tag:blogger.com,1999:blog-33599538597851210102024-03-05T01:31:18.967-08:00Ewink Herwinmenyimpan inspirasi dari lingkungan sekitarEwink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comBlogger37125tag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-65528737486409053732010-08-07T22:36:00.000-07:002012-10-20T01:26:50.137-07:00Selai Janji“Siapa bilang Gue, gak kenal Dia?” Rere menyeruput jus apel yang sejak tadi dimainkan oleh jari-jarinya.<br />“Jadi, Lu pernah ketemu dia?! OMG!! Kenalin, dong ke Gue, Re. Pliiss,” Dila menggoyang-goyagkan bahu Rere dengan tampang memohon.<br /><br />“Uhhukk… uhhukk… uhhukk… Parah, Lu, ya?! Gak liat Gue lagi minum gini apa? Untung katup kerongkongan Gue masih orisnil,” celetuk Rere sambil membersihkan percikan jus apel yang jatuh di meja kantin kampus.<br />“Ya, maaf, Bu. Tapi beneran Lu pernah ketemu dia? Mau dong, Re,” pinta Dila mengulang.<br />“Beneran Lu mau?”<br />“Jadi Lu bakalan ngajak Gue buat ketemu dia?!”<br />“Bukan, tapi ini…”<br />“Aduhh… Rere. Awas Lu, ya. Jadi kotor nih muka Gue,” teriak Dila sambil mengacungkan kepalan tangan ke arah orang yang memercikkan jus apel dari sedotan tepat ke wajahnya.<br />“Hahaa… Satu sama. Gue cabut dulu ya. Ada janji sama nyokap. Sii yuu… Mmuaaccchhh…” sambil tersenyum dan sedikit berlari, Rere meninggalkan Dila yang masih menggerutu di sudut meja.<br />Pukul dua siang. Sedikit sinar terik yang dipantulkan jalan beraspal legam berbaur masuk melalui kaca depan Honda Jazz biru. Merasa udara di kabin mulai hangat, tangan kirinya menekan tombol AC yang menyumbul merayu pada dashboard. <br />Mata kuliah Komunikasi Statistik tiga jam lalu membuat gadis yang dianugerahi nama Retno Dwi Jayanti oleh kedua orang tuanya itu banyak memeras otak. Dan untuk menenangkan otot-otot kepalanya ia rela memeras sedikit isi dompetnya untuk mentraktir segelas jus untuk Dila.<br />Lantunan lagu JAP milik Sheila on 7 dari tape Honda Jazz yang biasa dia bawa menyentak konsentrasinya. Pikirannya menuju pada Dila dan seseorang yang dibicarakannya saat mereka duduk di kantin selesai mata kuliah beberapa jam lalu. Memori di kepalanya melayang beberapa saat mengingat kata-kata yang diucapkan seorang laki-laki ketika mereka meninggalkan acara perpisahan SMA tiga setengah tahun yang lalu.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue</span><br /><br />Bayang-bayang lamunannya pudar berpencar dipecahkan bunyi klakson bus kota yang berada tepat dibelakang Honda Jazz birunya. Rere baru tersadar bahwa lampu hijau dipersimpangan sudah menyala. Dalam hitungan detik tangan kirinya mengayun ke persneling dan melaju menyisakan ocehan tak jelas dari kernek bus kota.<br /><br />***<br /><br />“Aryo… Cepat turun! Kamu mau ikut sarapan bareng, tidak?” panggil Tante Susan setelah <span style="font-style:italic;">sun</span> kanan-kiri pada Om Bagas.<br />“Iya, Ma. Sebentar,” sambut Aryo sambil mengarahkan kursor dan menekan fitur sign out pada note book-nya.<br />“Jadi, Papa berapa lama di Singapur?” tanya Tante Susan pada suaminya.<br />“Ya, tergantung klien, Ma. Tapi paling lama dua minggu,” sahut Om Bagas sambil mengoleskan selai kacang di atas roti tawar yang disodorkan Tante Susan.<br />“Pagi, Ma. Pagi Pa,” sapa Aryo dan langsung duduk mengambil roti berisi selai cokelat yang sudah disiapkan oleh Mamanya.<br />“Pagi ini jadi berangkat, Pa? Mau Aryo antar ke bandara, Pa?”<br />“Jadi, dong. Masa janji sama klien tidak ditepain? Bisa hilang nanti kepercayaan mereka sama perusahaan Papa,” canda Om Bagas.<br />“Oh, jadi kalo nggak tepain janji sama anaknya nggak apa-apa, ya?” bales Aryo sedikit tersenyum. Om Bagas yang merasa tersindir juga tersenyum-senyum dihadapannya.<br />“Wajar, dong, Aryo. Papamu kan sibuk. Yang antar Papa ke bandara pagi ini Mama,” Tente Susan berusaha membela suaminya. Senyum Om Bagas sempurna mendengar pembelaan dari istrinya.<br />“Loh, Mama ikut juga ke Singapur? Katanya Mama mau ada pameran butik sama teman-teman Mama,” selidik Aryo.<br />“Mama cuma antar papa sampai bandara, terus langsung ke apartemennya Tante Alina untuk meeting pameran butik minggu depan,” potong Om Bagas.<br />“Gimana kabar kamu sama Bella? Baik-baik, kan?” Selidik Om Bagas. <br />“Oh… Hmm, baik, Pa,” tanggap Aryo singkat. Mendengar pertanyaan Papanya tentang Bella, napsu sarapan Aryo berkurang.<br />“Kayaknya kamu makin cocok, deh, sama putri semata wayangnya Om Edwar itu,” sambung Tante Susan memastikan.<br />“Ah, Mama. Aryo dan Bella, kan masih saling mengenalkan diri,” jawab Aryo. Malas.<br />“Kamu bisa belajar bisnis juga sama Om Edwar, Aryo. Cobalah saling mengenal lebih dekat lagi,” kembali Om Bagas menekankan bahwa ia merestui hubungan Aryo dengan Bella.<br />“Iya, Pa. Hmm… Eh, Pa. Rencananya Papa mau kerja sama apa sama klien Papa yang di Singapur?” potong Aryo mencoba untuk mengalihkan pembicaraan tentang dirinya dan Farah Bella Anugerah, putri Om Edwar yang juga rekan bisnis Papa.<br />“Cuma ingin mengembangkan bisnis Papa. Rencananya Papa mau buka kantor baru di sana. Makanya kamu harus banyak belajar sama Om Edwar untuk memegang bisnis Papa yang di Singapur itu,” balas Om Bagas meyakinkan Aryo.<br />“Eh, ayo, Pa, kita berangkat. Satu jam lagi pesawat take off, loh. Hmm… Aryo, jangan lupa sampaikan salam Mama untuk Bella, ya. Ajaklah dia main ke sini. Mama kangen, nih, sudah lama nggak ngobrol sama dia,” tambah Tante Susan yang juga ingin meyakinkan Aryo.<br />“Hmm… Iya, Ma, Pa.” bales Aryo ringan.<br />“Ya sudah, Mama antar Papa dulu ke bandara ya,” <span style="font-style:italic;">muachh… muach</span>… Cium Tante Susan untuk putra semata wayangnya.<br />“Hati-hati ya, Ma, Pa.” <br />Hening sekejap menyapa. Aryo bermain dengan pikirannya. Potongan roti berisi selai cokelat kesukaannya tersisa. Entah apa yang menyebabkannya. Biasanya dia paling bersemangat bila sarapan pagi dengan roti berisi selai cokelat itu. Keheningan yang merayap itu membawa ingatannya pada acara perpisahan SMA dulu. Wajah Rere mulai hadir dalam bayangannya. Dan kata-kata yang dulu dia ucapkan pada Rere ikut berpendar dalam sayup-sayup kerinduan.<br /> <br /><span style="font-style:italic;">Gue janji bisa jelasin ke orang tua Gue, Re. Gue harap Lu mau ngertiin Gue</span><br /><br />Kata-kata itu. Ya, kata-kata itu seolah menyatu dalam dekapannya. Entah kapan dia bisa menjelaskan kepada orang tuanya tentang kecondongan hatinya terhadap Rere. Dan entah sampai kapan Rere bersabar menunggu hal itu.<br />Tlitt…Ttlitt.. Tlitt… Suara handphone Aryo memanggil. Mebuyarkan harmoni angan-anagnnya tentang Rere.<br />“Ya, halo,” sahut Aryo sedikit dipaksakan.<br />“Pagi, sayang. Kamu baru bangun, ya?” sapa Bella.<br />“Oh, udah dari tadi, kok. Aku lagi sarapan, nih,? Kamu sudah sarapan?” balas Aryo basa-basi.<br />“Ya, sudah. Eh, Kamu jadi, kan mau antar Aku ke salon dan ke fashionshop hari ini?” tanya Bella memastikan.<br />“Jadi dong, sayang. Jam berapa mau Aku jemput?” sambung Aryo.<br />“Satu jam lagi, ya. Aku baru selesai renang, nih.”<br />“Oh, ya udah. Tunggu, ya.”<br />“Ya, Aku tunggu. <span style="font-style:italic;">Kiss me!</span>”<br />“<span style="font-style:italic;">M</span><span style="font-style:italic;">muuaacchhh… Sii yuu, honey</span>”<br />“<span style="font-style:italic;">Mmuuaacchhh… Sii yuu tuu</span>, sayang.”<br /><br />***<br /><br />Janji. Ya, mungkin bisa disebut begitu. Mungkin juga janji yang tak akan pernah terjawab. Bila memang janji itu benar-benar untuk dirinya, tidak bolehkah dia berharap? Walupun harapan itu hanya tersimpan dalam hatinya untuk menunggu. Atau memang janji itu terbatasi oleh ruang hampa yang menyelimuti kenangan masa lalu antara mereka berdua. Kenangan yang datang dan pergi tanpa meninggalkan buih dan asap kenyataan. Sepi tanpa irama kepastian.<br />”Belum tidur, sayang?” sapa Tante Rayya.<br />“Hmm… Eh, Mama. Belum, Ma,” sambut Rere sambil memeluk Winny kesayangannya. Boneka yang masih meninggalkan kenangan antara dia dan Aryo saat SMA dahulu.<br />“Sedang ada masalah?” belai Tante Rayya pada putri tunggalnya.<br />“Cuma belum ngantuk aja, Ma,” bales Rere semakin merasakan belaian cinta Mamanya.<br />“Sudah malam, loh. Besok ada kuliah, kan?”<br />“Ada, Ma,” jawab Rere ikut membelai Winny meniru belaian Tante Rayya terhadap dirinya.<br />“Bener, nih tidak ada masalah? Nggak mau cerita ke Mama? Jelek-jelek begini, Mama Psikolog, loh,” rayu Tante Rayya yang melihat ada sesuatu dalam pikiran putrinya.<br />“Ma…”<br />“Ya, sayang,”<br />“Sebelum Mama jadian sama almarhum Papa dulu, Papa pernah mengatakan sesuatu yang mirip-mirip janji ke Mama, nggak?”<br />“Duhh… kayaknya putri Mama sedang jatuh cinta, ya? Boleh kenalin sama Mama, dong,” goda Tante Rayya.<br />“Ah, Mama, nih, sama aja, deh kayak Dila,” wajah Rere sedikit meranum.<br />“Oh, jadi beneran, ya, putri Mama sedang jatuh cinta. Kalo Dila nggak boleh tau, masa Mamanya sendiri nggak boleh tau juga, sih?” Tante Rayya tersenyum.<br />“Ihh, Mama. Jawab, dong pertanyaanku,” peluk hangat Rere ke tubuh Mamanya.<br />“Janji apa, ya? Kayaknya Papa kamu dulu nggak pernah janji apa-apa deh,”<br />“Beneran, Ma? Masa nggak ada satu katapun yang diucapin Papa ke Mama. Terus kenapa Mama sama Papa bisa jadian dan langgeng bisa membangun rumah tangga?” belai jemari Rere pada tangan Mamanya.<br />“Seingat Mama, sih, Papamu nggak pernah janji apa-apa ke Mama. Cuma waktu sebelum kami berpisah dari SMA, almarhum Papa kamu cuma bilang…”<br />“Bilang, apa, Ma?! Kasih tau Rere, dong, Ma!” potong Rere semakin menghangatkan pelukannya pada Tante Rayya.<br />“Bilang apa, ya? Papa kamu cuma bilang, <span style="font-style:italic;">‘Rayya, suatu saat, bila Aku sudah yakin, Aku akan mengutarakan ke orang tuaku tentang harapanku ke Kamu. Aku mohon Kamu bisa memahami, ya.’</span> Setelah itu Mama dan Papa berpisah untuk kuliah di tempat yang berbeda,” bales Tante Rayya dengan pelukan hangatnya seorang Mama.<br />“Dan setelah Mama dan Papa selesai kuliah, Papa menepati janjinya ke Mama, ya?"<br />“Mama nggak tau itu janji atau bukan, Rere. Yang jelas Papa kamu datang bersama keluarganya untuk meminang Mama. Sehingga Mama dan Papa kamu bisa membangun keluarga juga dianugerahi putri secantik kamu,” sambung Tante Rayya.<br />“Hmm, jadi saat itu Mama nggak menganggap itu sebagai janji, ya, Ma?”<br />“Ya, saat itu Mama cuma mendengarkan dan Mama simpan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk Mama saat perpisahan SMA,” belai jentik jemari Tante Rayya pada rambut putrinya.<br />“Gitu ya, Ma? Ma kasih ya, Ma,” kecupan cinta Rere di kening Tante Rayya.<br />“Ya sudah. Segera tidur. Sudah larut malam,” balas kecupan hangat Tante Rayya pada kening Rere.<br />***<br />Ruang parkir kampus sedikit renggang. Mungkin karena hari ini Sabtu. Sedikit kelas yang belajar. Kalau tidak karena tambahan makalah pun, sebenarnya hari ini Rere libur.<br />Rere menempatkan Honda Jazz birunya tepat di bawah pohon rindang. Memang beda udara hari ini dan kemarin. Rere sedikit mendapat bonus kesejukan pagi ini. Rupanya sedikit berkurang kendaraan di ruang parkir pagi ini membuat volume Oksigen yang singgah di paru-paru Rere bertambah banyak. Rere turun menuju kelas di lantai dua merasa siap dengan mata kuliah hari ini.<br />“Re, tunggu!” teriak Dila sambil merapikan ujung jilbabnya dan sedikit berlari kecil.<br />“Eh, pagi-pagi udah teriak serak gitu, Lu. Malu tau. Tuh, Lu diliatin orang,” tunjuk pandangan Rere ke sekerumunan mahasiswa UKM yang sedang latihan mingguan.<br />“Ah, biarin,” wajah Dila sedikit ranum.<br />“Tumben Lu nggak bawa mobil?” selidik Rere.<br />“Dipake Abang Gue. Mau jalan sama gebetannya. Maklum, masih status pinjaman dari BoNyok,” Sahut ceplos Dila.<br />“Eh, Re. Entar anter Gue ya ke Pameran Butik di GI,” rayu Dila.<br />“Pameran Butik? Sejak kapan Lu dateng ke pameran begituan?” celetuk Rere.<br />“Ya, anter Gue ya, Re,” rayu Dila sambil memijit-mijit pundak Rere.<br />“Ih, hombreng Lu, ya? Malu tau diliatin orang”<br />“Mau kan anter Gue, Re. Pliss…” rayu Dila dengan aksi memijit yang semakin membuat kerumunan orang-orang memandang ke arah mereka.<br />“Eh, geli, tau. Iya… iya… entar Gue anterin. Tapi Lu yang beli bensin, ya?” tanggap Rere terpaksa karena malu diperhatiin orang-orang di sekitarnya.<br />“Tenang aja. Gue dapet uang rental dari Abang Gue. Hahaa…”<br />“Huu… Dasar curang, Lu”<br /><br />***<br /><br />Ruang pameran berbagai macam butik di GI Shoping Town ramai meriah. Berbagai stand aneka produk tersusun rapi. Maha karya tradisional dan modern berdiri indah pada etalase-etalase cantik hasil kreasi seni selera tinggi. Ribuan art & craft menyatu dalam keindahan lautan busana ekspor-impor. Dila yang memang berniat total untuk hadir ke tempat ini tersenyum terperangah tanpa peduli isi dompetnya. Entah hanya sebatas mencuci mata atau memang ada gadjet yang sungguh-sungguh dia buru. Rere yang melihat temannya terperangah seperti dirasuki hantu hanya tersenyum tipis membayangkan entah apa yang ada dalam ruang kepala Dila.<br />“Aje Gile!! <span style="font-style:italic;">Kaseup pisan, euy</span>!!” sontak kekaguman Dila.<br />“Yah, bahasa kampungya keluar. Ini tempat ekslusif, Non,” celetuk Rere sambil memandang ke sudut lain.<br />“Eit… Iya, ya. Sori… Sori,” sahut Dila sedikit malu.<br />“Baru nyadar, Mpok?” canda Rere pada wanita blasteran Jakarta-Bandung itu.<br />“Ah, udah, dong. Malu, tau. Eh, Re. Kita ke sana, yuk!” ajak Dila lansung menarik lengan Rere tanpa kesepakatan.<br />Dila dan Rere melangkah menuju stand bertulis Butik Susan. Tiba di ruang stand, Dila lekas mencari fashion buruannya untuk acara lamaran kakaknya bulan depan. Rere yang sejak tadi menuruti saja apa kata Dila mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam stand itu. Entah hanya perasaanya atau memang sungguh-sungguh ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Rere mulai merasa risih karena mungkin memang ulah aksi tawar-menawar Dila dengan pelayan stand yang menyebabkan seseorang di sudut stand itu mulai memperhatikannya. Rere mulai merasa harus mengakhiri aksi kesemrawutan tawar menawar Dila dengan pelayan stand.<br />“Eh, Dila. Udah, yuk. Cepetan, tau,” rayu Rere.<br />“Ya, jangan segitu dong, Mbak. Kurangin, ya?” Dila masih terus beraksi dengan tawar-menawarnya. Rere semakin risih dengan aksi temannya itu.<br />“Permisi. Rere, ya?” tanya seseorang itu ragu-ragu dari balik manekin yang terhalang posisi Rere. Rere yang masih belum melihat wajah seseorang yang mengenali dirinya itu memutar-mutar pandangannya mencari seseorang tersebut.<br />“Rere, kan? Apa kabar ?Masih inget Gue?” sambung seseorang yang mulai menampakkan dirinya di hadapan Rere.<br />“Nngg… Aryo?!” gumam Rere merasa tersentak.<br />“Iya, Gue Aryo. Apa kabar, Re?” sahut Aryo sedikit risau melihat Rere.<br />“Siapa?! Aryo?! Lu yang anak Sastra Perancis kampus tetangga itu?! Jadi ini Butik Lu?! OMG!! Kenalin, Gue temennya Rere. Pokoknya kita Akrab Banget, deh. Wuah… Gue nggak nyangka kita bisa ketemu di di sini, ya? Tuh, kan, Re. Utung Gue aja Lu ke sini!” lontaran cerewetnya Dila melaju pesat. Rere yang diajak bicara hanya diam dan masih tersentak.<br />“Iya, Gue Aryo yang Lu maksud,” balas Aryo yang sebenarnya ingin mendapat jawaban dari Rere.<br />“Eh.. Hmm.. Kabar Gue baik, Yo,” sahut Rere masih sedikit tersentak.<br />“Hmm… Re, bisa bicara sebentar?” pinta Aryo risau.<br />“Hei, sayang… Sori, ya, Aku telat. Ini Aku bawain Roti isi selai cokelat kesukaan Kamu. Tadi Kamu bilang belum sempat sarapan, kan? Gimana standnya, ramai, ya?” kehadiran dan ucapan Bella memotong pembicaraan Aryo dan Rere. Rere kembali pada diamnya yang membeku.<br />“Sori, Pacarnya Aryo, ya?” Tanya Dila ragu-ragu pada Bella.<br />“Ohh, kalian teman kampusnya Aryo, ya? Iya, saya Bella. Baru setahun, kok, kami jalan bareng,” sahut Bella dengan ceria. Aryo merasa tidak sampai hati melihat kegalauan yang ada pada Rere.<br />“Hhmm… terima kasih sudah melayani kami. Permisi,” ucap Rere singkat meninggalkan stand. Dila yang masih ragu dengan jawaban Bella hanya menuruti keputusan temannya untuk segera pergi.<br />“Re, tunggu, Re,” pinta Aryo ragu.<br />“Sayang, dimakan dulu dong roti isi selai kesukaan Kamu itu,” sedikit teriakan Bella yang mulai melayani pengunjung stand menghentikan niatnya untuk mengejar Rere.<br />Rere hanya mengibaskan lengannya tanpa menghadap ke arah Aryo yang sedang memanggilnya, menahan laki-laki itu agar tidak menyusulnya. Dadanya bergetar menahan kumpulan air mata di kelopaknya. Rere terus mencoba menyimpan kata-kata Aryo saat akhir perpisahan SMA dahulu yang beradu dengan teriakan roti isi selai cokelat buatan Bella.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Cirendeu , 07/08/10, 16:58</span>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-4317388781072916642010-06-26T05:09:00.000-07:002010-06-26T05:10:44.426-07:00Membaca MatahariBerdiam diri memandang guru yang serius membuka Blackbarry<br />Seorang bocah kecil memandangi soal-soal ujian yang tak pernah ia pelajari<br />Membalik lembar-lembar soal tak dia dapati kunci jawaban<br />Sang Guru tersenyum-senyum sendiri memandangi layar facebooknya<br />Bocah kecil itu hanya bingung memandangi wajah sang guru yang larut mendownload video asusila<br />Sinar Matahari dari balik jendela menaruh iba pada sang bocahEwink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-80000366917014684742010-06-26T05:06:00.000-07:002010-06-26T05:09:33.827-07:00Gadis AbabilSekelompok kunang-kunang berbaris menerangi jalan sunyi<br />Berbenturan warna dengan seorang gadis muda di ujung jalan<br />Terang warna busana gadis itu menyelimuti mata lelaki di seberang jalan kegelapan<br />Gerak gemulai tubuhnya beradu rindu terhempas angin malam<br /><br />Rembulan bermanja santai di sisi pojok ruang angkasa<br />Si Gadis tersenyum riang saat sesosok pejantan lunglai menghampirinya<br />Dua insan saling bemesra rindu<br />Dari belakang pembatas jalan, sang istri dan anak pejantan mengusap dada<br />Memandangi Suami dan Ayah mereka berbuat durjanaEwink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-32306341734307710292010-04-16T21:08:00.000-07:002010-04-16T21:23:02.091-07:00Obama bin Sarden“Uuhhh… panas banget, nih ari,” keluh Mamat sedikit berteriak masuk ke rumah sambil mengipas-ngiipas wajahnya pakai kaos baru yang disampirkan pada pundak kanannya.<br /> “Dasar, Bang Mamat. Bukannye ngucap salam dulu, malah ngeluh. Bikin kaget orang aje,” selak Upin yang merasa terganggu konsentrasinya menekan stik PS2 di tanganya.<br /> “Betul… betul… betul…” timpal Ipin yang juga sedang menjentikkan jemarinya pada tombol-tombol stik kesayangannya.<br /> “Lho, kok Lu-Lu pade kagak sekole?! Bolos, ya?” selidik Mamat.<br /> “Ye, enak aje. Biar kate kite ini maniak sama PS2, yang namanya bolos, mah, kagak janji, deh. Kelas 6 lagi pade try out, jadi kite libur,” sahut Upin.<br /> “Betul… betul… betul…” terang Ipin.<br /> “Belagu, Lu pade. Kemaren, waktu Abang ajak makan di KFC, Lu pade bolos, kan?” selonoh Mamat.<br /> “Ooo, kalo itu, kan disuruh Abang supaye kite-kite kagak useh sekole dulu,” terang Upin sambil terus menggerak-gerakkan kotak hitam di tangannya.<br /> “Betul… betul… betul…” ikut Ipin.<br /> “Ye, emang anak sekarang, kalo dibilangin makin nyautin,” balas Mamat sambil melempar kaos barunya ke arah dua anak kecil di depannya.<br /> “Aduuhh…” teriak Upin.<br /> “Wuett… kaos baru, ya, Bang? Eh, gambar siape, nih? Kok palanye ampir botak kayak pala Upin ame Ipin, sih?” tanggap Upin sambil menekan tombol pause pada stiknya.<br /> “Itu, gambar Obama bin Sarden,” sahut Mamat mulai membaringkan tubuhnya di sofa.<br /> “Siapa, tuh, Bang? Lucu amat namenye, kayak makanan aje?” taya Upin.<br /> “Betul… betul… betul…” sambung Ipin.<br /> “Emang, ya, yang ada di otak Lu bedue cuman PS ame makanan doang.” <br /> “Ye, emang kite bedue kagak tau.”