMA dulu. Wajah Rere mulai hadir dalam bayangannya. Dan kata-kata yang dulu dia ucapkan pada Rere ikut berpendar dalam sayup-sayup kerinduan.

Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue

Kata-kata itu. Ya, kata-kata itu seolah menyatu dalam dekapannya. Entah kapan dia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kecondongan hatinya terhadap Rere. Dan entah sampai kapan Rere bersabar menunggu hal itu.
Tlitt…Ttlitt.. Tlitt… Suara handphone Aryo memanggil. Mebuyarkan harmoni angan-anagnnya tentang Rere.
“Ya, halo,” sahut Aryo sedikit dipaksakan.
“Pagi, sayang. Kamu baru bangun, ya?” sapa Bella.
“Oh, udah dari tadi, kok. Aku lagi sarapan, nih,? Kamu sudah sarapan?” balas Aryo basa-basi.
“Ya, sudah. Eh, Kamu jadi, kan mau antar Aku ke salon dan ke fashionshop hari ini?” tanya Bella memastikan.
“Jadi dong, sayang. Jam berapa mau Aku jemput?” sambung Aryo.
“Satu jam lagi, ya. Aku baru selesai renang, nih.”
“Oh, ya udah. Tunggu, ya.”
“Ya, Aku tunggu. Kiss me!
Mmuuaacchhh… Sii yuu, honey
Mmuuaacchhh… Sii yuu tuu, sayang.”

***

Janji. Ya, mungkin bisa disebut begitu. Mungkin juga janji yang tak akan pernah terjawab. Bila memang janji itu benar-benar untuk dirinya, tidak bolehkah dia berharap? Walupun harapan itu hanya tersimpan dalam hatinya untuk menunggu. Atau memang janji itu terbatasi oleh ruang hampa yang menyelimuti kenangan masa lalu antara mereka berdua. Kenangan yang datang dan pergi tanpa meninggalkan buih dan asap kenyataan. Sepi tanpa irama kepastian.
”Belum tidur, sayang?” sapa Tante Rayya.
“Hmm… Eh, Mama. Belum, Ma,” sambut Rere sambil memeluk Winny kesayangannya. Boneka yang masih meninggalkan kenangan antara dia dan Aryo saat SMA dahulu.
“Sedang ada masalah?” belai Tante Rayya pada putri tunggalnya.
“Cuma belum ngantuk aja, Ma,” bales Rere semakin merasakan belaian cinta Mamanya.
“Sudah malam, loh. Besok ada kuliah, kan?”
“Ada, Ma,” jawab Rere ikut membelai Winny meniru belaian Tante Rayya terhadap dirinya.
“Bener, nih tidak ada masalah? Nggak mau cerita ke Mama? Jelek-jelek begini, Mama Psikolog, loh,” rayu Tante Rayya yang melihat ada sesuatu dalam pikiran putrinya.
“Ma…”
“Ya, sayang,”
“Sebelum Mama jadian sama almarhum Papa dulu, Papa pernah mengatakan sesuatu yang mirip-mirip janji ke Mama, nggak?”
“Duhh… kayaknya putri Mama sedang jatuh cinta, ya? Boleh kenalin sama Mama, dong,” goda Tante Rayya.
“Ah, Mama, nih, sama aja, deh kayak Dila,” wajah Rere sedikit meranum.
“Oh, jadi beneran, ya, putri Mama sedang jatuh cinta. Kalo Dila nggak boleh tau, masa Mamanya sendiri nggak boleh tau juga, sih?” Tante Rayya tersenyum.
“Ihh, Mama. Jawab, dong pertanyaanku,” peluk hangat Rere ke tubuh Mamanya.
“Janji apa, ya? Kayaknya Papa kamu dulu nggak pernah janji apa-apa deh,”
“Beneran, Ma? Masa nggak ada satu katapun yang diucapin Papa ke Mama. Terus kenapa Mama sama Papa bisa jadian dan langgeng bisa membangun rumah tangga?” belai jemari Rere pada tangan Mamanya.
“Seingat Mama, sih, Papamu nggak pernah janji apa-apa ke Mama. Cuma waktu sebelum kami berpisah dari SMA, almarhum Papa kamu cuma bilang…”
“Bilang, apa, Ma?! Kasih tau Rere, dong, Ma!” potong Rere semakin menghangatkan pelukannya pada Tante Rayya.
“Bilang apa, ya? Papa kamu cuma bilang, ‘Rayya, suatu saat, bila Aku sudah yakin, Aku akan mengutarakan ke orang tuaku tentang harapanku ke Kamu. Aku mohon Kamu bisa memahami, ya.’ Setelah itu Mama dan Papa berpisah untuk kuliah di tempat yang berbeda,” bales Tante Rayya dengan pelukan hangatnya seorang Mama.
“Dan setelah Mama dan Papa selesai kuliah, Papa menepati janjinya ke Mama, ya?"
“Mama nggak tau itu janji atau bukan, Rere. Yang jelas Papa kamu datang bersama keluarganya untuk meminang Mama. Sehingga Mama dan Papa kamu bisa membangun keluarga juga dianugerahi putri secantik kamu,” sambung Tante Rayya.
“Hmm, jadi saat itu Mama nggak menganggap itu sebagai janji, ya, Ma?”
“Ya, saat itu Mama cuma mendengarkan dan Mama simpan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk Mama saat perpisahan SMA,” belai jentik jemari Tante Rayya pada rambut putrinya.
“Gitu ya, Ma? Ma kasih ya, Ma,” kecupan cinta Rere di kening Tante Rayya.
“Ya sudah. Segera tidur. Sudah larut malam,” balas kecupan hangat Tante Rayya pada kening Rere.
***
Ruang parkir kampus sedikit renggang. Mungkin karena hari ini Sabtu. Sedikit kelas yang belajar. Kalau tidak karena tambahan makalah pun, sebenarnya hari ini Rere libur.
Rere menempatkan Honda Jazz birunya tepat di bawah pohon rindang. Memang beda udara hari ini dan kemarin. Rere sedikit mendapat bonus kesejukan pagi ini. Rupanya sedikit berkurang kendaraan di ruang parkir pagi ini membuat volume Oksigen yang singgah di paru-paru Rere bertambah banyak. Rere turun menuju kelas di lantai dua merasa siap dengan mata kuliah hari ini.
“Re, tunggu!” teriak Dila sambil merapikan ujung jilbabnya dan sedikit berlari kecil.
“Eh, pagi-pagi udah teriak serak gitu, Lu. Malu tau. Tuh, Lu diliatin orang,” tunjuk pandangan Rere ke sekerumunan mahasiswa UKM yang sedang latihan mingguan.
“Ah, biarin,” wajah Dila sedikit ranum.
“Tumben Lu nggak bawa mobil?” selidik Rere.
“Dipake Abang Gue. Mau jalan sama gebetannya. Maklum, masih status pinjaman dari BoNyok,” Sahut ceplos Dila.
“Eh, Re. Entar anter Gue ya ke Pameran Butik di GI,” rayu Dila.
“Pameran Butik? Sejak kapan Lu dateng ke pameran begituan?” celetuk Rere.
“Ya, anter Gue ya, Re,” rayu Dila sambil memijit-mijit pundak Rere.
“Ih, hombreng Lu, ya? Malu tau diliatin orang”
“Mau kan anter Gue, Re. Pliss…” rayu Dila dengan aksi memijit yang semakin membuat kerumunan orang-orang memandang ke arah mereka.
“Eh, geli, tau. Iya… iya… entar Gue anterin. Tapi Lu yang beli bensin, ya?” tanggap Rere terpaksa karena malu diperhatiin orang-orang di sekitarnya.
“Tenang aja. Gue dapet uang rental dari Abang Gue. Hahaa…”
“Huu… Dasar curang, Lu”