<br /> “Betul… betul… betul…”<br /> “Au, ah, gelap,” selonong Mamat melangkahkan kakinya menuju meja makan ditemani pandangan heran Upin dan Ipin.<br /><br /> ***<br /><br /> Kabar santernya rencana kedatangan presiden negara Tamengrika ke negeri Capernesia ternyata sudah menjadi obrolan pengganti gosip ibu-ibu saat belanja sayur. Mulai dari radio, televisi, koran sampai papan pengumuman di Pos Ronda Kampung Centeng penuh dengan gambar dan tulisan Obama bin Sarden. Sebenarnya siapa Obama, itu? Kenapa negeri Capernesia dan penduduknya, khususnya Kampung Centeng sibuk dengan obroan makhluk ini?<br /> Ternyata Obama bin Sarden yang presiden Tamengrika itu pernah tinggal di negeri Capernesia beberapa tahun. Dan kabar yang membuat warga Kampung Centeng merasa heboh, karena si presiden Tamengrika itu dahulu pernah sekolah di SD 01 Centeng. Terus, kenapa namanya mirip-mirip makanan kaleng? Menurut isu yang berkembang di Kampung Centeng, nama Obama bin Sarden itu membuming karena dia anak tiri dari warga Capernesia. Bapak tirinya Obama itu, Cang Kohar yang terkenal sebagai Pengusaha Sarden di Kampung Centeng nikah sama janda asing yang sudah memiliki anak, ya Si Obama kecil itu. Jadi, karena bawaan dari bapak tirinyalah Obama sering di sebut Obama bin Sarden waktu dia tinggal di Kampung Centeng.<br /> “Eh, Bu Mumun. Tau, nggak, saya lagi bingung, nih. Anak saya yang sekarang di kelas tiga, minggu depan di suruh gurunya pake pakean adat. Mana duit, lagi cekak banget. Duh, pinjem pakean adat di mana, ya?” curhat Mbak Karti, penjual sayur di Kampung Centeng.<br /> “Ye, malahan Upin ama Ipin di suruh ngerayu Babenye biar bise ngarak ondel-ondel pas Si Sarden itu dateng ke sekolenye.” Umpat Bu Mumun yang juga merasa risih. Bukan risih karena Si Upin dan Ipin manja meminta bapaknya agar bersedia mengarak ondel-ondel, tapi lebih risih karena kelakuan guru-guru SD 01 Centeng yang over acting.<br /> “Pusing… pusing… sebel, deh. Jaman lagi susah begini, anak saya malah disuruh beli lukisan bergambar siapa, tuh… eemm… Si Sa… Sa..” celoteh Bu Santi meuju ke arah Mbak Karti dan Bu Mumun.<br /> “Sarden,” sambar Mbak Karti<br /> “Nah, iya… Obama bin Sarden. Pusing… pusing…” celotehnya lagi sambil menjentikkan jari telunjuk ke keningnya.<br /> “Yah, bukan cuman Ibu yang pusing. Kita berdua juga jadi stress gara-gara begituan,” sahut Bu Mumun.<br /> “Ada apa, <span style="font-style:italic;">toh</span>, pagi-pagi udah puada ribut? Memangnya kenapa kalo Pak Sarden itu berkunjung ke sini, kan bagus. Negeri kita jadi tambah dikenal dunia. Bukan cuma karena isu terosisnya aja,” selonong Bu RT Kampung Centeng dari balik garasi.<br /> “Eh, Bu RT. <span style="font-style:italic;">Nganu, lho,</span> Bu. Gara-gara Pak Sarden mau dateng ke sekolah anak-anak. Kita-kita sebagai orang tua jadi bingung,” curhat Mbak Karti.<br /> “Bingung kenapa?” sambung Bu RT sambil memilih-milih sayuran di gerobak Mbak Karti.<br /> “Anak-anak kita jadi disuruh macem-macem, Bu. Pakai baju adat, lah. Beli lukisan juga. Belum lagi, ada yang di suruh beli cendera mata untuk Pak Sarden itu. Pusing… pusing…” tanggap Bu Santi.<br /> “Ya udah, Mbak Karti, anak-anak udah pada mau berangkat. Tolong diitung belanjaan saya. Biasa, catet dulu, ya. Mari, Bu Santi. Bu RT, saya duluan ya,” pamit Bu Mumun ke teman-teman gosipnya.<br /><br /> ***<br /><br /> Siang menyelimuti awan. Kabar akan kedatangan presiden Tamengrika menuai pro dan kontra di berbagai daerah. Hal ini menjadi topik berharga bagi pengusaha media massa dan elektronik. Kelompok yang mendukung kehadian Obama bin Sarden mengklaim bahwa kehadiran Obama akan meningkatkan hubungan bilateral yang baik antara Capernesia dan Tamengrika, dapat mengundang para investor untuk memajukan ekonomi Capernesia dan wibwaa negeri Capernesia dapat terangkat setelah isu terorisme di Capernesia.<br /> Sementara kelompok yang menolak kehadirian presiden Tamengrika itu berdalih bahwa kehadiran Obama bin Sarden hanya sekadar untuk mendapat dukungan dari pemerintah Capernesia agar perusahaan-perusahaan minyak dan gas Tamengrika bisa tetap mengeksploitasi sumber daya alam Capernesia. Kehadiran Obama hanya sebatas mengambil kesepakatan agar pemerintah Capernesia membuat kebijakan ekonomi yang liberal dan dapat menguntungkan pengusaha asing.<br /> Udara panas berdebu membuat warga Kampung Centeng enggan berlama-lama di dalam rumah. Mereka lebih memilih bersantai dan duduk di teras. Bu Santi tenang mengibas-ngibaskan kipas kecil ke wajahnya. Bu Mumun dan Pak Sanip tampak bergumam mengomentari selembaran dari Lurah Kampung Centeng untuk meningkatkan keamanan dan kebersihan lingkungan.<br /> “Salam likum…” sapa Upin dan Ipin langsung menyambar telapak tangan kedua orang tuanya.<br /> “Kum salam…” sahut ibunya.<br /> “Gimana, Be, bise kagak ngarak ondel-ondel di sekole Upin pas nyambut Pak Sarden entar?’ tagih Upin ke bapaknya.<br /> “Nyak, beliin Upin kaos yang ade gambar Pak Sarden-nye, dong. Masa, Bang Mamat dibeliin,” melas Ipin di samping ibunya.<br /> “Pulang sekole bukannye pade ganti baju, sono, malah pade ajag-ijig aje, Lu,” sela bapaknya.<br /> “Iye, sono. Ganti baju, terus makan,” pinta ibunya.<br /> “Tapi, bisa kan, Be?” rayu Upin.<br /> “Iye, Nyak, tapi entar beliin Upin kaos yang kayak Bang Mamat, ye.”<br /> “Hhh… Sarden, Sarden. Nape anak-anak Gue jadi pade rewel gini, ye?” gumam Pak Sanip…. <br /> Cahaya perak keemasan mulai condong. Suasa SD 01 Centeng riuh bergemuruh seperti ribuan lebah beterbangan. Tampak sekelompok siwsa-siswi berlatih paduan suara di pendopo sekolah. Sekelompok lain juga terlihat berbaris sambil mengibar-ngibarkan bendera Tamengrika dan Capernesia sambil melantunkan lagu-lagu perjuangan. Di beberapa kelas riuh rendah ocehan anak-anak berseragam biru-merah dan busana daerah bergerak gemulai mengikuti alunan lagu daerah yang dibimbing seorang koreografer sewaan SD 01 Centeng.<br /> Sesekali orang tua yang sedang menunggu anak-anaknya berlatih bersenda gurau dengan guru dan teman-temannya. Di sudut depan gerbang sekolah, tiga orang lelaki mulai menata prasasti Obama bin Sarden yang terbuat dari perunggu.<br /> “Gimana, Bu Fera, ada kendala dengan anak-anak?” Tanya Kepala SD 01 Centeng. Bu Fera, ali kelas 6A itu ditugaskan sebagai ketua pelaksana acara penyambutan kehadiran presiden Tamengrika ke SD 01 Centeng untuk mengenang masa-masa Obama bin Sarden ketika sekolah di sana.<br /> “Kalau anak-anak, sih, tidak ada kendala, Bu. Hanya saja, barusan saya lihat di TV kalau Pak Obama akan menunda kunjungannnya ke Capernesia,” keluh Bu Fera.<br /> “Hah, gawat, dong! Bisa batal acara yang kita nanti-nanti ini,” ulas Bu Yanti, Kepala SD 01 Centeng.<br /> “Ini baru kabar awal, Bu. Karena di tanggal itu, Pak Obama harus menyelesaikan dahulu tugas kenegaraannya di Zashington. Dan yang mengkhawatirkan saya adalah bila Pak Obama batal mengunjungi Capernesia,” tambah Bu Fera.<br /> “Terus, anak-anak bagaimana? Apa perlu latihan kita tunda juga? Kan kasihan mereka kalau ternyata Pak Obama batal ke Capernesia,” imbuh Bu Yanti.<br /> “Kalau menurut saya, biarkan anak-anak tetap berlatih sampai ada kabar resmi dari pemerintah kita,” jawab Bu Fera meyakinkan.<br /> “Ya, sudah. Saya akan segera kabarkan pada Kepala Dinas tentang berita ini,” ucap Bu Yanti tergesa-gesa menuju ruang kerjanya. <br /> <br /> ***<br /><br /> Kabar ditundanya kunjungan Obama bin Sarden ke Capernesia makin hangat diperbincangkan. Semua headline media massa dan elektronik mengangkat topik ini. Para pengamat dimintai pandangannya tentang hal itu. Isu-isu dan topik penanganan bencana alam dan kasus-kasus korupsi di Capernesia lenyap ditelan bumi. Hal ini membuat para pelaku korupsi kelas kakap dan pengambil kebijakan yang salah atas kelestarian lingkungan merasa diuntungkan. Karena isu tentang Obama memberi sedikit hawa segar bagi mereka untuk tidak diburu pekerja media dan aparat penegak hukum.<br /> Aksi massa pendukung dan penentang kunjungan presiden Tamegrika ke Capernesia makin bergejolak. Tidak sedikit aksi-aksi yang digelar tersebut menimbulkan bentrok dan jatuhnya korban di kedua pihak.<br /> “Upin... Ipin…” panggil Bu Mumun.<br /> “Iye, Nyak…” sahut keduanya segera menghampiri.<br /> “Tadi, Babe Lu bilang kalo die ame rombongan Gambang Kromong bise ngarak ondel-ondel di sekole Lu. Besok Lu kasih tau guru Lu, ye,”<br /> “Hore! Iye, Nyak entar Upin kasih tau guru Upin.”<br /> “Nih, Nyak beliin kaos Obama buat Lu bedue. “<br /> Malam mulai menidurkan diri. Upin dan Ipin segera merapikan alat-alat tulis dan perlengkapan belajarnya setelah beberapa jam mengerjakan tugas sekolah dan membaca-baca buku pelajaran esok hari. Lampu kamar mereka padamkan. Seulas senyum mengantarkan tidur mereka ketika matanya bertemu pandang dengan kaos baru bergambar Obama bin Sarden….<br /> Pagi sedikit sejuk. Kendaraan di Jalan Centeng Raya belum ramai. Celoteh anak-anak kecil meuju ke sekolah terdengar rendah. Teriak kecil Mbak Karti mengabari pelanggannya mulai terdengar. Satu persatu ibi-ibu rumah tangga memunculkan kepalanya menghampiri gerobak sayur Mbak Karti.<br /> “Upin… Ipin…” panggil Mamat.<br /> “Iye, Bang…” jawab keduanya bersemangat.<br /> “Entar tolong bilang guru Lu juge, ye. Bang Mamat ame temen-temen pemude Kampung Centeng siap dilibatin buat ngamanin Gambang Kromong di acare nyambut Pak Sarden di sekole Lu.”<br /> “Iye, entar Upin bilangin. Tapi bagi Upin ame Ipin duit, dong, Bang. Buat beli Cimol. Iye, kagak, Pin?” lirik Upin ke Ipin.<br /> “Betul… betul… betul…” setuju Ipin.<br /> “Ye… curang, Lu. Tekor, deh, Gue. Nih, gope-gope aje, ye,” sungut Mamat.<br /> “Otelah talo betitu… Iye udeh, Upin ama Ipin berangkat dulu, Bang. Salam likum…” cengir Upin dan Ipin.<br /> “Huuhh… dasar anak bocah! Kum salam.”<br /> Bel istirahat di SD 01 Centeng bersiul. Siswa-siswi tumpah ruah keluar kelas. Ada yang menuju lapangan berlari-lari sambil melempar bola. Sekerumunan lain bergerombol menuju kantin, dan sederet lain asyik bercanda di teras depan kelas.<br />Upin dan Ipin sedikit berlari kecil menuju ruang guru. Pesan ibunya tentang kabar bahwa Bapaknya siap untuk mengarak ondel-ondel segera ia sampaikan. Sedikit titipan Bang Mamat juga mereka selipkan dalam pesannya. Bu Fera tersenyum atas kesediaan bapak dan kakak mereka dalam mensukseskan acara penyambutan kunjungan Pak Obama bin Sarden ke sekolah mereka.<br /> “Baiklah. Sampaikan salam dan rasa terima kasih Ibu ke bapak dan kakakmu, ya. Nanti akan Ibu kasih undangan untuk rapat persiapan di sekolah,” perintah Bu Fera.<br /> “Iye, Bu.”<br /><br /> ***<br /><br /> Kabar kepastian kunjungan Obama bin Sarden ke Capernesia mulai terang. Melalui kantor kepresidenan, presiden Capernesia memberikan keterangan pers bahwa presiden Tamengrika akan bertolak dari Zashington ke Capernesia setelah menghadiri rapat anggaran kesehatan di gedung parlemen Tamengrika. Juru bicara Gedung Abu-Abu mengabarkan bahwa presiden Obama bin Sarden akan tiba di Jokorto, lusa minggu ini.<br /> Kabar kepastian itu mendapat sambutan meriah warga SD 01 Centeng. Mereka semakin memadatkan jadwal latihan acara penyambutan Pak Sarden. Sejumlah perusahaan catering di sewa untuk melayani tamu-tamu yang datang. Bangunan sekolah mulai disulap bagai istana. Guru-guru seolah tertiban durian runtuh karena mendapat fasilitas pakaian, konsumsi, dan ruangan sejuk. Berbeda dengan hari-hari biasa yang mengajar dengan fasilitas konsumsi, pakaian dan ruang belajar ala kadarnya. Semua berubah total seakan-akan kemiskinan di dunia pendidikan sudah usai dan akan terus sejahtera.<br /> Tak ingin ditegur Pemda DKI, Lurah Kampung Centeng mulai memamerkan keaktifannya untuk terjun langsung ke masyarakat. Bagai seorang pemimpin yang yang dekat dengan rakyatnya, Pak Lurah siap berkongko-kongko ria dengan masyarakat jelata membersihkan lingkungan.<br /> “Bapak-bapak… Ibu-Ibu… Mari kita bersatu menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan Kampung Centeng yang kita cintai ini…” celoteh basi Pak Lurah dalam membuka acara kerja bakti di lingkungan Kampung Centeng. Berbeda seratus delapan puluh kuadrat derajat dengan hari-hari biasa. Jangankan bertemu untuk mengurus surat-surat administrasi kependudukan, hanya sebatas bertegur sapa saja, Lurah Kampung Centeng tak tentu rimbanya ada di mana. <br /> Di berbagai pelosok negeri Capernesia aksi-aksi pendukung dan penolak kehadiran Obama bin Sarden semakin massif dilakukan. Seluruh kekuatan pertahanan dan keamanan Republik Capernesia disiapkan. Angkatan laut, darat, udara serta petugas-petugas intelijen disebar ke seluruh jengkal tanah negeri ini. Berkali-kali berbeda seratus delapan puluh ribu derajat bila dibandingkan saat puluhan pulau perbatasan Capernesia dicuri oleh asing. Lagi-lagi kekuatan lembaga pertahanan dan keamanan dimandulkan oleh keegoisan pemerintah negeri ini.<br /><br /> ***<br /> <br /> Hari yang dinanti menyapa di ujung mata. Obama bin Sarden tiba di Bandara Galim Pradana Kasuma Jokorto disambut langsung oleh presiden, wakil dan pejabat-pejabat Republik Capernesia. Lawatan perdana dimulai dengan makan siang bersama di Istana Presiden Republik Capernesia. Tampak senyum bangga seluruh hadirin yang berada di dalamnya. Dari luar istana terlihat anak kecil berpakaian lusuh pucat pasi mengais-ngais nasi bungkus sisa kemarin sore yang ia simpan untuk makan siang hari itu. Matanya sesekali memandang kosong gedung megah di seberangnya.<br /> Usai makan siang di istana, sebelum sore hari bertolak ke Pulau Bale, Obama bin Sarden menyempatkan diri berkunjung ke SD 01 Centeng untuk mengenang masa-masa kecilnya saat menuntut ilmu di sekolah itu. Didampingi presiden, wakil dan pejabat-pejabat Republik Capernesia, Obama tiba di SD 01 Centeng disambut Pemda DKI Jokorto dan Keluarga Besar SD 01 Centeng. Obama dikalungi bunga oleh perwakilan siswa-siswi SD 01 Centeng. Berbagai sambutan dipersembahkan. Mulai dari Gambang Kromong khas tradisi Kota Jokorto, tari daerah hingga hiburan dari Tamengrika pun dipamerkan.<br /> Warga Kampung Centeng yang sejak beberapa hari lalu bekerja keras meningkatkan keamanan dan kebersihan lingkungan hanya dapat menyaksikan kerumunan petugas keamanan di depan mereka. Mengharap untuk melihat wajah seorang yang katanya pernah tinggal di kampung mereka rasanya bagai memeluk gunung. Bagaimana melihatnya, mendekat saja mereka tak diizinkan. Sungguh sebuah ironi masyarakat pribumi yang selalu tertindas hak-haknya.<br /> Beranjak setelah pidato sambutan Gubernur DKI Jokorto. Obama dipersilahkan untuk memberikan pidato motivasi kepada Keluarga Besar SD 01 Centeng. Dengan Bahasa Capernesia yang sedikit masih diingatnya, Obama berbicara di podium,<br /> <span style="font-style:italic;">“Shelhamhat shiahng, ahnhak-ahnhak… Ahpha khabharr…?”</span> ucap Obama disambut tepuk tangan dan riuh kegembiraan siswa–siswi dan keluarga besar SD 01 Centeng.<br /> <span style="font-style:italic;">“Shalhahm shejahthehrha uhnthuhk khitha shemhuah. Shayhah uhchaphkhan thehrhimah khahshih ahthashs shahmbhuhthan khahlhiahn shehmhuah. Shahyha mhehrhahshah bhangghah dhehnghahn Shehkholah ihnhih Khahrhehna shahyha phehrnhah mhehnhunhtuth ihlmhuh dhih shihnhih.<br />Khehdahthahnghahn shahyha khe shihnhi ahdhahlhah uhnthuhk mehnjhahlhihn huhbhuhnghahn yhangh lhehbhih bhahikh dhehnghahn Chahphernhehshiah… Khahmhi, Thahmhenghrwhihkhah, ihnghihn mehnjhahlhihn khehrjhahshahmhah yhahngh dhhphath mhehnghinghkhahthkhan khehshejhahthehrhahanhn bhahghih khihthah shehmhuah….”</span><br /> Tepuk tangan terus mengiringi kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut presiden Tamengrika itu. Warga Centeng hanya bisa mendengar sayup-sayup suara tepuk tangan dari luar kawasan SD 01 Centeng.<br /> Seorang pedagang kelontong di pinggir Taman Centeng duduk termenung sambil mendengar radio kecil kesayangannya, menunggu pembeli yang sudi mampir di warungnya. Matanya tertuju pada patung kecil Obama bin Sarden yang berdiri di salah satu sudut taman itu. Dari radio kecilnya terkabar berita bahwa ratusan warga Republik Capernesia yang tinggal di sekitar perusahaan penambangan emas milik Tamengrika meninggal akibat busung lapar dan kemiskinan. <br /><br /><br /> <span style="font-style:italic;">Cirendeu, 16 Maret 2010. Pukul 02:04 </span>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-71604742004125662912010-04-16T21:01:00.000-07:002010-04-16T21:07:58.161-07:00Jangan Kau Tanya Lagi!Malam makin larut. Seorang ibu masih duduk setia di samping anaknya yang mulai menginjak usia dewasa. Dipandangi wajah anaknya seraya membelai kepala anak itu penuh kasih.<br /> “Kamu sudah dewasa, Nak” ucap ibunya santu.<br /> “Iya, Bunda. Terima kasih Bunda telah mengasihi saya sejak kecil,” balas anaknya.<br /> “Tak perlu kamu megucapkan itu, anakku. Itu sudah menjadi tanggung jawab seorang bunda”<br /> “Tapi, Aku belum bisa membalas kasih sayang Bunda,” sambut anak itu sambil membaringkan kepala di pundak ibunya.<br /> “Bunda hanya ingin mulai saat ini kamu bersedia memakai jilbab setiap kamu keluar rumah anakku. Kamu sudah dewasa,” pinta ibunya.”<br /> “Aku tidak mau, Bunda. Aku malu dengan teman-teman dan orang-orang di sekitarku.”<br /> “Kenapa harus malu anakku? Katanya kamu ingin membahagiakan Bunda?”<br /> “Pokoknya, Aku tidak mau,” anak itu meninggalkan ibunya seraya menangis. Ibunya hanya menunduk pasrah.<br /><br /> ***<br /><br /> “Bu Ustadzah, Saya bingung dengan sikap anak saya,” tanya ibu dari anak itu kepada seorang Ustadzah yang baru dikenalnya.<br /> “Saya ingin anak saya memakai jilbab, karena dia sudah dewasa. Tapi, keika saya perintah dia untuk pakai jilbab, dia malah tidak mau.”<br /> “Sebaiknya ibu beri tahu lebih sabar lagi. Katakan bahwa menutup aurat itu wajib bagi anak yang sudah dewasa,” jawab Ustadzah penuh perhatian<br /> “Anak saya belum bisa menerima ujaran saya sejak saya ungkapkan hal itu padanya,” cerita sang ibu ingin mendapat tausiyah. Sang ibu mulai meneteskan air mata. Melihat orang yang baru dikenalnya seperti itu, Ustadzah merasa iba dan ingin memberikan perhatian yang lebih bermanfaat.<br /> “Kalau begitu, sudilah ibu mengajak anak ibu ke rumah saya. Mungkin saya bisa memberikan masukan yang dapat membuat anak ibu lebih terbuka,” saran Ustadzah.<br /> “Baiklah, Ustadzah,” tanggap sang ibu.<br /> “Nih, kartu nama saya. Saya tunggu besok jam lima sore, ya!”<br /><br /> ***<br /><br />Sore menunjukkan pukul tujuh belas. Ustadzah duduk di ruang tamu rumahnya sambil membaca-baca buku tentang mendidik anak. Sejak satu jam lalu dia membuka-buka halaman buku itu. Ustadzah tak ingin mengecewakan sang ibu yang baru dikenalnya. Saat konsentrasinya membaca-baca buku di hadapannya mulai terasa, bel pintu rumahnya berbunyi.<br /> “Assalamu alaikum, Bu Ustadzah,” ucap sang ibu di dampingi anaknya ketika Ustadzah membukakan pintu untuk mereka.<br /> “Maafkan kami bila terlambat, Bu Ustadzah,” ulas sang ibu sambil memandang anaknya.<br /> “Wa alaikum salam. Ahh, tidak apa-apa, Bu. Lho, mana anak ibu yang kemarin ibu ceritakan pada saya itu?” tanya Bu Ustadzah santun.<br /> “Ini anak saya yang saya ceritakan kemarin, Bu Ustadzah,”jawab sang ibu sambil membelai kepala seorang anak lelaki lugu yang beranjak dewasa.<br />Sambil Beristighfar, Bu Ustadzah menutup kembali pintu rumahnya dan masuk ke dalam tanpa pamit pada sang ibu dan anak lelakinya. Sang ibu dan anak lelakinyanya saling berpandangan.heran. <br /><br /><br /><br /> <span style="font-style:italic;">Cirendeu, 17 Maret 2010, ba’da maghrib</span>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-5608598183790412482009-12-31T22:13:00.000-08:002009-12-31T22:23:35.465-08:00Kado Tahun Baru<div style="text-align: justify;"> “Mak, besok Udin ikut Emak bersihin taman, ya?”