***

Ruang pameran berbagai macam butik di GI Shoping Town ramai meriah. Berbagai stand aneka produk tersusun rapi. Maha karya tradisional dan modern berdiri indah pada etalase-etalase cantik hasil kreasi seni selera tinggi. Ribuan art & craft menyatu dalam keindahan lautan busana ekspor-impor. Dila yang memang berniat total untuk hadir ke tempat ini tersenyum terperangah tanpa peduli isi dompetnya. Entah hanya sebatas mencuci mata atau memang ada gadjet yang sungguh-sungguh dia buru. Rere yang melihat temannya terperangah seperti dirasuki hantu hanya tersenyum tipis membayangkan entah apa yang ada dalam ruang kepala Dila.
“Aje Gile!! Kaseup pisan, euy!!” sontak kekaguman Dila.
“Yah, bahasa kampungya keluar. Ini tempat ekslusif, Non,” celetuk Rere sambil memandang ke sudut lain.
“Eit… Iya, ya. Sori… Sori,” sahut Dila sedikit malu.
“Baru nyadar, Mpok?” canda Rere pada wanita blasteran Jakarta-Bandung itu.
“Ah, udah, dong. Malu, tau. Eh, Re. Kita ke sana, yuk!” ajak Dila lansung menarik lengan Rere tanpa kesepakatan.
Dila dan Rere melangkah menuju stand bertulis Butik Susan. Tiba di ruang stand, Dila lekas mencari fashion buruannya untuk acara lamaran kakaknya bulan depan. Rere yang sejak tadi menuruti saja apa kata Dila mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam stand itu. Entah hanya perasaanya atau memang sungguh-sungguh ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Rere mulai merasa risih karena mungkin memang ulah aksi tawar-menawar Dila dengan pelayan stand yang menyebabkan seseorang di sudut stand itu mulai memperhatikannya. Rere mulai merasa harus mengakhiri aksi kesemrawutan tawar menawar Dila dengan pelayan stand.
“Eh, Dila. Udah, yuk. Cepetan, tau,” rayu Rere.
“Ya, jangan segitu dong, Mbak. Kurangin, ya?” Dila masih terus beraksi dengan tawar-menawarnya. Rere semakin risih dengan aksi temannya itu.
“Permisi. Rere, ya?” tanya seseorang itu ragu-ragu dari balik manekin yang terhalang posisi Rere. Rere yang masih belum melihat wajah seseorang yang mengenali dirinya itu memutar-mutar pandangannya mencari seseorang tersebut.
“Rere, kan? Apa kabar ?Masih inget Gue?” sambung seseorang yang mulai menampakkan dirinya di hadapan Rere.
“Nngg… Aryo?!” gumam Rere merasa tersentak.
“Iya, Gue Aryo. Apa kabar, Re?” sahut Aryo sedikit risau melihat Rere.
“Siapa?! Aryo?! Lu yang anak Sastra Perancis kampus tetangga itu?! Jadi ini Butik Lu?! OMG!! Kenalin, Gue temennya Rere. Pokoknya kita Akrab Banget, deh. Wuah… Gue nggak nyangka kita bisa ketemu di di sini, ya? Tuh, kan, Re. Utung Gue aja Lu ke sini!” lontaran cerewetnya Dila melaju pesat. Rere yang diajak bicara hanya diam dan masih tersentak.
“Iya, Gue Aryo yang Lu maksud,” balas Aryo yang sebenarnya ingin mendapat jawaban dari Rere.
“Eh.. Hmm.. Kabar Gue baik, Yo,” sahut Rere masih sedikit tersentak.
“Hmm… Re, bisa bicara sebentar?” pinta Aryo risau.
“Hei, sayang… Sori, ya, Aku telat. Ini Aku bawain Roti isi selai cokelat kesukaan Kamu. Tadi Kamu bilang belum sempat sarapan, kan? Gimana standnya, ramai, ya?” kehadiran dan ucapan Bella memotong pembicaraan Aryo dan Rere. Rere kembali pada diamnya yang membeku.
“Sori, Pacarnya Aryo, ya?” Tanya Dila ragu-ragu pada Bella.
“Ohh, kalian teman kampusnya Aryo, ya? Iya, saya Bella. Baru setahun, kok, kami jalan bareng,” sahut Bella dengan ceria. Aryo merasa tidak sampai hati melihat kegalauan yang ada pada Rere.
“Hhmm… terima kasih sudah melayani kami. Permisi,” ucap Rere singkat meninggalkan stand. Dila yang masih ragu dengan jawaban Bella hanya menuruti keputusan temannya untuk segera pergi.
“Re, tunggu, Re,” pinta Aryo ragu.
“Sayang, dimakan dulu dong roti isi selai kesukaan Kamu itu,” sedikit teriakan Bella yang mulai melayani pengunjung stand menghentikan niatnya untuk mengejar Rere.
Rere hanya mengibaskan lengannya tanpa menghadap ke arah Aryo yang sedang memanggilnya, menahan laki-laki itu agar tidak menyusulnya. Dadanya bergetar menahan kumpulan air mata di kelopaknya. Rere terus mencoba menyimpan kata-kata Aryo saat akhir perpisahan SMA dahulu yang beradu dengan teriakan roti isi selai cokelat buatan Bella.

Cirendeu , 07/08/10, 16:58

26 Juni 2010

Membaca Matahari

Berdiam diri memandang guru yang serius membuka Blackbarry
Seorang bocah kecil memandangi soal-soal ujian yang tak pernah ia pelajari
Membalik lembar-lembar soal tak dia dapati kunci jawaban
Sang Guru tersenyum-senyum sendiri memandangi layar facebooknya
Bocah kecil itu hanya bingung memandangi wajah sang guru yang larut mendownload video asusila
Sinar Matahari dari balik jendela menaruh iba pada sang bocah

Gadis Ababil

Sekelompok kunang-kunang berbaris menerangi jalan sunyi
Berbenturan warna dengan seorang gadis muda di ujung jalan
Terang warna busana gadis itu menyelimuti mata lelaki di seberang jalan kegelapan
Gerak gemulai tubuhnya beradu rindu terhempas angin malam

Rembulan bermanja santai di sisi pojok ruang angkasa
Si Gadis tersenyum riang saat sesosok pejantan lunglai menghampirinya
Dua insan saling bemesra rindu
Dari belakang pembatas jalan, sang istri dan anak pejantan mengusap dada
Memandangi Suami dan Ayah mereka berbuat durjana

16 April 2010

Obama bin Sarden

“Uuhhh… panas banget, nih ari,” keluh Mamat sedikit berteriak masuk ke rumah sambil mengipas-ngiipas wajahnya pakai kaos baru yang disampirkan pada pundak kanannya.
“Dasar, Bang Mamat. Bukannye ngucap salam dulu, malah ngeluh. Bikin kaget orang aje,” selak Upin yang merasa terganggu konsentrasinya menekan stik PS2 di tanganya.
“Betul… betul… betul…” timpal Ipin yang juga sedang menjentikkan jemarinya pada tombol-tombol stik kesayangannya.
“Lho, kok Lu-Lu pade kagak sekole?! Bolos, ya?” selidik Mamat.
“Ye, enak aje. Biar kate kite ini maniak sama PS2, yang namanya bolos, mah, kagak janji, deh. Kelas 6 lagi pade try out, jadi kite libur,” sahut Upin.
“Betul… betul… betul…” terang Ipin.
“Belagu, Lu pade. Kemaren, waktu Abang ajak makan di KFC, Lu pade bolos, kan?” selonoh Mamat.
“Ooo, kalo itu, kan disuruh Abang supaye kite-kite kagak useh sekole dulu,” terang Upin sambil terus menggerak-gerakkan kotak hitam di tangannya.
“Betul… betul… betul…” ikut Ipin.
“Ye, emang anak sekarang, kalo dibilangin makin nyautin,” balas Mamat sambil melempar kaos barunya ke arah dua anak kecil di depannya.
“Aduuhh…” teriak Upin.
“Wuett… kaos baru, ya, Bang? Eh, gambar siape, nih? Kok palanye ampir botak kayak pala Upin ame Ipin, sih?” tanggap Upin sambil menekan tombol pause pada stiknya.
“Itu, gambar Obama bin Sarden,” sahut Mamat mulai membaringkan tubuhnya di sofa.
“Siapa, tuh, Bang? Lucu amat namenye, kayak makanan aje?” taya Upin.
“Betul… betul… betul…” sambung Ipin.
“Emang, ya, yang ada di otak Lu bedue cuman PS ame makanan doang.”
“Ye, emang kite bedue kagak tau.”
“Betul… betul… betul…”
“Au, ah, gelap,” selonong Mamat melangkahkan kakinya menuju meja makan ditemani pandangan heran Upin dan Ipin.

***

Kabar santernya rencana kedatangan presiden negara Tamengrika ke negeri Capernesia ternyata sudah menjadi obrolan pengganti gosip ibu-ibu saat belanja sayur. Mulai dari radio, televisi, koran sampai papan pengumuman di Pos Ronda Kampung Centeng penuh dengan gambar dan tulisan Obama bin Sarden. Sebenarnya siapa Obama, itu? Kenapa negeri Capernesia dan penduduknya, khususnya Kampung Centeng sibuk dengan obroan makhluk ini?
Ternyata Obama bin Sarden yang presiden Tamengrika itu pernah tinggal di negeri Capernesia beberapa tahun. Dan kabar yang membuat warga Kampung Centeng merasa heboh, karena si presiden Tamengrika itu dahulu pernah sekolah di SD 01 Centeng. Terus, kenapa namanya mirip-mirip makanan kaleng? Menurut isu yang berkembang di Kampung Centeng, nama Obama bin Sarden itu membuming karena dia anak tiri dari warga Capernesia. Bapak tirinya Obama itu, Cang Kohar yang terkenal sebagai Pengusaha Sarden di Kampung Centeng nikah sama janda asing yang sudah memiliki anak, ya Si Obama kecil itu. Jadi, karena bawaan dari bapak tirinyalah Obama sering di sebut Obama bin Sarden waktu dia tinggal di Kampung Centeng.
“Eh, Bu Mumun. Tau, nggak, saya lagi bingung, nih. Anak saya yang sekarang di kelas tiga, minggu depan di suruh gurunya pake pakean adat. Mana duit, lagi cekak banget. Duh, pinjem pakean adat di mana, ya?” curhat Mbak Karti, penjual sayur di Kampung Centeng.
“Ye, malahan Upin ama Ipin di suruh ngerayu Babenye biar bise ngarak ondel-ondel pas Si Sarden itu dateng ke sekolenye.” Umpat Bu Mumun yang juga merasa risih. Bukan risih karena Si Upin dan Ipin manja meminta bapaknya agar bersedia mengarak ondel-ondel, tapi lebih risih karena kelakuan guru-guru SD 01 Centeng yang over acting.
“Pusing… pusing… sebel, deh. Jaman lagi susah begini, anak saya malah disuruh beli lukisan bergambar siapa, tuh… eemm… Si Sa… Sa..” celoteh Bu Santi meuju ke arah Mbak Karti dan Bu Mumun.
“Sarden,” sambar Mbak Karti
“Nah, iya… Obama bin Sarden. Pusing… pusing…” celotehnya lagi sambil menjentikkan jari telunjuk ke keningnya.
“Yah, bukan cuman Ibu yang pusing. Kita berdua juga jadi stress gara-gara begituan,” sahut Bu Mumun.
“Ada apa, toh, pagi-pagi udah puada ribut? Memangnya kenapa kalo Pak Sarden itu berkunjung ke sini, kan bagus. Negeri kita jadi tambah dikenal dunia. Bukan cuma karena isu terosisnya aja,” selonong Bu RT Kampung Centeng dari balik garasi.
“Eh, Bu RT. Nganu, lho, Bu. Gara-gara Pak Sarden mau dateng ke sekolah anak-anak. Kita-kita sebagai orang tua jadi bingung,” curhat Mbak Karti.
“Bingung kenapa?” sambung Bu RT sambil memilih-milih sayuran di gerobak Mbak Karti.
“Anak-anak kita jadi disuruh macem-macem, Bu. Pakai baju adat, lah. Beli lukisan juga. Belum lagi, ada yang di suruh beli cendera mata untuk Pak Sarden itu. Pusing… pusing…” tanggap Bu Santi.
“Ya udah, Mbak Karti, anak-anak udah pada mau berangkat. Tolong diitung belanjaan saya. Biasa, catet dulu, ya. Mari, Bu Santi. Bu RT, saya duluan ya,” pamit Bu Mumun ke teman-teman gosipnya.