<br /> Tangan lelaki yang seharusnya duduk di kusri taman kanak-kanak itu menggelayuti sepeda butut yang baru saja di pakai ibunya sepulang dari kawasan Taman Monas. Seorang wanita kecil berpakaian kusam seusia di bawah lelaki itu ikut membuntuti sambil melepas sapu lidi dan bak sampah seukuran belahan ember kecil.<br /> Ibunya membelai kedua anak yang sehari-hari ia tinggalkan di rumah saat dirinya pergi bekerja sebagai buruh petugas kebersihan Taman Monas untuk menghidupi kehidupan diri dan kedua anaknya. Suparti adalah janda dari dua orang anak. Mendiang suaminya yang juga buruh petugas kebersihan Pemda DKI Jakarta sudah dua tahun meninggalkannya. Sebelumnya mereka tinggal di kawasan Jakarta Timur. Namun karena wilayah tempat mereka tinggal akan dijadikan proyek Banjir Kanal Timur, mereka diminta untuk pindah dari rumah mereka saat itu. Sebelumnya Pemerintah Daerah Jakarta Timur berjanji akan mengganti rumah dan tanah mereka dengan bangunan utuh di sebuah daerah yang belum jelas letaknya. Entah alasan apa, setelah keluarga mereka menandatangani kesepakatan bersama, Pemda DKI Jakarta belum juga memberikan tempat tinggal yang layak. Mereka sempat tinggal di berbagai kolong jembatan hingga akhirnya sekarang terdampar di pinggiran kawasan rel kereta Johar Baru. Terakhir Suparti mendengar kabar bahwa makam suami dan ayah dari kedua anaknya telah digusur dan dipindahkan entah di mana, karena proyek Banjir Kanal Timur mulai diperluas.<br /> “Ngapain Lu ikut Emak, nanti yang jagain si Wati siapa? Kan dia masih kecil?”<br /> “Ya, Wati di ajak aja sekalian, Mak,” balas Udin sambil menyenderkan sepeda tua ibunya ke tembok depan rumah.<br /> “Udah, ah. Yuk, masuk. Udah sore, tuh, pada mandi sono. Entar abis mandi kita makan. Nih, Emak udah beli nasi bungkus,”<br /> Suparti duduk sebentar di kursi kayu reot. Matanya sesekali melihat kawanan anak-anak kecil berebut mainan bekas di pinggir rel. Berisik. Bising lalu lalang kendaraan bermotor. Setiap waktu memang keadaan seperti itu tak akan hengkang dari kawasan kumuh piggir rel Johar Baru. Pagi, siang, sore, tengah malam pun hingar bingar suasana kaum marjinal tetap menyelimuti.<br /> Bayangan sosok suaminya terkadang muncul tiba-tiba sekelebat dalam pikirannya. Suparti hanya menarik napas dalam-dalam. Sedikit sesak. Mungkin ia merasa getir untuk mengenangnya.<br /> Azan maghrib terdengar samar beradu dengan rongrongan bus-bus kota. Bayang-bayang mega menyelinap dari balik wilayah Barat langit. Suparti mengeja langkahnya untuk membersihkan diri dan melaksanakan shalat.<br /> “Mak, boleh, ya, Mak. Udin mau kerja kayak Emak biar bisa sekolah,” pinta Udin mengulang.<br /> Suparti yang baru saja membaringkan badannya untuk istirahat malam memandang kosong langit-langit papan bertambal plastik rapuh. Akhir-akhir ini Udin sering meminta diizinkan untuk ikut membantunya membersihkan Taman Monas karena ingin sekolah. Tatapannya bertambah kosong diiiringi napas berat putri kecilnya yang sudah terlelap beralas tikar kusam.<br /> “Nanti aja, ya, Din. Lu, kan masih kecil. Emak kagak tega ngeliat Lu panas-panasan di sono,” Suparti mengeja pikiran Udin yang sejak beberapa hari menunggu jawaban dari mulut ibunya.<br /> “Udin pengen sekolah, Mak,” lirihnya pelan sambil menarik kain sarung menutupi seluruh tubuhnya. Entah apa yang dipikirkannya menjelang tidur malam itu. Mungkin isi hatinya sedih. Tapi rasanya ia malu untuk sedikit menangis di sampng ibunya. Usianya memang belum seberapa. Tapi ia sudah mampu merasakan beban ibunya yang berpeluh keringat mengurusi kehidupan ia dan adiknya. Matanya sedikit-sedikit terpejam berbenturan dengan getaran-getaran yang dilalui ular besi di luar sana.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /> Angin dingin di waktu fajar menusuk bagian dalam tubuh. Suparti beranjak dari istirahatnya menuju kamar mandi untuk mencuci pakaian kemudian memasak sarapan pagi dan makan siang anaknya nanti saat ia tinggalkan bekerja. Menghidupi kedua anak tanpa pendamping memang gamang dijalankan oleh Suparti. Mungkin ia ingin mengeluh, berteriak atau mengumpati kehidupannya. Tapi bagi Suparti yang sadar dan selalu ingat dengan pesan suaminya semasa hidup, bahwa seberat apa pun kehidupan ini, pasti ada nilai tambahnya bila kita selalu berusaha dan bersabar.<br /> Ya, usaha dan sabar memang dua kata yang sepertinya selalu dipegang kuat oleh Suparti. Meski ujian demi ujian ia terima. Dia sudah mampu membuktikan perkataan suaminya selama ia dtinggalkan olehnya. Hingga saat ini ia mampu bertahan menghidupi kedua anaknya dengan pekerjaan sebagai buruh petugas kebresihan. Pekerjaan yang sepertinya jarang dipandang atau untuk dibicarakan sekalipun dalam kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta.<br /> Azan shubuh memanggil. Suparti bergegas merapihkan pekerjaan rumahnya. Selepas shalat, segera ia kayuh batangan besi tua beroda dua menuju kawasan Taman Monas. Butiran-burtiran keringan dingin mulai bermunculan dari tubuhnya. Setengah perjalanan ia lalui. Iringan-iringan kendaraan umum mulai menampakkan diri. Suparti mengayuh sepedanya secepat waktu. Namun tetap saja waktu itu menatap risau pada Suparti yang mengejar harapan lepas sejauh melepas kepergian suaminya.<br /> Dia senderkan sepadanya di balik pohon tua kawasan taman. Dia susuri sampah-sampah di taman seluas ratusan kali lapangan tenis itu. Keringat, peluh, bayang-bayang kuning keruh berulang kali menyapanya. Selembar, sekotak hingga berjumlah beberapa mobil pick up sampah ia masukkan ke dalam mobil sampah Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Kelincahannya beradu asa dengan buruh laki-laki yang senasib dengannya. Beberapa mata iba memandang dari dalam mobil mewah yang melintasi jalan di sekitarnya. Entah sudah berapa ribu kali tatapan iba itu ia dapatkan dari orang-orang yang memandangnya.<br /> Sekelompok burung kecil berteriak riang sambil mematuk-matuk butiran-butiran biji rumput di sekelilingnya. Hatinya sedikit tersenyum karena burung-burung kecil itulah yang setia menghibur disaat-saat setengah kelelahannya muncul.<br /> Matahari mulai beranjak sedikit ke atas kepala. Kadang awan putih menutupinya beberapa saat. Suparti masih menunduk dan menajamakan pandangannya pada sampah-sampah yang berserakan. Semangatnya tetap ada untuk mencintai pekerjaan itu. Dia kayuhkan sapu. Mengumpulkan berbagai jenis sampah dan memansukkannya pada mobil berwarna kuning yang setia mengikutinya.<br /> Saat bulatan perak di langit mulai menggeser sedikit teriknya dari atas kepala, berkali-kali ucapan anak putranya menyentuh pikiran lelahnya. Sesekali hilang berpendar saat burung-burung kecil menghiburnya. Secara tiba-tiba muncul kembali saat galau ia rasakan.<br /><br /><span style="font-style: italic;"> Bukan Emak nggak mau nyekolahin Lu, Din. Tapi emang Emak saat ini belon mampu. Kalo aja bapak Lu masih ada, pasti Emak ama Bapak bakal nyekolahin Lu bareng-bareng Wati…Lu belon saatnya ikut kerja, Din. Maafin Emak, ya…</span><br /><br /> Sore kembali berpendar. Suparti tiba di rumah seperti biasa. Biasa karena tidak ada acara sambutan pembantu pada majikannya. Apalagi tawaran untuk mencicipi minuman dan hidangan yang serba nikmat. Biasa karena Suparti memang buruh petugas kebersihan. Buruh yang dalam jasanya tidak pernah tersentuh pujian dari kalangan manapun. Buruh petugas kebersihan yang selalu ramah menjaga kebersihan taman kota dari sampah-sampah yang berserakan sisa keceriaan orang-orang berada yang berkunjung ke taman itu.<br /> “Mak, si Mina dibeliin terompet sama emaknya,” teriak Wati menyambut tangan ibunya manja.<br /> Entah apa maksud Wati. Tapi Suparti memahami bahasa anak putrinya. Memang, besok malam seluruh warga di pelosok bumi akan merayakan malam pergantian tahun. Malam-malam yeng dilewati dengan suka cita oleh orang-orang yang berlebihan harta. Bagi Suparti, rasanya semua malam tak ada yang istimewa. Terlebih sejak ia dan kedua anaknya dengan hati perih harus meninggalkan rumah miliknya di Jakarta Timur karena proyek Banjir Kanal Timur yang menggusur banyak rumah penduduk tanpa status ganti rugi yang pasti.<br /> “Iya, doain Emak biar bisa beli terompet buat Wati ama Bang Udin, ya,” belai rindu Suparti di kepala putrinya.<br /> “Wah, Bang Udin, Emak mau beliin kita terompet, Bang,” teriak senang Wati mengarah ke wajah kakaknya yang sedang menuntun sepeda. Wati menggandeng tangan dan mengikuti ibunya masuk ke dalam.<br /> Di depan rumah, Udin tampak memandang ke arah kerumunan pedagang kaki lima di seberang jalan. Tatapannya memulas awan yang mulai kemerahan disapu kemilau mega. Bayang-bayang memakai baju sekolah dan belajar di kelas masih menerawang di benaknya.<br /> “Din, udah sore. Mandi sono!” belai manis tangan Suparti menyentuh pundak putranya.<br /> “Ehh… iya, Mak,” Udin sedikit terkejut dari tatapan kosongnya. Dia angkat tubuhnya ke dalam menuruti perintah ibunya. <br /> Pandangan Suparti mengantar punggung anaknya. Berganti dia yang termenung di depan rumah. Tatapan kosong matanya mengikuti jejak tatapan kelabu putranya beberapa detik lalu. Lama ia arahkan matanya ke sepeda tua milik almarhum suaminya. Beberapa kenangan manis melintas dalam benaknya saat pergi bekerja membersihkan taman, suaminya selalu memboncengi Suparti. Sekejap ia mencoba untuk menanggalkan, tapi usaha itu sia-sia ketika pandangannya kembali menyapa sepeda tua di sampingnya.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /> Malam itu sekelompok orang tampak bergembira. Anak-anak, tua-muda, laki-laki dan perempuan berseru senang sambil meniup terompet tanda bergantinya tahun. Wati dan Udin yang baru bisa memejamkan mata beberapa waktu lalu sedikit terganggu dengan riuh gembira suara terompet dan letupan mercon yang membumbung membelah tengah malam. Suparti yang saat itu belum mampu memejamkan kedua matanya mencoba menengarai gerak-gerik kedua anaknya yang tampak terkejut mendengar berulang kali ledakan mercon. Dia usap tubuh kedua anaknya agar tidak terbangun. Dia selimuti kedua anaknya agar tak dijahili nyamuk malam itu.<br /> Riuh gemuruh bising terompet dan luapan mercon semakin menggema. Semakin bertambah kegelisahan kedua anaknya yang mulai terlelap istirahat. Suparti mencoba untuk memeluk kedua anaknya agar tak terbangun. Riuh gemuruh terompet mengingatkan wajah Wati dan Udin yang berharap mereka dapat meniup terompet juga malam ini.<br /> Napas Suparti sedikit tersentak. Butir-butir dingin sedikit menetes dari kelopak matanya. Semakin dia mencoba untuk menahan, bayangan wajah kedua anaknya semakin menambah berat air mata di kedua kelopaknya. Dia biarkan menetes. Air matanya terus menetes seiring riuh gemuruh terompet dan letupan mercon malam itu.<br /> Gemuruh terompet dan letupan mercon mulai mereda. Buliran-buliran bening yang mengalir dari kelopak Suparti ikut terhenti. Kembali ia peluk kedua anaknya erat-erat hingga malam semakin hening.<br /> Hawa menjelang shubuh memaksa Suparti untuk bangun dan mengambil air wudhu. Berdiri tahajud dan witir membantu dirinya menghilangkan kesedihan. Dia angkat kedua tangannya untuk mengiba pada zat yang telah memberinya kekuatan.<br />Selepas shubuh. Dia ayunkan dirinya bersama sepeda tua yang setia membawanya. <br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br /> Siang semakin memeras keringat. Peluh keringat Suparti membasahi sekujur tubuhnya. Satu liter air putih yang sudah ia teguk belum mapu menghilangkan dahaga. Ratusan kubik sampah sisa peringatan parayaan malam tahun baru belasan jam yang lalu baru setengah dirampungkan. Suparti dan belasan buruh petugas kebersihan Taman Monas siang ini bermandi keringat. Bagai merindukan bulan untuk ikut merayakan pergantian tahun. Hanya kubikan sampah yang harus mereka bersihkan yang didapat.<br /> Dengan lemah lunglai Suparti terus mengumpulkan tumpukan sampah kemudian memasukkannya ke mobil Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Detik demi detik berubah dengan bergesernya bola terik di bawah langit. Keseimbangan kedua kakinya sedikit tak terarah. Bayangan kunang-kunang bertebaran mengganggu pandangannya. Sisa-sisa sampah mulai rampung dibersihkan. Napasnya sedikit reda karena tanda berakhirnya tumpukan sampah mulai terlihat. Napasnya mulai menghempas luas setelah pandangannya menyusuri seluruh kawasan Taman Monas bersih dari kubikan sampah sisa peringatan tahun baru semalam.<br /> Suparti mencoba untuk meneduhkan dirinya di bawah pohon rindang. Dia kibas-kibaskan topi lusuhnya ke arah wajah. Sebotol air putih dia alirkan ke tenggorokannya yang mulai kering. Satu persatu percikan keringat yang membasahi sekujur bajunya mulai tertiup angin sore memberi rasa sejuk. Pekerjaan hari ini rampung ia sudahi.<br /> Bayangan pohon mulai lebih panjang dari aslinya. Suparti menyegaja bangun dari istirahanya berjalan ke arah sepeda yang bersender di bawah pohon rindang. Sinar hangat mentari sore mengikuti punggungnya. Dia kayuh sepeda sekuat asa agar segera bertemu dengan kedua anaknya. Sesampainya di depan rumah, kedua anaknya sedang asyik bermain di dekat rel. Dengan wajah sedikit bercahaya dia sandarkan sepeda tuanya ke dinding tembok dan mengambil dua buah benda dari sadel jok belakang sepeda.<br /> “Udin… Wati… sini!” senyumnya mengembang sambil menunjukkan dua buah benda kepada anak-anaknya.<br /> “Horeee… Bang Udin, tuh, Emak bawa terompet,” Wati memanggil abangnya yang tidak menyadari kehadiran ibunya. Keduanya berlari ke arah ibunya.<br /> “Nih, tadi waktu Emak bersihin taman, banyak terompet berserakan,” tanggap Suparti melihat kegembiraan kedua anaknya.<br /> Udin dan Wati bergegas mengambil terompet yang sudah tampak hilang hiasan dan sedikit robek di ujung kartonya. Keduanya saling meniupkan terompet tersebut ke arah wajah mereka masing-masing. Sejurus kemudian, keduanya berlari ke arah kerumunan teman-teman bermainnya. Pandangan uparti kemblai berbenturan dengan sepeda tua yang bersandar di tembok depan rumahnya.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-style: italic;">Pukul 23:28, akhir Desember 2009</span><br /></div><br /> <br /> <span style="font-weight: bold;">Herwin</span><br /></div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-38365171344349777752009-12-31T22:06:00.000-08:002009-12-31T22:12:55.600-08:00Seulas Harapan<div style="text-align: left;"> Angin pagi berhembus menyapa setiap ruang di sudut taman SMAN 2 Ciputat. Kicau burung dan sesekali hempasan daun saling bergesekkan membuat suasana semakin sejuk. Jarun jam bertengger di 06.15 Waktu Indonesia Ciputat. Dengan langkah berirama tampak terlihat wajah cerah dengan penuh semangat menuju kelas yang berjarak dua puluh langkah kaki balita di sebelah Masjid Baitul Ilmi.<br /> “Barisan mujahid melangkah ke depan, tanpa rasa takut menghalau rintangan… “ sambil melantunkan lirik nasyid, Maulana menghempas semua kegelisahannya. Maklum, semalam penuh dia menyelesaikan pekerjaan rumah, “Assalamu alaikum…” ucapnya ketika masuk kelas yang masih kosong dan penuh sampah berserakan. Tangannya segera melepas tas warna biru yang tertera Tulsan Adimas ke atas meja. Kebetulan hari ini giliran dia tugas piket kelas. Dengan langkah pasti ia mengambil sapu dan membersihkan kelasnya.<br /> “Uhh… udah jam setengah tujuh gini, kok bocah-bocah belon ada yang nongol juga, sih?” tegasnya dengan nada heran. Segera ia kembali ke tempat duduknya. Ketika ia sedang membaca HANIF, dengan terburu-buru seorang temannya berlari mendekati.<br />“Wah, gawat, nih, Gua belon ngerjain PR MTK, Ul,” tegas Arif, temen seperjuangan Maul, panggilan akrab Maulana, saat latihan sepak bola.<br /> “Woii… jangan seradak-seruuduk gitu, dong! Kayak banteng abis minum Exstra Joss, aja, Lu.”<br /> “Ul, Gua liat PR MTK, dong. Lu pasti udah ngerjain, kan?”<br /> Maul merasa kasihan dengan temannya. Tetapi kalau dikasih tahu, itu bisa berakibat fatal bagi Arif. Maksudnya bisa membuat dia malas. Sambil diam sejenak, Maul mencari strategi untuk mengalihkan pembicaraan temannya.<br /> “Eh, Rif, entar mau ikut, gak?”<br /> “Ke mana?”<br /> “Mentoring di Masjid BI”<br /> “Mentoring tuh apaan, sih, Ul?”<br /> “Mentoring, tuh, ngobrol-ngobrol ringan yang ngebahas semua kehidupan kita supaya sesuai sama ajaran Islam, dari kita tidur, bangun sampe kita tidur lagi.”<br />Sambil berfikir, Arif berucap, “Boleh juga, tuh. Tapi, Gua, kan belon lancar baca qur’an, Ul”<br /> “Udah, sekarang Lu mau ikut kagak?”<br /> “Iya, dah, Gua ikut. Tapi tungguin, ya!”<br /> Bel masuk berdering. Kebetulan jam pelajaran pertama pas Matematika. Arif bingung bukan kepalang, seperti nelayan yang sedang mencari jarum di dasar laut. Guru bidang studi pun menanyakan tugas rumah. Arif semakin bingung campur tegang, deg-degan, takut kalau di suruh maju. Sebenarnya Arif termasuk siswa yang pandai. Hanya saja, dia tertidur karena kelelahan pulang larut malam selepas latihan sepak bola, sehingga tidah sempat mengerjakan tugas rumahnya.<br /> “Ya Allah… mudah-mudahan PR-nya nggak dikoreksi sekarang…” dengan nada pasrah, Arif memohon pada Tuhan-nya. Padahal selama ini dia jarang mengingat Tuhan-nya. Mungkin karena Tuhan-nya masih sayang dengan Arif, tidak diduga guru tersebut langsung menjelaskan materi pelajaran baru.<br /> “Alhamdulillaaaahhh… ya Allah terima kasih,” tandas Arif.<br /> <br /><div style="text-align: center;">***<br /></div></div><br /><div style="text-align: justify;"> Waktu istirahat tiba. Arif duduk termenung melihat siswa-siswi lain ada yang menuju ke masjid BI. Dengan perasaan heran ia menyelidiki siswa-siswi yang hendak melaksanakan shalat dhuha. Hati kecilnya berkata, “Duuhh… bener-bener kurang bersyukur, Gua. Kalo susah Gua inget Allah, kalo seneng Gua lupa. Astaghfirullaahhh…”<br /> “Rif, ngapain, Lu, bengong di situ? Nggak ada kerjaan, apa?”<br /> “Ul, bocah-bocah bisa, yah, rajin shalat Dhuha? Padahal, bocah-bocah yang lain lagi asyik di kantin, tapi kok mereka kayaknya khusyuk banget, sih?”<br /> “Rif, mereka juga lagi asyik nikmatin istirahat, kok. Cuma caranya aja yang beda. Mereka nggak cuma mau nikmat makan-minum, tapi lahir batin, Cui”<br /> “Kok asyik, Ul. Emangnya ada apaan di sana?”<br /> “Rif, setiap orang punya harapan yang pengen dia capai bukan dengan kenikmatan sesaat”<br /> “Maksud, Lu, apaan sih, Ul”<br /> “Maksud Gua, mereka rindu Tuhan-nya yang udah ngsih macem-macem nikmat buat mereka. Makanya mereka mau nginget-Nya dalam keadaan senang atau susah, Rif”<br /> Arif merasakan betapa salahnya dia kepada Tuhan-nya. Kalau saja di sampingnya tidak ada Maulana, sebenarnya dia ingin menangis menyadari dirinya yang jauh menginat Tuhan-nya.<br /> “Ul, mulai hari ini Gua mau ikut mentoring, ah. Gua mau belajar lebih dalem, Ul tentang makna hidup”<br /> “Sama-sama, Rif. Semoga Allah tetep ngasih kita keteguhan di jalan-Nya, Rif”<br /> Beberapa siswa yang mendengar ketulusan Arif tersenyum dan bersyukur sambil melanjutkan wudhu hendak menunaikan shalat dhuha.<br /></div><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-style: italic;">Latihan nulis cerita saat SMA</span><br /></div><br /><br /> <span style="font-weight: bold;">Herwin</span>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-26791535371855142512009-12-17T20:07:00.000-08:002009-12-17T20:11:53.549-08:00Malam ItuBeribu bintang tersenyum<br />Karena rembulan setia menyinari<br />Tapi gumpalan awan tampak termenung<br />Memandangi sekelompok anak menangis di bawah sana<br /><br />Mereka menangisi massa depan mereka<br />Yang diperkosa oleh Koruptor durjana<br />Mereka menangisi Skandal Century dari balik jeruji besi<br />Hanya karena sebutir nasi<br /><br />kadang mereka sedikit tersenyum<br />Karena malam itu<br />Kami berkarya dengan prestasi<br /><br /><br /> <span style="font-style: italic;">Sukses untuk FFI 2009</span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;"> Herwin</span>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-26633269100425529922009-12-09T22:03:00.000-08:002009-12-09T22:24:24.103-08:00Senyum Gundah Mas Indra<p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"> Sejak saat itu kekhawatirannya mulai datang. Dimasa aku sedang hamil tiga bulan.<br />“Ma, kamu siap untuk menjaga si kecil ?” perasaan iba terlihat jelas dari raut wajahnya yang bersih.<br /> Suamiku memang seorang lelaki yang penuh perhatian dengan istri. Selama setahun kami menikah, beliau selalu menjaga dan membimbingku. Namun, akhir-akhir ini dia sering termenung akan keadaanku yang baru mengandung anak pertama.<br /> “Mas, tadi ada surat dari kantor,” kutunjukkan padanya dengan hati-hati. Dia membuka amplop surat itu lalu membacanya.<br /> “Yah… jadi, Ma!” diletakkannya surat itu ke atas meja. Kembali raut wajahnya menyiratkan kecemasan.<br /> “Lho, memangnya kenapa kalau jadi berangkat, Mas ?” selaku mencoba untuk mengurangi kerisauannya.<br /> Mas Indra adalah seorang wakil direktur sebuah perusahaan besar yang memegang saham terbesar di kota Jakarta. Direkturnya meminta ia untuk menemaninya dalam pertemuan dengan pengusaha mancanegara di salah satu negara adidaya. Aku mengerti betapa berat hatinya meninggalkanku selama sebulan.</p><p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"> “Mereka bangsa serakah dalam berbisnis, Ma,” keraguannya muncul dengan perusahaan-perusahaan di sana.<br /> “Diminum dulu tehnya,Mas!” kusodorkan segelas air hangat untuk membuka pikirannya. Sebenarnya aku pun ragu dengan keberangkatan Mas Indra. Tapi aku tidak ingin melihat suamiku bimbang hanya karena aku sedang mengandung. Aku tahu bahwa ini adalah fitrah yang diberikan oleh-Nya kepada seorang wanita.<br /> “Mas, bukankah perusahaan sudah memberikan tugas kepada Mas untuk dilaksanakan?” kucoba untuk menjadi sahabatnya dalam berbagi masalah.<br /> “Bukan Mas ingin melanggar tugas, Ma,” kekecewaanya terlihat lebih dalam. “Mama lihat, apa yang sudah dikukan perusahaan asing pada bangsa ini?”<br /> “Mama tahu kok, bahwa perusahaan asing lebih banyak mendapatkan keuntungan dari negara kita.”<br /> “Terus, Mama ingin kalo selamanya kita dibodohi?”<br />Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan membiarkan ia untuk berpikir….<br /> “Tuh, kan, Mas bilang juga apa? Mama harus banyak istirahat!” ungkapan keluhnya tepat tertancap dalam benakku. Sudah kurasakan beberapa hari ini mual perutku semakin menjadi. Apakah sama yang dirasakan orang tuaku saat mengandungku dahulu? Namun hal ini tak ingin kutunjukkan pada suamiku. Sebab aku khawatir bila ia benar-benar tidak jadi untuk berangkat.<br /> “Ya sudah, Ma, besok Aku minta dibatalkan untuk berangkat ke sana,” keputusan yang dikatakan pada saat ia bimbang menambah rasa gelisahku untuk terus memotivasinya.<br /> “Mama nggak apa-apa kok, Mas. Ini memang sudah menjadi kebiasaan pada seorang istri yang hamil pertama kali,” kutunjukkan rasa semangatku kepadanya agar ia percaya bahwa aku benar-benar siap untuk menjaga kandunganku selama ia bertugas di luar. Mas Indra mengusap perutku dan menuntunku untuk duduk di ruang tengah.<br /> “Sudahlah, Ma. Di kantor masih banyak sahabatku yang bisa menggantikan.”<br /> “Lho, Mas kan sebagai wakil direktur, pastilah Mas yang memiliki kelebihan dibandingkan kawan-kawan Mas di kantor,” kuletakkan kepalaku dibahunya. Terasa sekali kasih sayangnya. Aku tetap akan memotivasi dirinya. Meski ia berpikir bahwa selama ini bekerja sama dengan perusahaan asing lebih menguntungkan mereka.<br /> Mas Indra sangat perhatian terhadap masalah sekecil apapun. Terlebih ketika terjadi pembantaian yang dilakukan bangsa adidaya dan sekutunya kepada rakyat Irak. Suamiku tahu bahwa salah satu sponsor yang mendukung pembantaian di sana dan beberapa negara lainnya adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanya. Dia tidak rela sepeser pun uang hasil kerja sama dengan perusahaannya digunakan untuk membeli senjata bagi tentara adidaya dan sekutunya dalam membuat makar yang lebih besar.<br /> “Mama tenang aja, Mas akan buat surat izin kepada direktur agar Mas diizinkan tidak ikut berangkat.” Kepalaku terasa pusing dan rasa mual kembali menyerang tubuhku. Seketika itu keringat dingin keluar dari tubuhku dan wajahku tampak pucat.<br /> “Tuh, kan, Mama belum siap kalo Mas tinggal ?” tangannya merangkul dan menuntuku ke kamar. Kurasakan kekhawatirannya semakin tampak bahwa ia benar-benar tidak tega meninggalkanku. Kubaringkan tubuhku yang lemah dan kupejamkan mata untuk istirahat. Dia menyelimuti dan menciumku sebelum kembali ke ruang tengah.<br /><br /> ***<br /><br /> Kuhirup udara segar pagi ini. Kugerak-gerakkan tubuhku agar staminaku tetap terjaga walau sedang mengandung.<br /> “Hiruplah, anakku ! Betapa udara pagi amat sejuk. Bersyukurlah atas karunia-Nya!” kutahan napasku. Beberapa saat kemudian kuhempaskan kembali ke udara lepas. Kucoba menenangkan diri sambil memandang hijaunya daun dan rerumputan. Kupandangi ikan-ikan yang berkejaran berebut makan di kolam halaman rumah.<br /> “Betapa Maha Adilnya Engkau, Ya Allah,” gumamku dalam hati sambil mengusap kandunganku dengan lembut.<br /> Mas Indra sudah berangkat ke kantor setelah shalat shubuh karena jarak kantor yang cukup jauh dari rumah. Sosok lelaki yang semangat memang. Pagi buta sudah berangkat dan kembali ke rumah larut malam setelah mengikuti kajian, dan kadang harus bertemu dengan binaannya. Pernah suatu hari ia pulang hampir shubuh karena mengisi acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan di daerah puncak. Walau baru pulang kerja, Mas Indra tetap berangkat ke sana. Aku teringat akan kata-katanya yang tulus, “Jika kita menolong agama-Nya pasti kita juga akan ditolong oleh-Nya,” potongan arti sebuah ayat dalam Al qur’an yang selalu membuatnya melihat segala sesuatu itu kecil dibandingkan dengan kekuasaan-Nya.<br /> “Semoga kau kelak seperti Papamu, anakku,” obrolanku dengan bayi yang ada dalam kandunganku. Terasa sekali bayiku bergerak tanda setuju dengan harapanku. Suamiku pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas. Hal ini memang sudah dibuktikannya. Setiap hendak tidur beliau selalu melantunkan Al qur’an di sampingku sambil mengusap bayi dalam kandunganku. Sering pula beliau mengajakku untuk shalat tahajud bersama pada keheningan ditemani bisik jangkrik dan desah dedaunan terbelai angin malam. Mesra sekali. Begitu nikmat kudengar lantunan surat Arrahman dari lisannya yang fasih. Seketika itu mukenaku basah dengan derai air mata yang menetes karena takut akan murka-Nya dan rindu untuk jumpa dengan-Nya bersama keluarga. Indah memang apa yang dikatakan Mas Indra bahwa seseorang akan berkumpul bersana keluarganya di surga karena ketundukan dalam berbakti kepada-Nya.<br /> Kembali kugerak-gerakkan tangan dan kakiku agar bayi dalam kandunganku semakin sehat dan cepat berkembang dengan normal. Kicau burung terdengar riang terseret angin pagi yang sejuk. Pohon-pohon berbisik mesra memandang keadaan kandunganku yang mulai tumbuh. Kucoba berjalan menyusuri rerumputan yang tertata rapi diselingi kerikil cantik seolah malu berhadapan denganku. Ahh… kurasakan keadaan tubuhku semakin baik kini.<br /><br /> ***<br /><br /> “Ukh… jadi juga, Mas berangkat,” keluhnya saat selesai memberi salam dan meletakkan tas setibanya dari kantor. “Direkturku tidak mengizinkan, malahan besok Aku harus berangkat.” Tampak kurasakan bebannya untuk meninggalkanku.<br /> “Lho, kalo memang itu yang terbaik kenapa harus ditolak, Mas?” kusodorkan segelas air putih dan beberapa potong kue kepadanya. Terlihat ia begitu lelah menyelesaikan tugasnya di kantor. “Kalo gitu, Mama akan siapkan perbekalan Mas untuk sebulan.”<br /> “Sudah, Ma, biar Mas saja yang menyiapkan ! Paling cuma untuk sebulan.”<br /> “Bener nih, Mas sudah siap untuk berangkat ?” candaku menghiburnya.<br /> “Bukan, maksud Mas biar Mama tetap istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Lagi pula, kan ada si Mbok yang bisa siapkan kebutuhanku di sana,” risaunya tetap saja ada.<br /> “Si kecil bagaimana, Ma, masih suka nendang-nendang nggak?” rasa ingin tahunya membuatku tersenyum.<br /> “Kayaknya, ia mulai berani deh, Mas tinggal,” lontaran kata-kataku terus memotivasi dan berdiskusi tentang rencana keberangkatannya esok hari.<br />Malam kian larut, tampak kelelahan suamiku berada pada puncaknya. Ia menyelimutiku sebelum akhirnya ia pun tidur pulas….<br /><br /> Keheningan malam membuat suamiku kembali bangun dari tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Inilah kebiasaan ia untuk bercumbu dengan Rabbnya sambil meneteskan air mata. Malam ini merupakan malam kami untuk shalat tahajud bersama sebelum ia berangkat ke negeri adidaya. Lantunan ayat Al qur’an semakin merdu ia ucapkan. Dan butiran air suci jatuh satu persatu ke tempat sujudku. Kupanjatkan do’a kepada Rabbku agar suamiku diberi kemudahan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.<br /> Bisik jangkrik terdengar riang disapu angin malam yang sunyi. Buaian lantunan ayat suci dari lisannya menambah kekhusyu’anku dalam munajat kepada-Nya. Gesek dedaunan beradu dengan ranting dan batang terdengar merdu semakin membuatku tetap berdiri dalam keheningan malam untuk tunduk pada-Nya. Percik-percik air kolam terhempas kumpulan ikan menyatukan suasana malam indah penuh berkah ditemani kilauan bintang gemintang yang tersapu deretan awan berhias sinar rembulan….<br /><br /> Selesai shalat shubuh, Mas Indra sudah siap. “Jangan lupa jaga kondisi kesehatan Mama dan Si kecil. Jangan lupa banyak istirahat!” pesannya sebelum berangkat ke negeri adidaya.<br /> “Mbok, Saya titip dia dan si kecil. Tolong ingatkan agar Dia jangan banyak melakukan pekerjaan yang berat!”<br /> “Baik, Pak,” sungkem si Mbok tanda menurut dengan suamiku. Kuterima ciumannya tepat dikeningku dan ia lekas berangkat menuju bandara. Aku tidak turut ke bandara karena tidak diizinkan olehnya. Aku hanya bisa berdo’a atas keselamatannya.<br /><br /> ***<br /><br /> Rasa mual kembali menyerang tubuhku. Keringat dingin terus keluar dari kulitku setelah beberapa jam keberangkatan Mas Indra. Pandanganku semakin kabur, tak dapat membuka mata walau hanya sekedar menatap. Kupandangi sekitarku hanya tersirat goretan-goretan dinding yang iba memandangku. Aarrhh… rasa mual semakin menjadi, membuatku tidak bisa menahan untuk terus muntah. Kulihat si Mbok panik melihat kondisiku yang semakin lemah. Segera ia memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Tubuhku lemas dan membuatku sulit untuk membuka mata. Kurasakan gelap di sekitarku seketika aku tak sadarkan diri….<br /><br /> Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Aarrhh… berat sekali. Namun terus kucoba membuka dan akhirnya dapat juga kubuka. Aku tersentak ketika kutatap ke samping, seorang lelaki sedang mengusap kepalaku dan berbisik, “Sudah, jangan bicara dulu. Aku tidak jadi berangkat karena pesawat tidak bisa lepas landas,” senyum gundahnya tetap ada bersama butiran dingin menetes dari mataku.</p><br /><p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><br /></p><p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"> <span style="font-style: italic;">Cirendeu, Malam hari</span></p><p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"> <br /></p><p style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"> hari, tgl & tahunnya lupa<br /></p>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-67080890021676165732009-09-06T00:26:00.001-07:002009-09-06T00:26:34.716-07:00Mie Pangsit<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;">Ramadhan tahun ini, anak-anak Pojok BMT punya hajat besar. Bukan buang hajat. Tapi, emang bener-bener acara gede yang juga makan biaya gede. Dua puluh empat juta. Buat apa coba? Ya, apaan lagi kalo bukan bikin kegiatan ramadhan yang lebih seru dan energik. Gosip punya gosip yang sengaja dibikin gosip sama tukang gosip. Ketua pelaksana yang ditunjuk kali ini si Rahman, ditemenin sama anak-anak Pojok BMT lainnya. Ada Ali duduk di meja sekretaris, tukang nulis sambil nangis. Di bangku danus ada duet orang nggak nyambung, Akbar featuring Agung. Terakhir di kursi acara, ngejogrog makhluk yang sering linglung plus suka bingung, Irwansyah. Lha, terus anak-anak Pojok BMT yang lain pada ke mana? Tenang, Cui! Si empat anak Pojok BMT yang udah sepuh sengaja digeletakkin di bangku cadangan, alias berperan sebagai pengarah kelima anak Pojok BMT yang dibaiat jadi Panitia Ramadhan. Si Bayu ngedukung Rahman sebagai ketua pelaksana. Dita ngegendong Akbar featuring Agung. Acis ngebopong Ali. Terakhir, Ewink ngelonin Irwan.<br>"Woi… gimana, neh, proposal kita? Ramadhan udah di depan jidad, perasaan bocah-bocah belon pada kerja?" kritik Bayu ke Rahman sekedar ngingetin.<br>" Tau, neh, Kak. Ane juga bingung. Abis, apaan dulu yang mesti ane kerjain," saut Rahman sambil nurunin galon kosong dari motor. Biasa, si makhluk satu ini emang spesialis anter jemput galon ke langganan Koperasi Pojok BMT.<br>"Bingung, lu, Man?" tanggap Bayu sambil buka pintu BMT.<br>"Iya, Kak," bales Rahman yang juga ngebuntutin Bayu masuk ke dalam BMT.<br>" Kalo bingung, pegangan…" canda Bayu. "Ya, udah. Mending lu nyalain tuh komputer, terus lu belajar bikin pengantar dulu. Nanti kalo ada yang kurang asik dibaca, lu minta bantu editin ama Kak Ewink entar malem," celoteh Bayu sambil ngerapihin juga ngitung galon kosong yang berbaris di lantai.<br>"Waduh, saya yang nulis, Kak? Kan, ada sekertaris? Biar dia aja, ah, yang ngerjain. Abis, saya nggak bisa nyusun kata-kata, Kak," selak Rahman ragu-ragu nyalain komputer.<br>"Eh, Malih. Lu nggak mau punya pengalaman pribadi nulis kata pengantar di proposal acara lu? Jangan kopi paste terus! Pan udah gua bilang, nanti kalo ada yang kagak enak di baca, lu minta editin ama Kak Ewink. Susah amat, sih dikasih taunya," sungut Bayu karena jadi lupa udah berapa jumlah galon kosong yang diitungnya.<br><br>***<br> <br>Malem minggu emang enak buat jalan-jalan santai bareng temen atau pacar bagi yang kagak jomblo. Tapi, bagi anak-anak Pojok BMT malem minggu beda sendiri. Abis bedug isya, mereka punya program rutin. Secara penghuni Pojok BMT ini ternyata punya jadwal khusus buat ngebina anak-anak bocah yang masih makan bangku sekolahan. Ya, kagak lama sih, paling sampe jam setengah sembilan malem. Lagian anak-anak bocah yang dibina juga nggak boleh pulang malem-malem sama bonyoknya. Sekedar kabar, anak-anak Pojok BMT, tuh pada jomblo bukan karena nggak ada cewek yang napsu sama mereka. Tapi, emang mereka sendiri yang sengaja ngejombloin diri. Katanya, sih, mereka mau langsung nikah aja biar nggak nambah-nambahin dosa mereka yang udah numpuk.<br>Kelar ngebina anak-anak bocah. Sembilan penghuni Pojok BMT langsung ngacir ke markas mereka. Ke mana? Ya, ke BMT, lah. Masak ke Hard Rock Cafe or ke JW Marriot, ngapain coba?<br>"Kak Ewink, kira-kira ustadz yang bakal ngisi buat romadon besok siapa ajah, ya?" susur Irwan sambil ngucek-ngucek LPJ tahun sebelumnya.<br>"Kak Dita, siapa aja, neh, donatur yang bakal kita palak pake proposal?" seruduk Akbar nyelonong ke arah Dita.<br>"Iya, neh, Kak. Agung baru dapet tiga doang," sambung Agung ngeluarin catetan kecil.<br>"Siapa aja?" bales Dita pendek.<br>"Agung bacain, ya. Ada Masjid, MTBU, terus PIB," jawab Agung polos.<br>"Itu, mah, kagak usah lu catet juga orang sekampung udah pada tau," ceplos Dita.<br>"Ett, Kak Acis. Gimana neh cara ngelayout proposal mikronya? Belon ada contohnya, neh, di komputer?" teriak Ali di depan komputer.<br>"Neh, di ples dis gua ada. Lu kopi ajah, terus lu isi pake data yang baru," sahut Acis yang lagi ngeberesin kertas-kertas bekas di mesin jahit.<br>"Yah, Kak Acis…" celetuk Ali.<br>"Ngapa…?" jawab Acis pengen tau.<br>"Kalo masukin bakso bagong ke mulut, saya bisa. Jangan kata ngopi data ke komputer, masukin ples disnya aja saya kagak bisa" melas Ali tertanda minta bantuan.<br>"Sinih… sinih… gue ajarin. Tibang masukin ples dis aja kagak bisa. Gimana kalo masukin yang laen?" sungut Dita yang nggak jelas maksudnya.<br>Semua anak-anak Pojok BMT lagi serius sama tugas mereka masing-masing. Begini pemandangan Pojok BMT kalo penghuninya bakal punya hajat besar. Masing-masing rela begadang ampe malem demi ngegolin acaranya.<br>Di depan, keliatan Irwan sama Ewink, ngebahas tema sekaligus pembicara yang bakal diundang buat ngisi kajian buka bersama. Sesekali Irwan nepak nyamuk yang nempel di telapak kakinya. Ali bareng Acis lagi belo melototin monitor komputer, ngutak-ngatik proposal yang bakal disebar ke donatur. Dita sibuk nyeramahin Agung featuring Akbar yang dari tadi nggak ngudeng kalo di kasih tau. Sesekali terdengar emosi Dita, karena dua bocah aneh yang lagi diceramahin kagak ngedengrin omongannya. Di deket ayunan depan BMT, Bayu dan Rahman terlibat diskusi alot buat ngejaring donatur guna mendapat dana yang cukup atas hajat mereka bersama.<br>Langit malem itu cerah. Karena bulan sabit bercahaya ditemani gugusan bintang yang berkelip, seolah mengintip anak-anak Pojok BMT yang sedang asyik menunaikan tugas mereka. Derik jangkrik dan suara gesekkan dedaunan yang terbelai angin malam, mengikuti semangat sembilan anak yang berkumpul di Pojok BMT itu.<br>Nggak terasa. Malem menuju pukul dua belas. Dan energi anak-anak pojok BMT nampak berkurang. Diskusi-diskusi dan arahan masing-masing divisi masih belum kelar diomongin. Bayu, yang sebagai nakhoda anak-anak Pojok BMT nggak tega ngeliat temen-temennya lelah karena mereka udah beraktivitas dari pagi. Tanpa berpikir panjang dia tutup diskusi dan arahannya ke Rahman. Sejurus kemudian dia samperin temen-temennya yang lain, "Woi… Cui… udah, yuk. Udah malem neh. Kita istirahat dulu, yuk," teriak Bayu mengubah suasana keseriusan temen-temenya yang lain.<br>"Yuk… yuk… udah… udah. Besok kita lanjutin lagi. Kita kumpul lagi ba'da shubuh ajah," sambut Rahman ngeyakinin temen-temennya.<br>Malem bener-bener mengantarkan kelelahan anak-anak Pojok BMT. Rembulan pun sudah tampak bergeser. Satu persatu langkah kaki penghuni Pojok BMT meninggalkan bangunan satu lantai yang mereka jadikan tempat menggali kreativitas.<br><br>***<br><br>Langit fajar terlihat mulai memunculkan cahaya sedikit merah gelap. Angin pagi terasa sejuk menyapa kulit. Rembulan cantik tampak di ujung Barat hendak menidurkan diri. Azhan shubuh terus melantun dari segenap penjuru ruang kosong di bawah langit. Langkah-langkah kaki para pecinta tuhannya bergerak menuju tempat suci untuk bersujud kepada-Nya. Salah satu langkah kaki itu adalah langkah kaki penghuni Pojok BMT. Ewink mendekapkan kedua tangan di dadanya sambil terus melangkah menuju masjid. Istirahat selama empat jam setelah asyik berdiskusi dan memberikan arahan pada panitia ramadhan tahun ini membuatnya lebih segar dan bersemangat.<br>Para pecinta tuhannya mulai menghambakan diri dengan shalat shunah. Ewink yang juga tiba di dalam masjid langsung menunaikan dua rakaat ringan sebelum shalat shubuh berjama'ah di mulai. Hawa dingin sedikit masuk ke ruang iganya. Iqamah tanda akan dimulainya shalat shubuh berjama'ah telah dikumandangkan. Ewink memantapkan berdiri, rukuk dan bersujud mengikuti panglima yang memimpin penghambaan pagi itu.<br>Selesai menunaikan penghambaan dan berdoa. Ewink mencoba mengarahkan pandangannya menyusuri tiap sudut ruangan masjid. Pandangan itu untuk mencari anggota lain penghuni Pojok BMT. Seluruh sudut rampung disusurinya, namun tak satu pun anggota Pojok BMT ditemukannya. Mungkin mereka kelelahan, karena menanggalkan istirahatnya setelah bergadang untuk berdiskusi hingga larut malam.