***

Siang menyelimuti awan. Kabar akan kedatangan presiden Tamengrika menuai pro dan kontra di berbagai daerah. Hal ini menjadi topik berharga bagi pengusaha media massa dan elektronik. Kelompok yang mendukung kehadian Obama bin Sarden mengklaim bahwa kehadiran Obama akan meningkatkan hubungan bilateral yang baik antara Capernesia dan Tamengrika, dapat mengundang para investor untuk memajukan ekonomi Capernesia dan wibwaa negeri Capernesia dapat terangkat setelah isu terorisme di Capernesia.
Sementara kelompok yang menolak kehadirian presiden Tamengrika itu berdalih bahwa kehadiran Obama bin Sarden hanya sekadar untuk mendapat dukungan dari pemerintah Capernesia agar perusahaan-perusahaan minyak dan gas Tamengrika bisa tetap mengeksploitasi sumber daya alam Capernesia. Kehadiran Obama hanya sebatas mengambil kesepakatan agar pemerintah Capernesia membuat kebijakan ekonomi yang liberal dan dapat menguntungkan pengusaha asing.
Udara panas berdebu membuat warga Kampung Centeng enggan berlama-lama di dalam rumah. Mereka lebih memilih bersantai dan duduk di teras. Bu Santi tenang mengibas-ngibaskan kipas kecil ke wajahnya. Bu Mumun dan Pak Sanip tampak bergumam mengomentari selembaran dari Lurah Kampung Centeng untuk meningkatkan keamanan dan kebersihan lingkungan.
“Salam likum…” sapa Upin dan Ipin langsung menyambar telapak tangan kedua orang tuanya.
“Kum salam…” sahut ibunya.
“Gimana, Be, bise kagak ngarak ondel-ondel di sekole Upin pas nyambut Pak Sarden entar?’ tagih Upin ke bapaknya.
“Nyak, beliin Upin kaos yang ade gambar Pak Sarden-nye, dong. Masa, Bang Mamat dibeliin,” melas Ipin di samping ibunya.
“Pulang sekole bukannye pade ganti baju, sono, malah pade ajag-ijig aje, Lu,” sela bapaknya.
“Iye, sono. Ganti baju, terus makan,” pinta ibunya.
“Tapi, bisa kan, Be?” rayu Upin.
“Iye, Nyak, tapi entar beliin Upin kaos yang kayak Bang Mamat, ye.”
“Hhh… Sarden, Sarden. Nape anak-anak Gue jadi pade rewel gini, ye?” gumam Pak Sanip….
Cahaya perak keemasan mulai condong. Suasa SD 01 Centeng riuh bergemuruh seperti ribuan lebah beterbangan. Tampak sekelompok siwsa-siswi berlatih paduan suara di pendopo sekolah. Sekelompok lain juga terlihat berbaris sambil mengibar-ngibarkan bendera Tamengrika dan Capernesia sambil melantunkan lagu-lagu perjuangan. Di beberapa kelas riuh rendah ocehan anak-anak berseragam biru-merah dan busana daerah bergerak gemulai mengikuti alunan lagu daerah yang dibimbing seorang koreografer sewaan SD 01 Centeng.
Sesekali orang tua yang sedang menunggu anak-anaknya berlatih bersenda gurau dengan guru dan teman-temannya. Di sudut depan gerbang sekolah, tiga orang lelaki mulai menata prasasti Obama bin Sarden yang terbuat dari perunggu.
“Gimana, Bu Fera, ada kendala dengan anak-anak?” Tanya Kepala SD 01 Centeng. Bu Fera, ali kelas 6A itu ditugaskan sebagai ketua pelaksana acara penyambutan kehadiran presiden Tamengrika ke SD 01 Centeng untuk mengenang masa-masa Obama bin Sarden ketika sekolah di sana.
“Kalau anak-anak, sih, tidak ada kendala, Bu. Hanya saja, barusan saya lihat di TV kalau Pak Obama akan menunda kunjungannnya ke Capernesia,” keluh Bu Fera.
“Hah, gawat, dong! Bisa batal acara yang kita nanti-nanti ini,” ulas Bu Yanti, Kepala SD 01 Centeng.
“Ini baru kabar awal, Bu. Karena di tanggal itu, Pak Obama harus menyelesaikan dahulu tugas kenegaraannya di Zashington. Dan yang mengkhawatirkan saya adalah bila Pak Obama batal mengunjungi Capernesia,” tambah Bu Fera.
“Terus, anak-anak bagaimana? Apa perlu latihan kita tunda juga? Kan kasihan mereka kalau ternyata Pak Obama batal ke Capernesia,” imbuh Bu Yanti.
“Kalau menurut saya, biarkan anak-anak tetap berlatih sampai ada kabar resmi dari pemerintah kita,” jawab Bu Fera meyakinkan.
“Ya, sudah. Saya akan segera kabarkan pada Kepala Dinas tentang berita ini,” ucap Bu Yanti tergesa-gesa menuju ruang kerjanya.