<br>Ewink langsung menuju BMT untuk menggenapkan perintah sang ketua panitia ramadhan, kumpul kembali di BMT ba'da shubuh. Masuk ke BMT, terlihat sisa-sisa kertas tadi malam bergeletakkan di lantai. Ewink mencoba mengambil dan merapihkannya. Beberapa menit kemudian, ia mulai menekan tombol power komputer. Keinginannya untuk menuangkan hasil diskusi dan arahannya pada Iwan tadi malam akan direalisasikan. Menyusun jadwal acara dengan berbagai pendukungnya dia konsepkan pada kertas file di computer, agar Iwan dengan mudah dapat merapihkan ke dalam proposal. Sesekali tombol mouse ia arahkan pada windows media player dan memilih Sally Sendiri di folder album Hari Yang Cerah milik Peterpan. <br><br>Biar Sally mencariku… biarkan dia terbang jauh<br>Dalam hatinya hanya satu… sejauh hatinya hanyaku<br>Katakan ku takkan datang… pastikan ku takkan kembali<br>Lalu biarkan dia menangis… lalu biarkan dia pergi…<br><br>Sally kau selalu sendiri… sampai kapanpun sendiri<br>Hingga kau lelah menanti… hingga kau lelah menangis…<br><br>Sedikit hawa panas mulai merayap ke ruang BMT. Ternyata mentari mulai naik menuju pukul sebelas siang. Ewink mencoba menyalakan kipas angin. Hingga konsep yang dibuatnya sudah rampung, belum ada satu pun anggota lain penghuni Pojok BMT yang menunjukkan ujung dengkulnya.<br><br>Gile, neh, bocah-bocah… Janji abis subuh, ampe matahari mau jitak pala gue belon ada yang nongol juga. Capek apa capek, neh, bocah-bocah. Parah bat dah! Hhhh… nasib… nasib... Dari pada gue bengong kagak ada lagi kerjaan yang gue ladenin, mendingan gue lanjutin nulis cerpen gue yang terbengkalai<br>Ewink mulai membuka file cerpennya yang berserakan di komputer. Satu persatu dia pilih cerpen yang terbengkalai buat dilanjutin. Dua – tiga kali dia buka-buka file cerpennya. Matanya tertuju pada cerpen berjudul Mie Pangsit. Intuisi otak kanannya mulai ia kerahkan. Beberapa kosa kata mulai meluncur deras menambah jumlah baris dan halaman cerpennya. Lagu Sally Sendiri-nya Peterpan berganti ke Kota Mati dan terus berganti ke Menghapus Jejakmu, Di Balik Awan sampe Hari Yang Cerah Untuk Jiwa Yang Sepi, menemani konsentrasi otak kanannya untuk merampungkan Mie Pangsit.<br>Azhan Zuhur berkumandang, berbarengan dengan rampungnya Mie Pangsit besutan Ewink. Dia coba menarik napas dalam-dalam dan berdiri sejenak sekedar menggerak-gerakkan badannya yang kaku, karena dari abis shubuh bisu ia duduk di depan komputer. Dia tutup layar computer. Kemudian menyegaja ngacir ke tempat wudhu karena iqamah zhalat zuhur nyangkut di telinganya.<br><br>***<br><br>"Waduh, Kak Ewink. Maaf, ya. Ane ketiduran semalem, Kak. Jadi subuhnya di rumah," melas Rahman yang ngakuin kesalahannya karena nggak pegang omongannya semalam.<br>"Iya, Kak, ane juga kebablasan," Irwan coba nimpalin.<br>"Maaf juga, Kak. Pulang dari BMT semalem, Akbar langsung bantuin encing Akbar bikin piscok, jadi kesiangan, dah," celetuk Akbar.<br>"Kak… Kak… Kak… emang ada apaan, sih? Perasaan belon lebaran, dah. Kok udah pada minta maaf ajah?" tambah Agung polos.<br>"Kambing dipiara, biar gemuk… bukan Oon yang dipiara!!" teriak Dita, Bayu bareng Acis ke muka Agung.<br>"Udah… udah… yuk, cepet beresin proposal!!" potong Ewink sambil lihat Agung yang masih bengong kayak sapi ompong.<br>Ruang BMT panas parah. Biar udah dipasang kipas angin tombol ke-tiga, tetep aja rasa panas nggak kelawan. Irwan membuka dua pintu BMT. Dita dan Ali membuka baju kokonya karena kegerahan. Yang lain ngibas-ngibasin kertas bekas ke wajah sambil nyelesain kerjaannya. Ali bareng Acis nyelesain layout sebelum data-data dari tiap divisi ditumpuk ke proposal. Irwan plus Ewink ngerapiin konsep yang udah dibuat. Trio Dita, Agung dan Akbar terus ngelist data donatur yang bakal ditodong pake proposal. Duet Bayu sama Rahman terus berlanjut untuk ngelobi dan menjaring strategi suksesnya hajat mereka. Semua terus ngerapihin kerjaannya sampe azhan ashar memaksa mereka break sebentar…<br>Angin sore mulai menyibak. Sesekali terdengar teriakan bocah-bocah kecil bermain di sekitar Pojok BMT. Anak-anak penghuni Pojok BMT kembali khusyuk dengan pekerjaannya. Satu persatu data-data dari tiap divisi dimasukin ke dalam layout proposal oleh tangan lentik sang sekretaris dibantu Acis. Semua mata penghuni Pojok BMT terjutu pada monitor sang sekretaris, khawatir akan ada kesalahan penyusunan data oleh tiap divisi dapat segera diselesaikan langsung.<br>"Woooiii… sepi amat, neh. Setel How Does It Feel-nya Avril Lavigne, dunk," saran Ewink ke sang sekretaris.<br>"Avril apa Peterpan, neh?" Tanya Ali mastiin harus buka folder musik yang mana.<br>"Jangan… Hai Mujaihid Muda-nya Izzis ajah," pinta Irwan ke Ali.<br>"Parah, lu pada. Siang-siang geneh, mah, pantesnya nyetel Maha Dewi-nya Padi, lagi," desek Dita supaya Ali nampilin di playlist layarnya.<br>"Udah… udah… daripada ngeributin lagu, terus proposal gue nggak selesai-selesai, neh gue kasih yang lain ajah biar adil," sungut Ali sambil neken Tak Gendong-nya Mbah Surip. Ngedenger intro suara Mbah Surip, anak-anak penghuni Pojok BMT yang lain pada lari keluar nahan muntah sambil nutupin telinga mereka. Ngeliat semua anak-anak penghuni Pojok BMT yang lain keluar, sang sekretaris ngeganti playlist-nya jadi Hampa Hatiku milik Ungu. Acis dan sang sekretaris tetep nyelesain proposal mereka sampe rampung. <br><br>***<br><br>Shalat isya selesai ditunaikan. Anak-anak penghuni Pojok BMT lanjut merampungkan proposal mereka. Proposal selesai di-print out oleh sang sekretaris duet Acis. Semua bersibuk ria dengan aktivitasnya. Irwan dan Ewink berpeluh keringat nempelin kertas nama donatur di pojok amplop. (deeuuhh… lebaii…). Dita featuring dua orang-orangan sawah santai ngelipetin surat pengantar proposal. Bayu bareng Rahman asyik ngejiplakin stempel ke atas kwitansi yang berserakan. Sang sekretaris plus Acis asoy masukin proposal yang udah lengkap ke dalam amplop.<br>Malam mulai menunjukkan pukul sembilan. Ewink yang sejak shubuh belum mengisi perutnya pakai sebulir nasi pun mulai merasa ada kunang-kunang di matanya.<br>"Tookk….Tookkk… Tookkk… Tookkk…" suara tukang pangsit ngegetok senjata andalannya buat menarik konsumen.<br>"Suara apaan, tuh?" celetuk Ewink yang pura-pura nggak tau suara itu, nyindir sang ketua pelaksana buat beli makan malam.<br>"Suara tukang mie pangsit, Kak," tanggap Agung polos.<br>"Wuahh… kagak paham, lu. Ewink, tuh, dari pagi belon makan. Maksud dia, si ketua, neh, harus tanggap kalo kita-kita pada lapar," sambung Dita yang udah kenal banget sama karakter Ewink.<br>"Emang nggak ada anggaran, neh, buat nyelesain proposal?" sindir Acis sambil melirik matanya ke sang ketua.<br>"Gimana, Kak Bayu?" timpal Rahman menatap ke Bayu sang nakhoda Pojok BMT.<br>"Bar… Bar… pesen mie pangsit, Bar. Cepet… cepet!!" tanggap Bayu langsung memberi mandat ke Akbar.<br>"Siippp, Kak. Ayo, Gung, bantuin bawa," selonong Akbar diikutin Agung sambil lari keluar ngejar tukang pangsit…<br>"Pangsit… Bang... Pangsit…" panggil Agung bareng Akbar sembari nepuk tangannya dan menuju ke penjual pangsit.<br>"Apaan, Bar?" tanya si penjual yang udah akrab sama Akbar.<br>"Pangsit dun, sembilan. Pake baso tapi gak pake lama, yah," timpal Akbar ke penjualnya.<br>"Yah, udah abis, Bar," sahut si penjual.<br>"Lha, gimana, seh, Bang. Udah abis, kok, kentongan masih dipukul-pukul?" celetuk Agung merasa kecewa.<br>"Oo, ya. Sorry.. sorry… Abis saya keenakan dengerin lagu dangdut di HP saya, jadi lupa, dah," jawab si penjual merasa malu.<br>"Terus, udah abis semua, neh? Kagak ada sisa barang atu juga?" desak Akbar yang perutnya udah merasa keroncongan.<br>"Iya. Tuh, tinggal kerupuk doang, mau?" tawar si penjual ke Agung dan Akbar.<br>"Wah, gratis, neh. Mau, dah. Minta saosnya juga, yah," jawab Akbar seneng.<br>"Iya, boleh. Neh, buat lu semua," timpal tukang pangsit sambil ngasih kerupuk seplastik plus saus.<br>"Wah, makasih banyak, Bos," tanggap Irwan dan Agung kegirangan.<br>"Iya, sama-sama, pren,"bales si penjual yang lagi fun karena dagangannya udah laku laris.<br>Akbar dan Agung langsung ngacir ke Pojok BMT. Tapi, di tengah perjalanan, pikiran kotor Akbar nyangkut di otaknya.<br>"Ehh, Gung, entar dulu. Mending kerupuknya kita makan berdua aja, yuk. Kalo di bawa ke sono nggak cukup, tau," licik Akbar.<br>"Iya, bener. Entar kita malah nggak kebagian lagi. Kan, lu tau sendiri porsinya Kak Bayu," sergah Agung.<br>Dua makhluk nggak jelas itu menikmati kemenangannya di depan kanopi dengan melahap seluruh kerupuk yang diterimanya dari si penjual mie pangsit.<br>Anak-anak penghuni Pojok BMT yang lain menunggu Akbar dan Agung sambil sesekali mengusap perut mereka. Tapi yang ditunggu-tunggu belum juga datang.<br>Akbar dan Agung mulai melangkah ke BMT. Mereka tersenyum ria karena perutnya sudah terisi.<br>"Lha, mana, mie pangsitnya, Gung" Tanya Dita ke Agung<br>"Wah, udah abis, Kak. Tinggal kerupuk doang," jawab Agung pura-pura lapar. Akbar yang diem-diem di belakang Agung setuju dengan jawaban Agung.<br>"Trus, lu bedua, kok, lama bangat?" desak Bayu yang penasaran sama gerak-gerik Akbar.<br>"Mmmm… tadi Agung ama Akbar makan kerupuk yang dikasih abangnya dulu di kanopi, Kak" jawab Agung sambil mesem-mesem. Akbar yang bikin ulah mulai pucet wajahnya. Agung dan Akbar langsung ngacir takut disambit pake galon sama Kak Ewink.<br>"Wuahhh… wuahhh…. kasus, lu, bedua. Tuh, cepet ke Mas Slamet. Awas, lu bedua kalo kagak balik lagi," sungut Dita ke Agung sama Akbar sambil ngelempar kunci motor yang nyaris nyangkut di muka Akbar.<br>"Parahhh… parahhh…" nyelak Acis sambil tiduran ke karpet.<br>"Orang, seh, kagak pinter-pinter diajarin," laknat Iwan.<br>"Dasar… O2N," hardik Ali.<br>"Astaghfiullaahhhhh….." sela Ewink nahan dirinya biar nggak darah tinggi. Sambil ngusap-ngusap perutnya yang kosong dari shubuh, Ewink ngelantunin Parasit-nya Gita Gutawa yang sengaja dia selewengin dari syair aslinya,<br><br>Proposal Membuatku<br>Jadi Terburu-buru<br>Minta dana mulu tanpa malu-malu<br><br>Baru kusadari<br>Suara tukang pangsit<br>Aku mau itu tapi minta dulu<br>Padamu<br><br>Cukup sudah perutku mulai lapar<br>Pusing tujuh keliling belum kena nasi<br>Dari tadi pagi<br>Reff:<br>Pergi kau ke warung Mas Slamet<br>Beli nasgor telor didadar<br>Juga minta kerupuk yang banyak<br>Dan cepet kembali…<br><br>Mampir kau ke warkop Oma<br>Belie es jeruk di bungkus lima<br>Tambah gorengan yang seribu tiga<br>Dan cepet kembali…<br><br>Enggak jadi mie pangsit (mie pangsit… mie pangsit…}<br><br>Minta dianggarin (mie pangsit… mie pangsit…)<br>Minta dibeliin (mie pangsit… mie pangsir…)<br>Minta dibayarin (mie pangsit… mie pangsit…)<br>Minta ditraktirin (mie pangsit… mie pangsit…)<br>Minta dibungkusin (mie pangsit… mie pangsit…)<br>Minta dibawain (mie pangsit… mie pangsit…)<br><br>Enggak jadi mie pangsit (aahh…) <br><br></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-3406987404828580072009-06-09T02:54:00.001-07:002009-06-09T02:54:43.064-07:00HP Tak Bertuan<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><meta http-equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.4 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Angin pagi masih membawa hawa dingin di sekitar MTs Dos Q 1. Kicau kutilang pagi membawa kesejukan sendu berbaur dengan gesekkan dedaunan yang tertiup angin. Lembut. Sesekali rongrongan knalpot kendaraan di jalan Nangka beradu dengan sautan kokok ayam jantan dan derai air di kali kecil yang memotong jalan itu.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Gerbang MTs Dos Q 1 masih tampak terbuka sebagian. Memang hari ini, Sabtu, biasanya sebagai hari yang ditunggu-tunggu siswa-siswi sekolah ini untuk menghempaskan peluh selama lima hari bergelut dengan materi dan rumus-rumus yang membuat otak mereka jenuh. Lapangan basket masih lengang. Hanya ada seorang pramuwisma yang sedang menikmati pekerjaan rutinnya, membersihkan lingkungan agar terlihat indah dan menarik. Dan pasti untuk membuat siswa-siswi merasa nyaman belajar. Pak Maman, namanya. Lelaki separuh baya ini memang selalu tiba lebih awal untuk menciptakan keindahan di sekolah 'Laskar Pelangi Ciputat' ini. Dia sudah berangkat dari rumahnya pukul lima pagi buta dan kembali pulang pukul delapan malam. Sangat lelah memang, tapi inilah kondisi pramuwisma di negeri yang katanya kaya dengan sumber daya alamnya. Mereka selalu dipandang sebelah mata.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Mentari pagi mulai melirikkan sinar hangatnya ke arah lelaki separuh baya itu. Dari ujung pintu gerbang tampak seorang putri kecil menuju ke dalam sekolah ini. Sambil memegang tali tas di pundaknya, dia menyapa Pak Maman yang sedang asyik masyuk memindahkan lembar-lembar sampah yang sudah disapunya, "Assalaamu 'alaikum, Pak!" sapa Ruby sambil mengarahkan tangan lentiknya ke arah Pak Maman untuk bersalaman. "Wa'alaikum salaam… eh Ruby, tumben pagi-pagi udah nyampe?"</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Iya nih, Pak. Soalnya tadi saya bareng Ayah, jadi nyampe ke sekolahnya cepet, deh." Balas Ruby sambil memegang ujung jilbabnya yang berwarna putih. "Temen-temen belum ada yang nyampe, Pak?" tanya Ruby ke Pak Maman.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Belum ada, baru Mas Bandi sama Bapak aja," jawab Pak Maman yang kembali memasukkan lembaran sampah ke dalam tong berwarna biru.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Oohh… ya udah deh, Pak, saya ke kelas dulu. Mari, Pak," pamit Ruby ke Pak Maman yang juga ingin meneruskan pekerjaannya.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Iya, silahkan," sahut Pak Maman.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;" align="center">***</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;" align="center"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Kelas tujuh satu masih lengang. Kumpulan kursi kosong dan deretan meja memandang Ruby yang hendak masuk ke dalamnya. Sisa-sisa sampah kelas siang masih berserakan. Ruby tak ambil pikir, dia meletakkan tasnya pada kursi yang biasa ia tumpangi untuk menuntut ilmu. Pandanganya menuju pojok pintu mencari sapu karena ingin membersihkan kelasnya yang cukup kotor. Kebetulan hari ini adalah jadwal piket untuk dia. <i>"Pernahkah kau merasa, hatimu hampa… pernahkah kau merasa, hatimu kosong…"</i> lantunan syair dari salah satu grup musik yang lagi naik daun ini terlontar dari mulutnya untuk sekedar menemani piket paginya. "Pada ke mana sih bocah-bocah, tumben belon pada dateng?" imbuh Ruby yang lagi bete piket sendirian. "Dddooorrr!!" suara Feby yang setengah berteriak mengagetkan Ruby dan otomatis sampah-sampah yang tadinya akan dimasukkan ke dalam tong sampah ternyata malah tumpah ke muka Feby. "Aduuhh… parah luw, By!" sentak Feby sambil mengusap-usap wajahnya yang terkena serakan sampah. "Waduuhh.. maaf, By. Gue nggak sengaja. Lagian seh, Luw ngagetin Gue aja," mohon Ruby ke Feby sambil mengusap-usap wajah Feby yang mulai memerah. "Huuhh… bukannya ngasih Gue sarapan nasi goreng, malah ngasih sarapan sampah," keluh Feby. Feby langsung menuju ke kursinya. "Eh, By. Lue udah ngerjain tugas Bahasa Inggris belum? Gue liat donk!" pinta Feby ke Ruby yang dia rasa udah selesai ngerjain. "Mending amat, Gue juga belum ngerjain, tau," bales Ruby. "Si Rianah sama Irpan udah nongol belum? Gue mau nyontek ama mereka aja deh," celoteh Feby sambil melangkahkan kakinya menuju kamar ganti untuk merapikan jilbabnya yang berantakan karena terkena serakan sampah atas kejadian barusan. "Huhh… dasar, tukang nyontek. Eh, nanti kalo udah Gue juga liat, ya," balas Ruby. "Huhh… dasar… sama aja kalo gitu ama Gue," teriak Feby setengah berlari.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;" align="center">***</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;" align="center"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Bel masuk berdering. Semua siswa mulai memasuki kelas masing-masing satu persatu. Pelajaran jam ke satu untuk kelas tujuh satu hari ini adalah Bahasa Inggris. Siapa lagi kalo bukan Bu Marpuah yang mengasuh. Kelas tujuh satu sedikit ribut. Kelompok Aris, Ade, Eko, Fajar asyik ngebeberin hasil pertandingan MU VS Barca. Kelompok Irpan, Iqbal, Saiful, Ricky <i>and the gank</i> sibuk ngeributin PR Matematika. Sedang kelompok cewek-cewek pemalas lainnya lagi ngerubutin Rianah sama Norman buat nyalin PR Bahasa Inggris, termasuk di dalamnya ada dua makhluk aneh, yaitu Ruby dan Feby.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Bu Marpuah masuk kelas. Mendadak kelas terlihat sepi. Sunyi kayak kuburan malam Jum'at Kliwon. Mungki karena takut dimarahin Bu Marpuah yang juga sebagai wali kelasnya. Jam belajar pun mulai berbagi. Semua kelas terasa khusyuk menjalankan aktivitasnya. Di tujuh dua terdengar banyolan Bu Babay dengan siswanya. Di kelas tujuh tiga terdengar Bu Iis yang sedang menegur salah satu siswa yang datang terlambat. Semua bersatu menjadi suasana yang menjelma tak terbayangkan.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "<i>How are you, today?"</i> sapa Bu Marpuah ke semua siswanya di tujuh satu.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "<i>I am</i> bae-bae aja, Bu Mrs…" celetuk suara Aris yang paling keras terdengar dari pojok. Kontan semua siswa tertawa.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "<i>OK, Aris. Please give me your homework!"</i> pinta Bu Marpuah ke Aris.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "Apaan, Bu? Saya kagak ngarti," bacot logat Ciputat udiknya keluar.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "Bawa PR kamu ke depan, bocah desa," tegas Bu Marpuah.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;"> "Waahh,.. emang ada PR, ya, Bu? Saya kagak tau. Pan kemaren saya kagak masuk, Bu. Saya ikut Babe saya jualan kambing di pasar, Bu. <i>I am sorry</i>, Bu," celetuk Aris tampak terlihat pucet. Semua temen-temenya ngakak denger kepolosan bocah desa ini….</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Bel pelajaran jeda istirahat bergeming. Setiap kelas mulai beralih untuk melaksanakan tadarus bersama. Hari ini tujuh satu kebagian jatah shalat dhuha. Mereka langsung menuju ke masjid. Di bawah sudah ada Pak Adas yang siap ngebimbing mereka. Setelah semua berwudhu, mereka segera melaksanakan shalat dhuha yang dipimpin oleh si cantik Ryan (eh… si ganteng). Semua hening dan tenang melaksanakannya. Usai shalat dhuha, Pak Adas mempersilahkan petugas kultum untuk maju menyampaikan <i>tausiyahnya</i>. Nggak di sangka, ternyata yang ketiban rejeki buat ngasih kultum itu si bocah desa tulen lagi. Aris langsung maju ke depan, sambil menunduk ia membuka catatan kecil dan memegang <i>mic</i> di depannya. Dia mulai narik napas sejenak dan membuka mulut untuk mengucap salam…</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Assalamu 'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh….</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Alhamdulillah… nasi uduk udah di nanak, ikan asin udah di goreng, terus, sambel tomat juga udah diulek….</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Temen-temen saya diri di sini bukan lagi pengen ngelawak atau pengen ngebanyol. Tapi, sebagai anak penjual kambing, saya pengen ngebagi-bagi ilmu buat temen-temen semua.</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Temen-temen tau kagak, bahwa kita ntu harus belajar yang rajin. Sebab kata Rasul, kita kudu nuntut ilmu terus-terusan biar kata kita ne ketiban tanah kuburan. Artinya, ya kita harus tetep belajar ampe koit. Jangan males-malesan dan bolos terus. Contohnya ,ya kayak saya ini. Tapi, pas baca tulisan tentang ini, sekarang saya mulai bertekad kudu rajin belajar dan kagak bolos lagi, biar kata saya harus bantu Babe saya jualan kambing di pasar. Temen-temen setuju kagak?!</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Saya kira ampe sini dulu kultum kagak berarti dari saya, mudah-mudahan ada manpaatnya buat saya juga temen-temen semua… terima kasih.</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <i>Assalamu 'alaikum....</i></p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in;"><br> </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Usai shalat dhuha, semua siswa beristirahat. Ada yang langsung ke kantin, ngobrol-ngobrol di dalam masjid juga ada yang sekedar nonton anak-anak SMA yang lagi pada olah raga.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Banyak siswa hilir mudik melewati tangga ke lantai dua sambil membawa <i>snack</i> dan makanan kesukaan mereka. Riuh suara siswa kembali terdengar di seantero jagad gedung MTs. Dos Q 1 Ciputat. Tak disangka, diantara keceriaan siswa-siswi yang asyik menikmati jam istirahatnya. Sesosok cewek di pojok kelas tujuh satu berteriak dan menangis seketika. Sontak saja teman-temannya di kelas itu langsung bersatu padu melangkah dan bergerak menuju sesosok cewek itu. "Lho, By, kenapa? Kok Nangis? Nggak di kasih uang jajan, ya? Yuk, Gue jajanin ke kantin," ajak Feby ke Ruby yang lagi mengusap-usap air matanya ke jilbab sambil membongkar-bongkar isi tasnya. "Ayo, By, nggak usah khawatir, kita-kita bawa uang lebih, kok," sambung Ami yang juga ingin membantu kesulitan temannya. "Iya, By. Ayo, kamu mau jajan apa?" sambung beberapa temannya yang lain turut simpati.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "HP Gue hilang…" bales Ruby dengan isak tangis yang sendu.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Waduuhh.. hilang dimana?" sambung teman-temannya ingin membantu menyelesaikan masalah.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Gue nggak tau, pas mau shalat dhuha seh masih ada di kantong," isak tangisnya mulai mereda.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Ya udah, deh. Yuk kita cari bareng-bareng," ajak Debby ke semua temen-temenya.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Oke. Kalo gitu, anak laki-laki bantu nyari di lantai satu, terus anak cewek bantu nyari di lantai dua," usul Aris yang lagi nyambung ngeliat kesusahan temannya.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Seetuujuuuu…" sahut semua temannya.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Belum sampe mereka keluar kelas, tiba-tiba Pak Herwin yang lagi praktek ngajar di MTs Dos Q 1 ngucapin salam masuk ke kelas. Semua siswa kelas tujuh satu yang tadinya mau beroperasi semut mencari HP Ruby yang hilang, tertunda sejenak karena Pak Herwin datang.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Dengan wajah kebingungan, Pak herwin bertanya ke semua siswa tujuh satu yang udah kebelet mau nyari HP si Ruby, "Kalo nggak salah, tadi yang shalat dhuha di masjid kelas kalian, ya?"</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Ya iya dong, masak ya iyalah…" celetuk Ratih yang juga nggak mau nunggu mau nyari HP Ruby.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Bentar-bentar, tadi waktu Bapak pakai sepatu selesai shalat dhuha, Bapak nemuin…" </p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Haaa Peee, kan!!" jerit semua siswa yang memotong kalimat Pak Herwin.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Lho, kok tau?" tanya Pak Herwin kebingungan.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Iya, itu HP Ruby, Pak" teriak Aris dari belakang teman-temanya, karena postur tubuhnya yang mungil membuat ia tidak terlihat oleh Pak Herwin.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Hhmmm… baguslah kalo gitu. Nih, HP-nya," Pak Herwin menyerahkan ke Aris untuk dikembalikan ke Ruby. Ruby yang sebelumnya terlihat sendu kini sudah mulai tersenyum kembali.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Jangan lupa dijaga. Hati-hati kalo bawa barang-barang berharga ke mana pun kalian pergi!" nasehat Pak Herwin ke semua siswa kelas tujuh satu.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "Iya… ma kasih ya, Pak…" sahut anak-anak.</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> "<i>You are welcome</i>," tambah Pak Herwin sambil melangkah kembali ke meja piket….</p> <p style="text-indent: 0.38in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> Bel masuk untuk belajar kembali bergema. Semua siswa kembali ke 'kandang' mereka masing-masing untuk meneruskan paruh waktu kedua mereka belajar di sekolah.</p> </td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-18722454090351068782009-06-09T02:52:00.001-07:002009-06-09T02:52:20.008-07:00Lembaga Survey dan Politisme Gerbong Lokomotif<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><meta http-equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.4 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify">Usaha untuk mencapai RI 1 & 2 nampaknya seamkin bergelora. Berbagai kesibukan dan cara untuk mendulang suara agar sukses di pilpres tujuh Juli nanti gencar dilakukan oleh masing-masing tim sukses pengusung dari ketiga capres dan cawapres. Dari mengeluarkan materi untuk membayar konsultan politik hingga memberi <i>support</i> pada lembaga-lembaga survey yang mereka anggap dapat menaikkan polpularitas mereka.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Lalu, di manakah pisisi lembaga-lembaga survey yang katanya bersikap netral itu? Benarkah mereka netral dan murni atas tujuan mencari data?</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Nampaknya tidak begitu. Sejak semakin hidupnya demokrasi di Indonesia. Dari semaraknya pilkada di daerah kota/kabupaten dan propinsi hingga perolehan kursi partai di legislatif. Lembaga-lembaga survey di Indonesia bak kerbau yang di cocok hidungnya. Dengan proyek yang dapat menghasilkan dan menggemukkan kantong-kantong pribadi mereka, kesan netral itu tak lagi ada. Masing-masing memiliki pandangan berbeda sesuai dengan siapa yang menyokong proyek mereka, maka itulah yang akan mereka tingkatkan dan perjuangkan agar dapat menjadi raja-raja kecil dalam pilkada dan mendulang suara dalam kursi legislatif. Lembaga-lembaga survey di Indonesia mungkin sudah menganut paham politik gerbong lokomotif. Mereka menuruti saja apa kata 'masinis' yang menderek mereka dengan berlomba menampung suara untuk mempengaruhi masyarakat agar memihak pada lokomotif yang mendanai mereka.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Mungkin kita belum lupa, bagaimana LSI dan LRI <i>jor-joran </i>mempertontonkan hasil pemungutan data mereka terhadap kecondongan masyarakat Indonesia pada capres dan cawapres<i> </i>yang akan bertarung pada tujuh Juli nanti. LSI memperlihatkan bahwa SBY-Boediono akan unggul dalam satu putaran dengan suara kurang lebih 71 %. Sedang LRI tak mau kalah, lembaga ini juga memperlihatkan bahwa perbedaan masing-masing kandidat hanya beda tipis sekitar sepuluh persen, artinya akan ada dua putaran dalam pilpres nanti. Sejauh manakan elektabilitas kesesuian data mereka terhadap idealisme dan pengaruh finansial? Kita pernah dengar bahwa LSI didonaturi oleh konsultan politik yang digandeng oleh pasangan SBY-Boediono. Sedang LRI pernah dipakai Jusuf Kalla dalam pilpres 2004 lalu ketika dia bersanding dengan SBY.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Masih netral dan murnikah acuan data yang diberikan lembaga-lembaga survey ini? Atau ini hanya menjadi proyek besar untuk menghidupkan kantong-kantong mereka?</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Jawabannya tetap ada pada masyarakat pada tanggal tujuh juli nanti. Masyarakatlah yang menentukan pilihan mereka meski lembaga-lembaga survey itu tetap bagai kerbau yang dicocok hidungnya dan sedang menganut paham politik gerbong lokomotif.</p> </td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-12428883526128133542009-06-09T02:51:00.001-07:002009-06-09T02:51:31.531-07:00Layakkah UKI dan YAI Dipertahankan?<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><meta http-equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.4 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify">Kalau dahulu orang tua kita menasehati anak-anaknya untuk belajar yang rajin dan untuk meraih cita-cita setinggi langit, itu adalah hal yang istimewa. Dan belajar dengan rasa senang, ceria dan menumbuhkan etos menuntut ilmu yang tinggi itu adalah harapan dari setiap penuntut ilmu. </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify">Lalu apa tanggapan orang tua dan kita yang mencintai ilmu bila ternyata harapan itu ternodai dengan aksi premanisme dan brutalime cecunguk-cecunguk anak kerdil yang mengaku dirinya mahasiswa. Maha, satu kata yang identik dengan kedewasaan, kemampuan, dan kesiapan untuk menguraikan masalah menjadi buliran solusi dan kesepahaman. Mahasiswa yang sepatutnya menjadi contoh tauladan bagi adik-adik pelajar yang sedang giat-giatnya menuntut ilmu dan mengembangkan diri dengan contoh tauladan yang elegan. Ternyata malah menyumbangkan ribuan masalah diantara jutaan masalah yang semrawut di negeri ini. Bila anak kecil yang bemusuhan secara anarkis dengan teman mainnya saja dimarahi oleh orang dewasa, lalu dengan marah seperti apa yang harus dilakukan bila ternyata yang melkoni tindakan anarkis dengan tawuran antar kampus tersebut adalah mahasiswa? Yang menyesakkan dada adalah tawuran yang dilakukan oleh mahasiswa kedua kampus tersebut kerap berulang kali dilakukan seolah-olah itu adalah budaya turun temurun yang wajib dilestarikan kepada adik-adik kelas mereka. Aksi membusungkan dada yang terakhir malah harus membumihanguskan gedung salah satu kampus dari mereka akibat ulah seremonial sesat itu.</p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify">Bila itu masih akan terjadi, dan tampaknya memang akan terus berlanjut. Padahal berbagai tindakan untuk meredam hal itu telah memakan waktu dan materi yang tidak sedikit. Dan bila ternyata tujuan lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi tersebut tidak mampu menghasilkan kader-kader masyarakat yang mampu memberi solusi bagi masalah di negeri ini, justru malah sebaliknya semakin memambah masalah dan kesemrawutan tatanan masyarakat. Maka pemerintah dalam hal ini kementerian pendidkan harus mengambil sikap yang tegas. Apakah kedua perguruan tinggi tersebut masih layak dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang menumbuhkan kecerdasan bangsa atau harus mencabut izin kedua lembaga pendidikan tinggi tersebut?</p> </td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-31364565242846590262009-06-09T02:50:00.001-07:002009-06-09T02:50:42.121-07:00Bukan Sembarang Cincin<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><meta http-equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.4 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify">Siapa yang tidak suka bila diberi hadiah cincin? Apalagi kalu cincin itu cincin emas. Jelas sebuah anugerah yang luar biasa mendapatkan cincin emas gratis tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Lagi-lagi dramatisme yang akan dipertontonkan oleh wakil rakyat di Istana DPR Senayan. Dengan dalih penghargaan atas kinerja dan pelayanan pada masyarakat selama 5 tahun sejak 2004, mereka sepakat untuk memberi souvenir akhir jabatan berupa cincin emas kepada masing-masing anggota dewan sebesar sepuluh gram. Hhhuwaaw… hebat sekali. Ternyata belum kurang juga setelah dramatisme yang mereka gelontarkan setahun yang lalu tentang renovasi rumah dinas yang menghabiskan anggaran negara puluhan rupaih.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Yang lebih hebatnya, anggaran yang bakal mereka keluarkan untuk cincin emas ini sekitar lima miliyar rupiah. Siapa yang tak heran dan bertanya, memang apa yang telah mereka kerjakan selama lima tahun duduk di kursi empuk itu? Benarkan mereka telah memperjuangkan aspirasi rakyat? Kalau ia, aspirasi rakyat mana yang mereka perjuangkan. Ratusan rancangan undang-undang masih berserakan, terlebih rancangan undang-undang anti korupsi yang tak kunjung usai.</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Tak ingatkah mereka bagaimana kasus lumpur lapindo menyisakkan kesengsaraan yang menghujam dalam kemiskinan dan kesengsaraan bagi masyarakat yang merasakan? Atau mereka tak bicara sedikitpun tentang pertahanan NKRI dan pulau-pulau Indonesia yang terancam punah karena beralih status menjadi milik Negara lain?</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Bila mereka berdalih bahwa souvenir cincin emas yang akan diberikan adalah kewajaran atas kinerja mereka selama lima tahun. Maka kita sebagai masyarakat juga wajar bila mempertanyakan "Tidak puaskah mereka mendapatkan imbalan dan tunjangan di atas kesengsaraan dan peluh darah dan air mata masyarakat Indonesia?"</p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"> Memang cincin adalah benda biasa. Tapi bukan sembarang cincin bila itu dikhususkan bagi mereka dengan dalih penghargaan atas prestasi kinerja mereka di sana</p> </td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-15024865720551723692009-06-08T02:09:00.001-07:002009-06-08T02:09:46.732-07:00Perawat Nusantara di Bawah Tekanan Perawat Asing<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm" align=justify> Tanggal 1 Januari 2010 akan menjadi boomerang bagi Perawat Indonesia. Pasalnya, di tanggal tersebut kesepakatan perjanjian antar 10 negara ASEAN tentang profesi perawat akan ditandatangani. Beruntung bagi negara-negara yang sudah memiliki undang-undang yang mengatur kompetensi profei perawat dalam negerinya. Sebab, dengan ditandatanganinya perjanjian ini, otomatis perawat-perawat asing boleh masuk dan bekerja di Indonesia. Lalu bagaimana dengan perawat Nusantara? Kemauan pemerintah, dalam hal ini lembaga legislatif sepertinya tidak pernah bergerak untuk mengatur atau memperjuangkan undang-undang keperawatan (profesi perawat). Padahal rancangan undang-undang ini sudah menua sejak ahun 2005. Peraturan tentang profesi keperawatan baru sebatas keputusan menteri dan dimasukkan dalam undang-undang kesehatan yang belum memihak pada profesi perawat. </DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm" align=justify> Lantas, apa yang akan terjadi ketika perawat-perawat asing masuk ke Indonesia tahun 2010 nanti? Memang masalh kompetensi dalam berbagai skill kita dituntut untuk berkompetisi. Akan tetapi, ketika perawat nusantara berkompetisi dengan perawat asing padahal belum ada undang-undang khusus yang melindungi dan mengatur profesi keperawatan di Indonesia, bisa menyebabkan perawat nusantara berjibaku dengan zero option yang menelantarkan mereka pada profesi yang dimiliknya.</DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm" align=justify> Sebab, itu terbitnya undang-undang keperawatan yang menyusun peraturan dan perlindungan secara adil da sejahtera bagi perawat nusantara adalah hal yang penting dan didahulukan sebelum kesepakatan tanggal 1 Januari 2010 nanti ditandatangani agar perawat nusantara tidak menjadi budak di negerinya sendiri.</DIV></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-62401072724626549662009-05-15T02:53:00.001-07:002009-05-15T02:53:28.286-07:00World Ocean Conference 2009; Bukan untuk Nelayan Tradisional<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm">Kemarin, tepatnya Kamis, 14 Mei 2009, Konferensi Kelautan Tingkat Dunia di buka Oleh Presiden RI -SBY- di Manado. Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan menteri kelautan dan perwakilan lembaga pariwisata dari kurang lebih 150 negara ini akan membahas perubahan iklim yang ikut mempengaruhi ekosistem maritim juga membahas pelestarian terumbu karang yang akhir.</DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm">Semua berkumpul seolah ikut perhatian dengan kondisi Iklim yang sekarang mengalami perubahan drastis. </DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm"><BR></DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm">Bagi Indonesia, mungkin acara ini hanya sekedar pemanis dan cari muka dihadapan pergaulan dunia. Sejak kapan Indonesia peduli dengan kondisi maritim dan pelestarian terumbu karang yang tersebar di pelosok negeri Bahari ini? Jangankan memeperhatikan kondisi Maritim dan perubahan terumbu karang, memperhatikan nelayan tradisional yang notabene banyak mempengaruhi ekonomi di sektor riil, pemerintah seakan b\membungkam mulut dan tak mau tahu. Maka tidak heran bila luas batas lautan dan kepulauan NKRI seiring beranjaknya waktu bak negeri yang tak memiliki tuan empunya.</DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm"><BR></DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm">Tak terdengar dan tak terlihat, seberapa besar perhatian pemerintah untuk melibatkan nelayan tradisional dalam WOC kali ini. Jika boleh mengeluh, sebenarnya nelayan tradisionallah yang mengalami stag mental atas perubahan iklim di dunia ini. Sebab di sanalah ujung tombak pendapatan mereka. Tetapi ironis, pemain utama dalam 'ceita misteri' ini tidak dilibatkan. Jangan bicara soal bagaimana mereka harus bertaruh prediksi atas kondisi alam yang tidak menentu saat ini. Memikirkan bagaimana untuk mendapatkan bahan bakar yang murah untuk melaut saja harus bergelut dengan asa dan rongrongan isi kantong tipis mereka.</DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm"><BR></DIV> <P style="MARGIN-BOTTOM: 0cm">Lantas akankah WOC 2009 ini benar-benar memberikan solusi bagi nelayan tradisional atas kegundahan hati mereka. Atau hanya sekedar pemanis bibir dan tak menghasilkan kebijakan yang tegas atas oknum-oknum yang selama ini mengambil keuntungan pribadi dari terumbu-terumbu karang dan penjualan pulau-pulau kebanggaan NKRI.</DIV></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-58443050857411368662009-05-11T02:46:00.001-07:002009-05-11T02:46:09.642-07:00Satu Ladang Satu Harapan<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><DIV>Di atas sana</DIV> <DIV>Di awang-awang kegundahan mentari</DIV> <DIV>DI balik terpaan awan siang yang menyengat</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Satu langkah lunglai</DIV> <DIV>Namun pasti menapaki beribu langkah</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Dia terlihat lunglai</DIV> <DIV>Mungkin memang senja memasaknya</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Sedikit berbaring ia menghilangkan peluhnya</DIV> <DIV>Satu ulir rumput ia masukkan di ujung mulutnya</DIV> <DIV>Entah karena lapar dan haus </DIV> <DIV>Atau memang tak ada teman untuk mnegisi sisa-sisa hari</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Buratan garis di wajahnya memastikan dia tersesat</DIV> <DIV>Tersesat jauh karena hampa dan rindu</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Siapa peduli</DIV> <DIV>Siapa terpana</DIV> <DIV>Siapa menaruh iba</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Hanya angin sore dan sisa sinar senja</DIV> <DIV>Menaruh iba dari balik bukit</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Satu ratapn terlihat dari ujung mata sayunya</DIV> <DIV>Satu celoteh tampak dari daun telinganya</DIV> <DIV>Satu perasaan duduk di tengah mulutnya</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Mungkin ungkapan itu</DIV> <DIV>Yang mampu menemani kesendiriannya</DIV> <DIV> </DIV> <DIV>Dia tetap tersenyum</DIV> <DIV>Senyumnya memang sendu</DIV> <DIV>Bila memang hanya senyum yang membuatnya cerah</DIV> <DIV>Mungkin secerah itulah ia memandang</DIV> <DIV>Hasil kekayaan hamparan ladang yang luas</DIV> <DIV>Yang ia sisakan untuk ank cucunya</DIV> <DIV> </DIV> <DIV> </DIV> <DIV> </DIV></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-46841631109373940252009-05-10T21:50:00.001-07:002009-05-10T21:50:55.749-07:00Senja Itu Menghilang di Situ Gintung<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><DIV>Dulu burung-burung sore menghibur kami... dulu ikan-ikan kecil menghibur kami sambil melompat ke udara menghirup udara lepas.... dulu angin lembut membelai kulit-kulit kami yang gersang terjilat mattahai... dudlu kami asyik becanda dan beseluh kesah dalam damai dan liukan kejaran air yang enggan menepi... dulu kami mengejar layang-layang dan mandi melompat terjun dan membentangkan tang seluas kami memamndang...