***

Kabar ditundanya kunjungan Obama bin Sarden ke Capernesia makin hangat diperbincangkan. Semua headline media massa dan elektronik mengangkat topik ini. Para pengamat dimintai pandangannya tentang hal itu. Isu-isu dan topik penanganan bencana alam dan kasus-kasus korupsi di Capernesia lenyap ditelan bumi. Hal ini membuat para pelaku korupsi kelas kakap dan pengambil kebijakan yang salah atas kelestarian lingkungan merasa diuntungkan. Karena isu tentang Obama memberi sedikit hawa segar bagi mereka untuk tidak diburu pekerja media dan aparat penegak hukum.
Aksi massa pendukung dan penentang kunjungan presiden Tamegrika ke Capernesia makin bergejolak. Tidak sedikit aksi-aksi yang digelar tersebut menimbulkan bentrok dan jatuhnya korban di kedua pihak.
“Upin... Ipin…” panggil Bu Mumun.
“Iye, Nyak…” sahut keduanya segera menghampiri.
“Tadi, Babe Lu bilang kalo die ame rombongan Gambang Kromong bise ngarak ondel-ondel di sekole Lu. Besok Lu kasih tau guru Lu, ye,”
“Hore! Iye, Nyak entar Upin kasih tau guru Upin.”
“Nih, Nyak beliin kaos Obama buat Lu bedue. “
Malam mulai menidurkan diri. Upin dan Ipin segera merapikan alat-alat tulis dan perlengkapan belajarnya setelah beberapa jam mengerjakan tugas sekolah dan membaca-baca buku pelajaran esok hari. Lampu kamar mereka padamkan. Seulas senyum mengantarkan tidur mereka ketika matanya bertemu pandang dengan kaos baru bergambar Obama bin Sarden….
Pagi sedikit sejuk. Kendaraan di Jalan Centeng Raya belum ramai. Celoteh anak-anak kecil meuju ke sekolah terdengar rendah. Teriak kecil Mbak Karti mengabari pelanggannya mulai terdengar. Satu persatu ibi-ibu rumah tangga memunculkan kepalanya menghampiri gerobak sayur Mbak Karti.
“Upin… Ipin…” panggil Mamat.
“Iye, Bang…” jawab keduanya bersemangat.
“Entar tolong bilang guru Lu juge, ye. Bang Mamat ame temen-temen pemude Kampung Centeng siap dilibatin buat ngamanin Gambang Kromong di acare nyambut Pak Sarden di sekole Lu.”
“Iye, entar Upin bilangin. Tapi bagi Upin ame Ipin duit, dong, Bang. Buat beli Cimol. Iye, kagak, Pin?” lirik Upin ke Ipin.
“Betul… betul… betul…” setuju Ipin.
“Ye… curang, Lu. Tekor, deh, Gue. Nih, gope-gope aje, ye,” sungut Mamat.
“Otelah talo betitu… Iye udeh, Upin ama Ipin berangkat dulu, Bang. Salam likum…” cengir Upin dan Ipin.
“Huuhh… dasar anak bocah! Kum salam.”
Bel istirahat di SD 01 Centeng bersiul. Siswa-siswi tumpah ruah keluar kelas. Ada yang menuju lapangan berlari-lari sambil melempar bola. Sekerumunan lain bergerombol menuju kantin, dan sederet lain asyik bercanda di teras depan kelas.
Upin dan Ipin sedikit berlari kecil menuju ruang guru. Pesan ibunya tentang kabar bahwa Bapaknya siap untuk mengarak ondel-ondel segera ia sampaikan. Sedikit titipan Bang Mamat juga mereka selipkan dalam pesannya. Bu Fera tersenyum atas kesediaan bapak dan kakak mereka dalam mensukseskan acara penyambutan kunjungan Pak Obama bin Sarden ke sekolah mereka.
“Baiklah. Sampaikan salam dan rasa terima kasih Ibu ke bapak dan kakakmu, ya. Nanti akan Ibu kasih undangan untuk rapat persiapan di sekolah,” perintah Bu Fera.
“Iye, Bu.”

***

Kabar kepastian kunjungan Obama bin Sarden ke Capernesia mulai terang. Melalui kantor kepresidenan, presiden Capernesia memberikan keterangan pers bahwa presiden Tamengrika akan bertolak dari Zashington ke Capernesia setelah menghadiri rapat anggaran kesehatan di gedung parlemen Tamengrika. Juru bicara Gedung Abu-Abu mengabarkan bahwa presiden Obama bin Sarden akan tiba di Jokorto, lusa minggu ini.
Kabar kepastian itu mendapat sambutan meriah warga SD 01 Centeng. Mereka semakin memadatkan jadwal latihan acara penyambutan Pak Sarden. Sejumlah perusahaan catering di sewa untuk melayani tamu-tamu yang datang. Bangunan sekolah mulai disulap bagai istana. Guru-guru seolah tertiban durian runtuh karena mendapat fasilitas pakaian, konsumsi, dan ruangan sejuk. Berbeda dengan hari-hari biasa yang mengajar dengan fasilitas konsumsi, pakaian dan ruang belajar ala kadarnya. Semua berubah total seakan-akan kemiskinan di dunia pendidikan sudah usai dan akan terus sejahtera.
Tak ingin ditegur Pemda DKI, Lurah Kampung Centeng mulai memamerkan keaktifannya untuk terjun langsung ke masyarakat. Bagai seorang pemimpin yang yang dekat dengan rakyatnya, Pak Lurah siap berkongko-kongko ria dengan masyarakat jelata membersihkan lingkungan.
“Bapak-bapak… Ibu-Ibu… Mari kita bersatu menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan Kampung Centeng yang kita cintai ini…” celoteh basi Pak Lurah dalam membuka acara kerja bakti di lingkungan Kampung Centeng. Berbeda seratus delapan puluh kuadrat derajat dengan hari-hari biasa. Jangankan bertemu untuk mengurus surat-surat administrasi kependudukan, hanya sebatas bertegur sapa saja, Lurah Kampung Centeng tak tentu rimbanya ada di mana.
Di berbagai pelosok negeri Capernesia aksi-aksi pendukung dan penolak kehadiran Obama bin Sarden semakin massif dilakukan. Seluruh kekuatan pertahanan dan keamanan Republik Capernesia disiapkan. Angkatan laut, darat, udara serta petugas-petugas intelijen disebar ke seluruh jengkal tanah negeri ini. Berkali-kali berbeda seratus delapan puluh ribu derajat bila dibandingkan saat puluhan pulau perbatasan Capernesia dicuri oleh asing. Lagi-lagi kekuatan lembaga pertahanan dan keamanan dimandulkan oleh keegoisan pemerintah negeri ini.

***

Hari yang dinanti menyapa di ujung mata. Obama bin Sarden tiba di Bandara Galim Pradana Kasuma Jokorto disambut langsung oleh presiden, wakil dan pejabat-pejabat Republik Capernesia. Lawatan perdana dimulai dengan makan siang bersama di Istana Presiden Republik Capernesia. Tampak senyum bangga seluruh hadirin yang berada di dalamnya. Dari luar istana terlihat anak kecil berpakaian lusuh pucat pasi mengais-ngais nasi bungkus sisa kemarin sore yang ia simpan untuk makan siang hari itu. Matanya sesekali memandang kosong gedung megah di seberangnya.
Usai makan siang di istana, sebelum sore hari bertolak ke Pulau Bale, Obama bin Sarden menyempatkan diri berkunjung ke SD 01 Centeng untuk mengenang masa-masa kecilnya saat menuntut ilmu di sekolah itu. Didampingi presiden, wakil dan pejabat-pejabat Republik Capernesia, Obama tiba di SD 01 Centeng disambut Pemda DKI Jokorto dan Keluarga Besar SD 01 Centeng. Obama dikalungi bunga oleh perwakilan siswa-siswi SD 01 Centeng. Berbagai sambutan dipersembahkan. Mulai dari Gambang Kromong khas tradisi Kota Jokorto, tari daerah hingga hiburan dari Tamengrika pun dipamerkan.
Warga Kampung Centeng yang sejak beberapa hari lalu bekerja keras meningkatkan keamanan dan kebersihan lingkungan hanya dapat menyaksikan kerumunan petugas keamanan di depan mereka. Mengharap untuk melihat wajah seorang yang katanya pernah tinggal di kampung mereka rasanya bagai memeluk gunung. Bagaimana melihatnya, mendekat saja mereka tak diizinkan. Sungguh sebuah ironi masyarakat pribumi yang selalu tertindas hak-haknya.
Beranjak setelah pidato sambutan Gubernur DKI Jokorto. Obama dipersilahkan untuk memberikan pidato motivasi kepada Keluarga Besar SD 01 Centeng. Dengan Bahasa Capernesia yang sedikit masih diingatnya, Obama berbicara di podium,
“Shelhamhat shiahng, ahnhak-ahnhak… Ahpha khabharr…?” ucap Obama disambut tepuk tangan dan riuh kegembiraan siswa–siswi dan keluarga besar SD 01 Centeng.
“Shalhahm shejahthehrha uhnthuhk khitha shemhuah. Shayhah uhchaphkhan thehrhimah khahshih ahthashs shahmbhuhthan khahlhiahn shehmhuah. Shahyha mhehrhahshah bhangghah dhehnghahn Shehkholah ihnhih Khahrhehna shahyha phehrnhah mhehnhunhtuth ihlmhuh dhih shihnhih.
Khehdahthahnghahn shahyha khe shihnhi ahdhahlhah uhnthuhk mehnjhahlhihn huhbhuhnghahn yhangh lhehbhih bhahikh dhehnghahn Chahphernhehshiah… Khahmhi, Thahmhenghrwhihkhah, ihnghihn mehnjhahlhihn khehrjhahshahmhah yhahngh dhhphath mhehnghinghkhahthkhan khehshejhahthehrhahanhn bhahghih khihthah shehmhuah….”