</DIV> <DIV>Tapi kini...itu semua hanya khayalan kami yang porak poran da atas keserakahan pengusaha perumahan dan anjing-anjing kelurahan yang sengaja mengeluarkan IMB tanpa aturan dan memang melanggar aturan..</DIV> <DIV>Dan.. kini SITU GINTUNG kami hanya senonggok perahu besar yang ksong tanpa isi dan terseok untuk melangkah dan mengejar asa, menghibur dan membimbing kami akan sikap peduli atas anugerah Ilahi atas alam yang telah dilimpahkan pada kami..</DIV> <DIV>Kutunggu ka wahai para pembual yang kongkalikong dengan mereka-kereka yang saat ini mengambil cita dan harapan akami atas keteduhan DAnau kami.... Kami akan selalu ingat wajah kalian yang terus merampasa danu kami demi rupiah yang akan hilang diterpa masa.....</DIV> <DIV>KAmi akan selalu ingat... dan akan kami ingat..... dan ingatan kami tak kan lepas dari pekerjaan jijik kamila yang kalian wariskan pada darah daging kalian...</DIV></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-82954017931246440282009-05-10T21:45:00.001-07:002009-05-10T21:45:34.412-07:00Simsalabim.....<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;">Seminggu, sebelum Ujian Nasional di mulai.... semua sekolah berbenah.. berbenah bukan karena kesadaran penuh untuk menanamkan kedisiplinan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan sekolah. Tapi hanya sekedar mengusir rasa 'tidak enak' bila sekolah tak sedap dipandang oleh mata si pengawas uhian dari sekolah lain.. Itu yang terlihat di sekolah-sekolah wilayah Ciputat pekan lalu. Tak tanggung-tanggung semua siswa dikerahkan untuk membantu dalam pengecatan tembok sekolah.. yang lebih ngenes lagi, mereka dimintai iuran untuk membeli cat itu. Dengan dalih "gotong royong" si siswa hanya bisa nerima dengan tenggorokan yang agak kelu. Gotong royong beginikah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita?<BR>Dan gotong royong pun berlanjut dalam "upacara suci" yang digelar sejak hari kemarin.. Setiap sekolah berusaha memberi pelyanan yang terbaik untuk makhluk2 pengawas dari sekolah lain. Mereka bilang itu sebagai sikap loyalitas tehadap tamu. Padaal, dalam kesehariannya, sekolah tidak memberikan pelayanan yang terbaik pada masing-masing guru yang memang mereka mengabdikan ilmunya pada sekolah itu, meski berpuluh tahun mereka bersimbah luka dan ar mata. Tak jarang pula makhluk2 pengawas dari luar sekolah tersebut diberi unag transport... Apa lagi ini? Seolah budaya kongkalikong yang berujung pada budaya korup di negeri ini memang sudah diajarkan dalam dunia pendidikan.<BR>Satu hal lain yang lebih ironis..... beberapa sekolah membuat kesepakatan untuk tidak tegas dalam mengawas peserta ui\jian, mereka bilang agar anak-anak didik mereka lebih tenang dalam ujian.. Wooww... apa benar ini memang keadaan di negeri kita? Kadang soal ujian bocor bukan karena musim hujan yang menggerus, tapi memang di dukung oleh si buaya-buaya kerdil yang takut sekolah mereka tercoreng bila anak-anak didik mereka tak lulus. RAsanya tim sukses bukan saja ada dalam pemilu, tapi memang masuk dalam setiap lini kehidupan negeri ini. Dan sepertnya seberapapun besar anggaran pendidikan di negeri ini, tidak akan mampu merubah sikap acuh dan mental budak penduduk negeri ini tak akan hengkang. Dan rasanya, anak cucu kita akan tetap mewarisi budaya ini... Dan inilah kegagalan dunia pendidikan kita dalam membangun generasi berpotensi... Dan kini aku hanya cukup tahu.. Inilah wajah negeriku.</td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-76668369433452980192009-05-10T21:36:00.001-07:002009-05-10T21:36:28.881-07:00Saat PDIP Bertekuk Lutut di Hadapan DEMOKRAT<table cellspacing="0" cellpadding="0" border="0" ><tr><td valign="top" style="font: inherit;"><BLOCKQUOTE style="PADDING-LEFT: 5px; MARGIN-LEFT: 5px; BORDER-LEFT: rgb(16,16,255) 2px solid"><BR><BR> <DIV id=yiv1499646233> <TABLE cellSpacing=0 cellPadding=0 border=0> <TBODY> <TR> <TD vAlign=top> <DIV>Ketetapan KPU pusat atas hasil suara pemilu legislatif 9 April 2009 lalu nampknya membuat peta politik Indonesia kian beranjak terseok. Terseok karena partai yang tidak disadari mampu memenangkan pemilu 2009 mengungguli 2 partai yang selama ini menganggap dirinya besar. GOLKAR dan PDIP hanya mendulang 14 persen suara jauh 6 persen di bawah Demokrat.</DIV> <DIV> PDIP yang sejak kalah dalam pemilu 2004 lalu terus menyerang dan mengkritik DEMOKRAT, sekarang bak seekor anjing yang memakan muntahnya sendiri. Entah karena takut tragedi kekalahan 2004 terulang atau memang basis massa yang mereka miliki sudah luntur diterjang kebijakan dan figur dalam partai yang tidak progresif. PDIP kini mencoba untuk berdekatan dengan DEMOKRAT, mungkin memang karena takut tidak mendapatkan kue kekuasaan kembali pada pilpres 2009. Tak heran bila koalisi dengan GOLKAR, HANURA dan GERINDRA terlihat stag dalam menentukan pasangan yang mampu menandingi SBY. GOLKAR pun yang sudah tidak berdekatan lagi dengan DEMOKRAT seakan tak mau ketinggalan mencari muka dihadapan partai-partai lain, meski sebenarnya kondisi dalam partai ini pun terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung Calon presiden mereka.</DIV> <DIV> Sangat Ironis bila partai yang selama ini selalu mengkritik dan mengolok-olok kebijakan pemerintahan SBY, ternyata malah mengaku kalah dan bertekuk lutut sebelum kompetisi RI 1 di mulai. Terlihat jelas ketakutan PDIP yang sedang dalam posisi di ujung tanduk kelesuan para pendukungnya. PDIP seakan tak memiliki gairah lagi dalam berpolitik di negeri ini, terlebih ketika bimbang dalam menentukan koalosi. Dengan enteng PDIP menyatakan bahwa statement yang diluncurkan beberapa bulan lalu terhadap kebijakan Pemerintahan SBY sebaiknya dijadikan cerita masa lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa PDIP dan GOLKAR hanya akan menjadi partai slogan dan isu yang tak menarik untuk dilihat.</DIV> <DIV> Mengakui kekurangan dalam berpolitik itu wajar. Namun, bertekuk lutut setelah melihat penurunan suara dan setelah mengkritik habis-habisan pemerintahan SBY jelas hanya menunjukkan bahwa PDIP tak lebih dari sekedar partai gerbang lokomotif yang hanya menjadi "domba sesat' untuk kebijakan pragmatis.</DIV></TD></TR></TBODY></TABLE><BR></DIV></BLOCKQUOTE></td></tr></table><br> Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-60698210858401200502009-02-19T00:57:00.000-08:002009-02-19T01:05:10.442-08:00Empat Dara di Jababeka<div align="justify"> Pagi masih menyisakan hawa dingin dan berkabut. Beberapa parkit liar saling beradu suara melawan dingin yang kian lama menembus isi perut. Hilir mudik angkot dan rengekan suara bising kendaraan kota mulai merayap beradu dengan kepulan asap dan sedikit debu yang buyar tertiup angin pagi. Pemandangan Depan Kampus UIN Ciputat pun mulai semrawut.<br />Pagi ini, Wardah, Fina, Ida dan Cita hendak berburu tempat PKL demi nilai atas studi S1 mereka. Anak-anak spesialisasi Gizi ini katanya kuliah di UIN Ciputat. Dan katanya juga Fakultas Kedukunan dan Ilmu Kesetanan (eh.. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) Jurusan Kesehatan Masyarakat…. </div><div align="justify"><br /> Wardah, nama aslinya Wardah Hamidah Di Atas Sajadah Bersimbah Darah. Konon namanya diambil karena Wardah lahir di atas sajadah, saat ibunya sedang shalat, wardah mo ikut shalat juga.. Ya jadi dikekeluarin lah ia di sana Katanya wanita satu ini udah punya pacar dan mau serius mo mampus.. eh… mau married.</div><div align="justify"> Nah yang ini Fina, nama aslinya Finambah Vitamin dan Tenaga. Konon nama Fina diambil dari sebuah produk penambah tenaga yang sering muncul di TV. Nah.. pas waktu itu, ibunya sedang ngandung dia dua bulan. Karena pengen anaknya kuat dan gendut, akhirnya dinamain-lah dia seperti di atas. Fina jomblo tulen karena belum punya pacar atau emang gak ada yang mau jadi pacarnya. </div><div align="justify"> Makhluk yang berikut ini Ida, nama aslinya Idalam Banget Tuh Sumur. Konon nama Ida diambil dari sebuah sumur tua bekas zaman penjajahan Belanda. Sumur itu katany tempat eksekusi para penjahat perang. Kasian amat ya si Ida. KAtanya si cewek ini juga udah punya pacar…. Pacar Cina atau pacar Arab, gitu.<br /> Eit… ada satu lagi. Yang ini Cita, nama aslinya Citarum Ciputat Cileduk Tangerang. Konon namanya diambil dari salah satu sungai yang mengairi sawah di tangerang dan bermanfaat banget buat warga di sana. Konon juga Kata Cita diambil dari nama hewan peliharaannya Tarzan – Cheetah – hii…hii…</div><div align="justify"><br /> Matahari pagi mulai naik. Hawa sekitar pun sudah menimbulkan gerah dan keringat. Wardah, Ida, Fina dan Cita bergegas memeriksa perbekalan mereka untuk PKL dan menjadi anak kos di kota seberang. "Woi.. cepet dong, gerah nih!" usik wardah yang dari tadi ngiba-ngibasin ujing jilbanya ke jidad.<br />"Iya… Iya… tunggu ngapa? Kan bawaannya berat," balas Cita yang dari tadi sibuk nenteng-nenteng tas ransel yang segede gajah lagi hamil seratus tahun.<br />Patas 21 memunculkan diri dihadapan mereka. Keempat cewek centil itu segera menaiki barang-barang bawannya dan segera mencari tempat duduk yang enak. Sayang, sisa tempat duduk kosong tinggal 3, al hasil, si Fina yang badannya gede ngalah, untuk sementara berdiri ria sampai Blok M. "Ye.. Abang, katanya kosong?" sindir fina pada si kondektur bus. "Tadi sih kosong, eh.. pas eneng naik rasanya nih patas jadi kayak bajaj," canda kondektur yang gak mau kalah.</div><div align="justify"><br /> Jam menunjuk ke arah angka sembilan. Perjalan ke Blok M terasa perjalanan ke Timor Timur. Karena bau asap rokok dan berbagai aroma nano-nano membelai hidung seluruh penumpang yang berada dala patas 21. "Da, bagi tisu, dong," pinta cita pada Ida. Ida yang lagi tidur-tidur ayam jadi malu diliatin orang di sampingnya. "Duh, susah ngambilnya," bales Ida. Cita Cuma diem seribu bahasa menahan bau asap dan keringat….</div><div align="justify"><br /> Terminal Blok M masih semrawut. Sedang puncak-puncaknya aktivitas warga Jakarta dan pinggiran Ibu Kota berebut mencari gaji dan insentif. Asap kendaraan makin tebal dan terik mentari makin menjitak kepala. Tiba di terminal Blok M, keempat cewek centil itu langsung naik ke patas AC 121. Mereka hendak bertolak ke Cikarang menuju Jababeka Distrik… Disetrika Majikan atau Distrik apa gitu. Pokoknya tujuan mereka Cuma satu cari tempat PeWe di Patas AC 121. Ida, wardah dan Cita langsung loncat ke dalam Patas. Fina yang badannya agak-agak besar cuma nyibirin bibirnya entah ngomong apa. Sejurus kemudian keempat cewek centil itu dapet juga tempat yang PeWe. "akhirnya… dapet duduk juga gue," lontar Fina sambil membanting tubunya ke kursi patas. Untung tuh kursi gak patah karena beban yang di embannya berat juga.<br /> "Da, bagi tisu, dong" tagih Cita ke Ida yang tadi gak jadi ngasih tisu karena alasan susah ngambilnya. "Nih…" lembaran tisu diulur tanpa liat yang di kasihnya. "Yah, kok sebelah…?’ melas Cita ke Ida. "Iye… tinggal satu, bagi dua ama gue," bales Ida yang juga kegerahan. "Nih… nih… jangan ribut," sebungkus tisu dari Fina mampir ke pangkuan Cita. Sedetik kemudian muka Cita ceria kembali walaupum dalam hatinya, dia merasa kehausan. Cuma takut, mau bilang haus nanti malah dibilang manja.</div><div align="justify"><br /> Patas AC 121 mulai penuh. Hawanya memang agak berbeda dari patas 21 yang sebelumnya gak pakai. AC. Ida mulai keriep-keriep matanya. Ternyata tidur ayam yang tadi diganggu Cita belum terlampiaskan. Makanya dia mau nyelesain semedinya di patas ini. Wardah yang duduk di samping Ida ikut ketularan penyakit ayam yang diderita Ida. Fina dan Cita masih asyik ngobrol-ngobrol ria sambil memasukkan cemilan ke dalam lumut – eh mulut- mereka. Maklum kedua orang ini emang hobi makan banyak kalo lagi di dalam kendaraan. Sampe-sampe meskipun nggak ada makanan di situ, pasti tisu dan bungkusnya jadi santapan mereka saking doyannnya sama makan kalo lagi di kendaraan…</div><div align="justify"><br /> Sekitar dua jam dalam Patas AC 121, akhirnya mereka tiba juga di kawasan industri Jababeka, Bekasi. Ida dan Wardah yang masih pules langsung dibangunin sama Fina dan Cita, "Woi… bangun… bangun. Udah sampe!" "Uuaaahhh….. cepet banget?" saut Ida dan Wardah Kompak. "Kalian sih, tidur. Jadi rasanya sebentar," gerutu Cita sambil mengambil tas ranselnya.<br /> Keempat cewek centil ini segera turun. Mereka langsung dikerubuti tukang ojek bak artis turun dari pesawat dilempar dari ketinggian seribu meter. "ojek, Neng?" tawar si tukang ojek. "Jababeka, Neng?’ tawar ukang ojek lainnya. "Ojek ini pake paket plus, Neng. Bisa lewat sawah?" tawar tukang ojek yang lainnya lagi. "Tau Blok QQ, nggak, Bang" Wardah langsung memutus ocehan pahlawan roda dua itu. "Iya, tau, Neng," tangkap tukang ojek ang katanya ojek plus itu. Akhirnya mereka menyewa empat ojek yang katanya plus demi menemukan tempat kosan yang asyik.<br /> Benar ternyata, ojek yang mereka tumpangi bener-bener plus. Mereka di ajak melewati pinggiran sawah yang menghampar luas seolah membelah gunung. Keempat cewek centil itu tersenyum-senyum kegirangan karena merasa hawa sumpek sejak di perjalanan tadi sudah dapat terobati karena naik ojek plus itu.<br /> Tiba di Blok QQ, keempat cewek centil itu langsung membayar upah sewa ojek plus mereka. "Berapa, Bang?" Tanya Cita selaku bendahara dadakan. "Dua puluh ribu, Neng." jawab si tukang ojek dengan semangat. "Yah, mahal amat, Bang. Kurangin dong?" pinta Cita sambil memelas. "Wah, biasanya malah tujuh ribu satu orang. Ini mah karena Neng-Neng tamu special jadi di kasih murah," diplomasi si tukang ojek. Akhirnya dengan rela Cita ngeluarin duit dua puluh ribuan dari tas ranselnya dan langsung dikasih ke tukang ojek plus itu. "Ma kasih, Neng" ucap tukang ojek. "Sama-sama, Bang" bales Cita.<br /> "Eeemmm, Neng.. Nanti pulangnya mau dijemput pakai ojek ini lagi, gak? Kalo mau kami kasih nomor HP kami nih?" tawar si tukang ojek yang lain. "Gak usah, Bang. Biar nanti kami cari aja pas pulang, lagian kami belum tau pulang lagi kapan," balas Cita dengan santun demi menjaga harga dirinya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena memanfaatkan nomor HP-nya untuk tindakan kriminal. Tuang-tukang ojek itu pun langsung pamit dan pergi kembali ke pangkalan mereka….</div><div align="justify"><br /> Jingga mulai menutupi sore. Keempat cewek centil baru saja menemukan PT. Intrafood Jababeka tempat mereka akan menimba ilmu dan mengharap nilai terbaik. Untuk sementara mereka tinggal di kosan yang ditunjuk oleh perusahaan. Perwakilan dari perusahaan langsung mengantar mereka ke kosan yang ditunjuk untuk istirahat sebelum besok observasi lingkungan perusahaan. Tiba di kosan itu, tubuh Fina langsung bergidig, dan wajah ketiga cewek lainnya berubah setelah melihat keadaan kosan yang sebenarnya bisa dikatakan bukan kosan, tapi gudang untuk menaruh sisa-sisa produk bahan-bahan produksi yang sudah kadaluarsa. Dengan pasrah mereka masuk dan tinggal sementara di tempat asing itu. Perwakilan dari perusahaan pun langsung pamit dan kembali ke rumahnya.<br /> "Da, kita cari kosan lain, yuk.." rayu Wardah ke Ida. "Uaahhhh… tolong….." jerit Fina. "Ada apa, sih..?" wajah panik ketiga cewek lainnya mendekat ke Fina. "Itu… kecoak banyak banget.." Keempat cewek centil itu pun langsung teriak dan menjerit bersama. "Uuuaaahhhh…… Mamaaaaahhh….. Papaaaaaa……. Nyaaakkkk…… Uuuueeehhhhkkkk…" keempatnya tak sadarkan diri sampai seeekor tikus sawah membangunkan mereka. "Uuuaaahhhh….. toloooong….. ada tikus…." Akhirnya keempat cewek centil itu sadar lagi dan mengambil sapu, kayu, taplak meja, bahkan si Fina yang badannya besar tapi sama tikus aja takut langsung ngankat meja dan di usirnya tuh semua makhluk pengerat yang sejak tadi menggoda mereka. Si tikus yang kaget melihat monster mengangkat meja langsung lari terbirit-birit masuk kembali ke lubang-lubang persembunyian mereka. "Wuihh… hebat lho, Fin. Gak sia-sia doyan makan," puji Ida. "Iya, gak Cuma gede badan doang," sahut Cita. "Tapi,sayag, berani sama tikus tapi takut sama kecoak," celetuk Wardah. "Apa loe bilang?" bales Fina sambil mengangkat meja kembali dan mngarahkannya ke Wardah. "Eeehh… ngg… nggak.kok… Fina hebat," rayu Wardah karena takut di lempar pake meja. Keempat cewek itu langsung beres-beres dan mempersiapkan rencana observasi esok hari….</div><div align="justify"><br /> Hari pertama observasi di mulai. Keempat cewek centil itu bergerak menuju Kantor. PT. Intrafood Jababeka. Baru sekali masuk, mata-mata iseng karyawan laki-laki PT ini langsung menggona keempat cewek centil itu. "Ehh.. ada cewek-cewek cantik," celetuk salah satu karyawan laki-laki yang lagi bungkusin kerupuk. Karena saking asyiknya mandangin ‘empat makhluk halus’ dia lupa kalo kerupuk yang dibungkusnya bukan masuk ke plastik tapi malah masuk ke kaos kakinya yang dia simpan di bawah meja. "Sukur, loe. Dasar mata jelalatan" celetuk Cita. Si laki-laki pembungkus kerupuk itu langsung merah wajahnya karena diketawain temen-temennya.<br /> Keempat cewek centil ini langsung ditemukan dengan seorang perempuan yang katanya manager di sana. Katanya juga sih, manager ini jutek dan gak tanggung-tanggung kalo marahin orang. Kalo ada yang berbuat salah atau berani menantang, seratus persen bakal kena damprat dan langsung dimasukkan ke dalam mesin penggiling beras olehnya. Ihh… killer abis.<br /> Keempat cewek centil dikenalkan dengan berbagai produk dan bahan pembuatnya. Juga dikenalkan bagaimana cara menggunakan peralatan-peralatan yang baik dan semestinya. Keempat cewek centil itu akhirnya merasa kecapekan juga diajak keliling kantor perusahaaan sambil mengingat-ngingat nama produk, barang dan cara menggunakan peralatan yang lumayan rumit.<br /> Selesai observasi, mereka berempat kembali ke kosan yang ditunjuk perusahaan untuk istirahat sambil beres-beres barang bawaaan mereka untuk pindah ke kosan baru yang lebih PeWe dan manusiawi.<br /> "Ihh… amit-amit, deh gue tinggal di tempat kayak gini lagi," tegas Fina.<br /> "Iya, kalo gak karena terpaksa Gue juga males," bales Cita.<br /> "He eh, jorok abis nih tempat," ikut Ida.<br /> "Kalo gue nalah seneng di sisni karena bisa liat atraksi sirkus ngangkat meja," ledek Wardah. Muka Fina langsung merah, dan seketika atraksi angkat meja kembali terulang. Kali ini mangsanya Wardah. Wardah langsung ambil langkah seribu menghindar dari terkaman raksasa penguasa kos perusahaan. Cita dan Ida Cuma tertawa geli melihat dua tikus imut berkejaran mengelilinginya.</div><div align="right"><br /><em>- Cerita ini Cuma ilusi…. biar lebih keki….. asal gak bau terasi -<br /></em>Selamat ber-PKL ria, kawan2<strong><em> (Herwin)</em></strong> </div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-69045576145191356912009-02-04T22:48:00.000-08:002009-02-04T23:04:23.282-08:00Filsafat Pendidikan; Relaksasi Akhir Semester Tujuh<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4XQ18uZ22wI-qo4Gpd-fLFA-2HM9SNaa_c0KFN5BA6M7YScMlqKfrLu2WTMeRg-M28t9xvuB94no6bwRmORCsVO1DjOJUjm7YO8Pqvkr58FQc4zQSJ7EDDBZ85zwBPFG_kgf8A-UyYUOS/s1600-h/27012009(024).jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5299205390853680226" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 150px; CURSOR: hand; HEIGHT: 200px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4XQ18uZ22wI-qo4Gpd-fLFA-2HM9SNaa_c0KFN5BA6M7YScMlqKfrLu2WTMeRg-M28t9xvuB94no6bwRmORCsVO1DjOJUjm7YO8Pqvkr58FQc4zQSJ7EDDBZ85zwBPFG_kgf8A-UyYUOS/s200/27012009(024).jpg" border="0" /></a><br /><div align="justify"><br />Bingung! Itulah kata “kramat” yang pertama dirasakan oleh seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sebut saja Herwin. mahasiswa semester tujuh ini dihinggapi rasa bingung yang akut. Bingung bukan lantaran menghadapi UAS atau bingung bingung karena sopir angkot tidak menurunkan tariff angkotnya padahal SBY sudah melakukan inspeksi mendadak (sidak), juga bukan bingung karena belum bayar uang kuliah, apalagi bingung karena biaya PPKT di Fakultas Tarbiyah dan biaya Wisuda di UIN Jakarta amat mahal. Tapi dia bingung lantaran mendapat tugas akhir dari Dosen Filasafat Pendidikan, salah satu mata kuliah yang ia ambil –dipaksa mengambil- pada semester itu.