Tepuk tangan terus mengiringi kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut presiden Tamengrika itu. Warga Centeng hanya bisa mendengar sayup-sayup suara tepuk tangan dari luar kawasan SD 01 Centeng.
Seorang pedagang kelontong di pinggir Taman Centeng duduk termenung sambil mendengar radio kecil kesayangannya, menunggu pembeli yang sudi mampir di warungnya. Matanya tertuju pada patung kecil Obama bin Sarden yang berdiri di salah satu sudut taman itu. Dari radio kecilnya terkabar berita bahwa ratusan warga Republik Capernesia yang tinggal di sekitar perusahaan penambangan emas milik Tamengrika meninggal akibat busung lapar dan kemiskinan.


Cirendeu, 16 Maret 2010. Pukul 02:04

Jangan Kau Tanya Lagi!

Malam makin larut. Seorang ibu masih duduk setia di samping anaknya yang mulai menginjak usia dewasa. Dipandangi wajah anaknya seraya membelai kepala anak itu penuh kasih.
“Kamu sudah dewasa, Nak” ucap ibunya santu.
“Iya, Bunda. Terima kasih Bunda telah mengasihi saya sejak kecil,” balas anaknya.
“Tak perlu kamu megucapkan itu, anakku. Itu sudah menjadi tanggung jawab seorang bunda”
“Tapi, Aku belum bisa membalas kasih sayang Bunda,” sambut anak itu sambil membaringkan kepala di pundak ibunya.
“Bunda hanya ingin mulai saat ini kamu bersedia memakai jilbab setiap kamu keluar rumah anakku. Kamu sudah dewasa,” pinta ibunya.”
“Aku tidak mau, Bunda. Aku malu dengan teman-teman dan orang-orang di sekitarku.”
“Kenapa harus malu anakku? Katanya kamu ingin membahagiakan Bunda?”
“Pokoknya, Aku tidak mau,” anak itu meninggalkan ibunya seraya menangis. Ibunya hanya menunduk pasrah.

***

“Bu Ustadzah, Saya bingung dengan sikap anak saya,” tanya ibu dari anak itu kepada seorang Ustadzah yang baru dikenalnya.
“Saya ingin anak saya memakai jilbab, karena dia sudah dewasa. Tapi, keika saya perintah dia untuk pakai jilbab, dia malah tidak mau.”
“Sebaiknya ibu beri tahu lebih sabar lagi. Katakan bahwa menutup aurat itu wajib bagi anak yang sudah dewasa,” jawab Ustadzah penuh perhatian
“Anak saya belum bisa menerima ujaran saya sejak saya ungkapkan hal itu padanya,” cerita sang ibu ingin mendapat tausiyah. Sang ibu mulai meneteskan air mata. Melihat orang yang baru dikenalnya seperti itu, Ustadzah merasa iba dan ingin memberikan perhatian yang lebih bermanfaat.
“Kalau begitu, sudilah ibu mengajak anak ibu ke rumah saya. Mungkin saya bisa memberikan masukan yang dapat membuat anak ibu lebih terbuka,” saran Ustadzah.
“Baiklah, Ustadzah,” tanggap sang ibu.
“Nih, kartu nama saya. Saya tunggu besok jam lima sore, ya!”

***

Sore menunjukkan pukul tujuh belas. Ustadzah duduk di ruang tamu rumahnya sambil membaca-baca buku tentang mendidik anak. Sejak satu jam lalu dia membuka-buka halaman buku itu. Ustadzah tak ingin mengecewakan sang ibu yang baru dikenalnya. Saat konsentrasinya membaca-baca buku di hadapannya mulai terasa, bel pintu rumahnya berbunyi.
“Assalamu alaikum, Bu Ustadzah,” ucap sang ibu di dampingi anaknya ketika Ustadzah membukakan pintu untuk mereka.
“Maafkan kami bila terlambat, Bu Ustadzah,” ulas sang ibu sambil memandang anaknya.
“Wa alaikum salam. Ahh, tidak apa-apa, Bu. Lho, mana anak ibu yang kemarin ibu ceritakan pada saya itu?” tanya Bu Ustadzah santun.
“Ini anak saya yang saya ceritakan kemarin, Bu Ustadzah,”jawab sang ibu sambil membelai kepala seorang anak lelaki lugu yang beranjak dewasa.
Sambil Beristighfar, Bu Ustadzah menutup kembali pintu rumahnya dan masuk ke dalam tanpa pamit pada sang ibu dan anak lelakinya. Sang ibu dan anak lelakinyanya saling berpandangan.heran.



Cirendeu, 17 Maret 2010, ba’da maghrib