</div><br /><div align="justify"><br />Tugas bagi seorang mahasiswa adalah biasa. Apa yang mesti dibingungkan atasnya? Mungkin itu yang terpikir di kepala orang-orang di sekitarnya. Sekali lagi, yang membuat bingung mahasiswa ini bukan soal tugas yang biasa dan memang membutuhkan referensi dan kesediaan meluangkan waktu untuk merangkum, mengetik dan memahaminya. Justru karena tugas akhir ini jauh berbeda dengan tugas-tugas biasanya.</div><br /><div align="justify"><br /><em>“senyumlah pada sepuluh orang yag kalian tidak kenal, lalu tulislah reaksi mereka orang yang kamu senyumi itu!”</em> perintah Dosen Filsafat Pendidikan itu pada mahasiswanya.</div><br /><div align="justify"><br />Inilah yang membuat Herwin kebingungan. Ilmu santet paku bumikah yang ia dapat? Aura cinta sejagadkah yang bakal ia terima? Atau sekedar bahan tertawaan orang yang disenyumi lantaran akan menganggap si Herwin gila, mahasiswa bloon –bego- sinting, atau beberapa kata lain dari planet luar yang bakal diterimanya sebagai hadiah awal tahun.</div><br /><div align="justify"><br />Tugas yang membingungkan memang. Kalau bukan karena tugas akhir atau atau segabai tugas wajib –fardhu ‘ain- 100% pasti dia bakal males dan ogah menyelesaikan tugas itu. Al hasil bin Al ajdinya, dia anggaplah tugas itu sebagai tugas dan Misi Suci dari Eyang Tanenji. Entah ilmu apa yang akan ia dapat, dan berapa kali kata-kata pujian dari planet luar yang mampir ditelinganya atau malah ada cewek-cewek sinting dan bloon yang bakal tertarik dengannya.</div><br /><div align="justify"><br /><em>“Langit atas langit bawah… petir ombak angin puyuh… Restu bundo sate padang… Pecel lele ikan bakar… Bakso urat somay ikan…”</em> entah mantra apa yang terucap di bibir Herwin untuk memulai Misi Sucinya.</div><br /><div align="justify"><br /><strong>Lelaki di seberang jalan</strong></div><strong><br /><div align="justify"><br /></strong></div>Siang makin terang. Raja Langit menjilat ubun-ubun kepala yang sejak pagi itu pusing menerima materi pelajaran di kelas. Herwin berjalan menuju Masjid Fathullah, tempat peradaban baginya untuk menghadap dan menyembah Tuhannya. Ratusan mahasiswa hilir - mudik keluar – masuk gerbang utama Kampus UIN Jakarta. Herwin salah satu darinya untuk ke seberang jalan di depan Masjid Fathullah. Entah kesamber petir apa, ia langsung teringat akan Misi Sucinya. Secepat burung gagak ia memancangkan matanya, mencari mangsa yang akan diterkamnya. Kanan kiri matanya melirik menatap dan mengurai panas matahari. Jatuhlah matanya pada sesosok lelaki di seberang jalan, berlawanan arah dengannya. Sejurus singkat dan secepat hantu karang bolong ia lemparkan senyum asamnya pada lelaki di seberang jalan itu. Reaksi apa yang di dapatnya? Lelaki yang mulanya ceria langsung berubah rona wjahnya menjadi kaku dan mencoba melirik ragu pada si pemberi senyum. Herwin tetap tersenyum dan lelaki itu terus mencoba untuk melirik, memastikan kembali, siapa sebenarnya orang yang memberinya senyum? Dengan lirik kilatnya, wajahnya semakin kaku dan entah apa yang dipikirnya untuk si pemberi senyum itu.<br /><div align="justify"><br />Herwin gondok dan jengkol (eh… jengkel) bukan main, tak ada senyum balasan dari lelaki di seberang jalan itu. Misi suci pertamanya hancur tak menimbuklan gairah.</div><br /><div align="justify"><br /><strong>Anak kecil itu berpaling</strong></div><strong></strong><br /><div align="justify"><br />Pagi masih dingin. Angin lembut diselingi sesekali rintik gerimis kecil membelai kulit. Beberapa rintik gerimis itu menimpa kaca mata Herwin dan membuatnya agak berkabut. Dia membasuh kaca matanya dengan baju yang dikenankannya. Sebentar kabut hilang, dan sebentar datang datang kembali karena rintik gerimis lagi-lagi menimpa kaca matanya.</div><br /><div align="justify"><br />Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya, Herwin berjalan dari rumah ke Gintung. Berjalan bukan kerana gak ada uang untuk naik ojeg, tapi memang tidak punya alokasi dana untuk mengeluarkan empat ribuan pada pahlwan roda dua itu. Delapan ratus meter ia langkahkan kakinya untuk berjumpa dengan sopir pribadinya -angkot- dengan tempat duduk yang nyaman, berkhayal sebanding dengan tempat duduk anggota dewan yang mendapat banyak tunjangan sana-sini, meski tak terlihat apa yang ia kerjakan untuk rakyat di sana. Walau sebelum menjabat, mereka berjanji berjuang untuk kepentingan rakyat.</div><br /><div align="justify"><br />Sepertiga akhir perjalanan adalah kegembiraan baginya. Sebab, di tempat dan jalan itulah ia bisa menghirup udara pagi dan nikmatnya pemandangan Danau Situ Gintung yang asri, meski akhir-akhir ini limbah zat-zat kimia dari gedung Fakultas Kedokteran UIN Jakarta di Kampus Dua menodainya.</div><br /><div align="justify"><br />Angin makin berhembus agak kencang. Herwin mencoba mengerak-gerakkan tangannya untuk melakukan olah raga kecil-kecilan. Sekitar tiga puluh langkah menuju jembatan beton, ia lihat seorang anak yang berjalan dengan ibunya. Sekitar delapan tahun usia anak itu. Ia digandeng ibunya, asyik bercanda dan bercanda ria laiknya anak-anak kecil lain. <em>“Inilah saatnya untuk melakukan Misi Suci kedua,”</em> ungkapnya. Senyum manis mulai mulai dia kembangkan<br />“Pikiran jorok” Herwin langsung tersirat. , kerah baju ia rapihkan. Sekitar sepuluh langkah dari anak itu, Herwin terus mengumbar senyum dan memandang anak kecil tersebut. Entah merasa takut diculik atau takut digampar, setelah berjarak sekitar lima langkah mendekatinya, anak itu langsung berpindah ke samping kiri sebelah ibunya dan memandang Herwin dari balik lengan ibunya.</div><br /><div align="justify"><br />Herwin merasa tidak enak dengan ibunya. Ia tundukkan kepalanya ketika pas bersampingan dengan anak kecil dan ibunya tersebut. Herwin terus menundukkan kepala hingga ia berjarak sekitar 6 langkah melewati anak itu. Karena masih penasaran, Herwin mencoba melihat kembali anak itu ke belakang, ternyata anak itu merubah posisinya kembali ke tempat semula dan bercanda kembali dengan ibunya.</div><br /><div align="justify"><br /><strong>Malam Minggu yang cerah</strong></div><br /><div align="justify"><strong></strong></div><br /><div align="justify">Bulan malam itu malu-malu memunculkan diri. Bercahaya cukup terang di balik gumpalan awan kecil. Bintang-bintak lentik dan imut menghiasinya, berkerlip-kerlip lincah dan manja. Jalan Cirendeu Raya tampak ramai dan macet. Pemandangan yang biasa Herwin dapati di jalan itu bila hari-hari dan malam-malam libur. Bunyi klakson, raungan motor dan mobil saling bersahutan. Dentuman sound musik penjaja VCD dan DVD bajakan menyatu menghiasi malam itu. Malam ini Herwin hendak menggenapkan hajatnya untuk membeli sepasang Kaos kaki di di salah satu tempat, dimana tempat itu adalah tempat bersejarah baginya. Bersejarah Karena waktu kelas satu SD, di tempat itulah ia pertama kali main Ding Dong, salah satu permainan yang bergengsi di zamannya. Hanya dengan memasukkan koin ratusan ke dalam kotak permainan tersebut, ia akan senang dan bersuka cita dapat bertarung dengan lawannya dlam permainan itu. Tapi, malam itu berbeda dengan masa SD dulu. Permaian di tempat itu sudah tidak ada, yang tersisa hanya tempat bermandi bola khususu anak-anak TK dan beberapa permaian baru. Dan tidak mungkin Herwin akan bermandi bola malam itu.</div><br /><div align="justify"><br />Bukan bermaksud promosi, tempat itu adalah Aneka Buana, salah satu supermarket yang telah menyatu di hati masyarakat Cirendeu, meski monopoli perdagangan meluas pada Superindo, Alfa Mart, Indomart dan berbagai jenis usaha-usaha besar yang katanya dapat mematikan usaha-usaha kecil di sekitarnya.<br /><br />Herwin mulai mengazamkan hajatnya. Ia tuju rak-rak tempat kaos kaki ditenggerkan. Dia pilih-pilih mana yang cocok untuknya. Walau sebagus apapunkaos kaki itu, tetap tak menaikkan kondisi ekonominya. Pas-pasan. Berhasil memilih satu, ia langsung meuju kasir. Dalam perjalanan menuju kasir, ia lihat tiga anak gadis seusia SMA sedang memilah-milah kalung dan gelang yang ditenggerkan pada salah satu rak besi di lantai dua itu. Inisiatif untuk menjalankan Misi Suci yang ketiga tumbuh dan merekah malam itu.</div><br /><div align="justify"><br />Herwin langsung menunda langkahnya untuk meuju kasir. Ia ambil posisi yang dapat dilihat salah seorang dari tiga gadis seusia SMA itu untuk menbar senyumnya. “Here I’m Herwin… I’m Here to you…” ungkap dalam hatinya. Ia pura pura memilih-milih baju, seolah ingin membelinya. Padahal uang di kantongnya hanya cukup untuk membeli sepasang kaos kaki dan sisanya mungkin bisa untuk membeli semangkuk bubu kacang hijau Madura.</div><br /><div align="justify"><br />Ia coba melirikkan pandangannnya ke salah satu gadis itu, belum ada yang memperhatikannya. Dia coba lagi mengatur posisi, dan tepat. Salah seorang gadis dari mereka menangkap senyum Herwin. Dan gadis itupun membalas senyumya. “Eureka… I found it!!” Herwin langsung bergegas menuju kasir dan membayar sepasang kaos kakinya. Sambil menunduk, Herwin istighfar, jarena tidak menjaga kode etik sebagai mahasiswa UIN Jakarta yang katanya pandai menjaga pandangan; gadhul bashar, Bu!</div><br /><div align="justify"><br /><strong>“Jamu, Mas?”</strong><br /></div><br /><div align="justify">Pagi itu, Jakarta masih macet, yak berkurang meski Fauzi Bowo menerapkan kebijakan jam masuk lebih awal bagi pelajar sekolah di Ibu Kota ini. “Bagaimana macet bisa berkurang kalo kebijakan import kendaraan bermotor gak dibatasi dan pajaknya semakin murah,” sungut herwin dalam hati.</div><br /><div align="justify"><br />Hampir satu jam ia dalam bus jurusan Lebak Bulus – Kota. Pagi itu ia sengaja melegalkan diri berdesak-desakkan dan berdiri dalam bus umum untuk menuju ke Harco Mas Mangga Dua, bukan mau cari VCD-DVC atau software bajakan, tapi ia menyengaja ingin membeli Hardisk 80 G’Ziget IDE’ model lama di sana. Maklum, Hardisk 5 G di computer jadulnya udah gak bisa nampung data.</div><br /><div align="justify"><br />Sumpek dalam bus, sudah biasa. Yang membuat melas hati Herwin adalah bau asap rokok. <em>“Kurang ngajar juga nih orang, ngerokok semabrangan. Gak tau aturan apa?”</em> maki Herwin dalam hati. Tak berguna lagi peraturan pemprov DKI, sebagian banyak orang masih cinta dengan asap itu. Padahal kalo dia tau berapa dana yang diuntungkan buat si pengusaha asap di balik kesengsaraan kelas bawah itu, haqqul yaqin pasti dia gak mau lagi ngerokok. Lihat saja bangunan tinggi di jalan Semanggi, Jakarta. Di sana bertengger apartemen berpuluh lantai, berdiri atas kesengsaraan si perokok yang sengaja tanpa sadar melibatkan diri atas pembangunan gedung tersebut. Padahal untuk menginjakkan kaki saja di tempat itu, si kelas bawah ini belum tentu diizinkan. Khusus untuk orang-oarang tertentu dan berduit. Gondok kan!?. Namanya Apartemen Sampoerna. Menjulang tinggi untuk mengambil keuntungan di bawah derita para pengidap bermacam penyakit akut akibat asap rokok itu.</div><br /><div align="justify"><br />Perjalanan baru sampai Jembatan Lima. Aroma kali-kali di Jakarta yang katanya puasat ibu kota Negara Indonesia tidak dapat digambarkan lagi. Sampah-sampah memamerkan diri di jalan-jalan dan bantaran kali. Jakarta sudah tidak tampak lagi sebagai ibo kota, bahkan penduduk di sana pun mayoritas ‘bermata sipit’. Mereka menguasai bermacam bisnis di daerah itu. Sedang penduduk Jakarta hanya sebagai kaum proletar –budak- kemajuan imigran lain.</div><br /><div align="justify"><br />Tiba di Harco Mas Mangga Dua. Herwin mencoba berdiri sebentar, meluruskan lekuk-lekuk tulangnya yang kaku selama satu setengah jam berdiri dalam bus. Ia mencari tempat duduk yang nyaman. IA tuju emperan halte bus di sana dan duduk sebentar sambil memandangi lalu lalang kendaraan di depannya. Rasa pegal dan capek sesaat hilang, ia bergegas menuju ke ITC dan Harco Mangga Dua. IA berjalan sambil memegangi tali tas di pundaknya. Di saat-saat itulah “pikiran jahatnya” muncul kembali. Misi Suci harus di jalankan. Dia mulai mengetes dan mencoba mengumbar senyum. Satu mangsa yang ia targetkan. Mangsa kali itu adalah penjual jamu yang sedang berjalan searah dengannya. Perlahan-lahan ia coba hampiri penjual jamu itu. Selangkah, dua langkah ia coba percepat. Dan pas di samping penjual jamu itu, dengan tebar pesona ia arahkan senyumnya pada penjual dan sejurus kemudian ditanggapi oleh penjual jamu itu, “Jamu, Mas?” Dengan refleks Herwin menggelengkan kepala dan mempercpat langkahnya menuju tangga penyeberangan ITC dan Harco Mas Mangga Dua.</div><br /><div align="justify"><br /><strong><em>Catatan</em></strong></div><br /><div align="justify"><br />Kuungkapkan padamu, kawan. Ternyata memberi senyum pada orang yang tidak kita kenal memang mudah. Tetapi untuk menghibur diri atas tanggapan dan reaksi yang diberikan oleh orang yang kita senyumi tersebut yang sulit. Kadang malu, gondok, sebel, senang, lucu atau apalah.</div><br /><div align="justify"><br />Dan dari sepuluh Misi Suci yang harus kutulis, hanya empat Misi Suci yang sanggup kuungkapkan. Mungkin aku termasuk Murid yang melenceng dari tugas suci yang diberikan Sang Guru kepadanya. Meski reaksi dari enam orang yang tak kukenal lainnya sama atau mungkin berbeda dari empat hasil Misi Suci yang kutulis di atas.</div><br /><div align="justify"><br />Senyum. Itulah yang kutanggkap atas relaksasi ini. Senyum memang kadang menjadi budaya yang hampir ditinggalkan. Padahal ia menyimpan banyak kekuatan. Kekuatan utnuk berbagi, berkeluh kesah, bertukar asa, atau bertukar alamat dan nomor telpon bagi penyandang gelas “jomblo sejati”. Tapi senyum juga bisa mengantarkan kita pada penyakit pikiran kotor dan pikiran negatif seseorang tanpa melihat dan mengenal permasalahan yang terjadi sebenarnya. Untuk itu, tersenyum dan berpikir positiflah atas permasalahan yang belum kita ketahui penyebabnya.<strong><em> Herwin</em></strong></div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-18954698184072802122009-02-04T22:45:00.000-08:002009-04-27T03:20:22.449-07:00Laskar Pelangi VS Hedonisme<div align="justify"><br />Masih tersisa dalam ingatan kita. Saat seorang Tauifk Ismail membacakan sebuah puisi dihadapan sang wakil presiden –Yusuf Kalla- negeri ini ketika peringatan Hari Pendidikan Nasional di suatu daerah. Tak disangka puisi yang dibaca olehnya membuat telinga sang wakil prsiden negeri ini terlihat memerah. Bukan lantaran tingginya nada alat pengeras suara sehingga memekakan telinga sang wakil presiden, tetapi karena dalam puisi tersebut tesisip beberapa kata-kata ‘kotor’ yang didengar oleh sang wakil presiden.</div><div align="center"><br /><em>“… sekolah kami bagai kandang ayam…”</em> </div><div align="justify"><br />Begitulah bunyi kata-kata ‘kotor itu’. Sebenarnya kata-kata tersebut hanyalah sebuah cermin dari keprihatinan seorang sastrawan atas kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Kemprihatinan juga bagi masyarakat Indonesia umumnya untuk benar-benar merasakan dunia pendidikan yang mensejahterakan.</div><div align="justify"><br />Dengan nada mengelak, dalam sambutannya sang wakil presiden membantah jika sekolah yang ada saat ini dianggap sebagai kandang ayam. Tidak disangka. Puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris dan dibaca dalam waktu beberapa menit itu mampu mengalahkan suara ribuan masyarakat yang turun –berunjuk rasa- ke jalan berualang kali untuk menuntut agar anggaran pendidikan di Indonesia ditingkatkan.</div><div align="justify"><br />Tidak dikira pula bahwa puisi dengan bahasa sederhana itu mampu membuat salah seorang petinggi negeri ini memberikan komentar. Padahal sudah puluhan kali ribuan masyarakat turun ke jalan tidak ditanggapi. Jangankan diberi tanggapan, untuk melihat saja sang petinggi negeri ini harus berfikir tujuh kali.</div><div align="justify"><br />Tak heran bila kondisi pendidikan yang digambarkan oleh Adrea Hirata dalam Laskar Pelangi juga sebuah kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutupi. Bukan hanya bagai kandang ayam, tetapi memang laskar-laskar tersebut belajar di dalam kelas yang sebenarnya tidak pantas digunakan oleh seorang guru dan siswa-siswa yang katanya hidup pada negeri yang berlimpah keanekaragaman sumber dayanya. Pendidikan dijadikan jurang pemisah antara ‘golongan biru’ dan ‘golongan lumpur’. Semua sudah terbongkar seiring sikap acuh pemerintah yang semakin hari semakin terbentang.</div><div align="justify"><br />Laskar-laskar cerdas yang bertekat untuk membangun peradaban bagi diri dan lingkungannya di atas bumi pertiwi ini tak dapat terbendung. Mereka mampu mengalahkan hegemoni anak-anak manja dan tak memiliki kematangan jiwa atas didikan orang tua yang merasa paling tinggi dan mulia. Semua itu runtuh karena asa dan kesungguhan laskar-laskar cilik itu lahir atas nilai kepekaan diri terhadap kondisi pendidikan di negerinya. </div><div align="justify"><br />Sebut saja, Lintang, salah satu anak dari Laskar Pelangi yang mampu memembus berbagai terpaan ujian berat hanya untuk sampai ke sekolah. Berbeda dengan anak-anak manja dari ‘golongan biru’ yang selalu diberikan fasilitas lebih dan serba ada namun hampa dalam memandang dunia sekitarnya.<br /></div><div align="justify">berat bagi kaum papa di negeri ini untuk merasakan pendidikan dengan wajar dan tanpa beban. Semua harus dihadapi dengan berkilo-kilo beban bila ingin mendapat fasilitas yang sama dengan kaum yang memang mendapat tempat khusus di kalangan pemerintah.</div><div align="justify"><br />Itulah wajah pendidikan di negeri yang memiliki berbagai sumber kekayaan alam. Hal tersebut terjadi karena sistem pendidikan yang dibangun negeri ini adalah sistem pendidikan yang tak tentu arah dan ‘asal-asalan’. Biarkan nilai rendah asal lulus ujian, biarkan hutan Indonesia gundul asal kekayaan pribadi bertambah dan investasi keluraga kita aman di luar negeri, biarkan memberi sedikit uang –menyuap- kepada jaksa asal kita terbebas dari jerat hukum dan bisa korupsi lebih banyak lagi, biarkan wilayah hilir banjir asal bisnis apartemen kita di wilayah hulu tetap laris, dan masih banyak lagi sikap ‘biarkan’ dan ‘asal-asalan’ yang tercermin dalam sistem pendidikan Indonesia.</div><div align="justify"><br />Maka amat wajar bila pendidikan di Indonesia saat ini bukan menjadi solusi atas permasalahan bangsa, tetapi justru menjadi wadah atas munculnya masalah-masalah –budaya korup, suap, trafficking, illegal logging- lain yang terus bergulir. Karena sistem pendidikan yang dibangun adalah sistem pendidikan yang berorientasi kepada pemenuhan kesejahteraan pribadi dan golongan bukan pendidikan yang berorientasi untuk mensejahterkan seluruh masyarakat dan lingkungan sekitarnya.<br /></div><div align="justify">Sebab itu, meluruskan kembali tujuan pendidikan negeri ini adalah tugas kita bersama, gurukah Umar Bakrie, pelajar dan mahasiswakah kita atau menterikah Bambang Soedibyo. <strong><em>Herwin</em></strong></div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-64974658966561315272009-02-04T22:41:00.000-08:002009-02-16T19:57:08.219-08:00Titik Nadir SG UIN Jakarta<div align="justify"><br />Tak terasa. Satu tahun lebih –2007/2008- Adi Jonathan ‘menduduki’ Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta. Tak terasa pula apa yang telah dipersembahkannya untuk seluruh warga mahasiswa UIN Jakarta. Bukan lantaran banyaknya hal-hal berarti yang diberikan kepada warga negaranya. Tetapi memang tak terasa karena hampir lebih dari satu tahun, SG UIN terkesan mandul dan berjalan di tempat. Tak satupun aspirasi mahasiswa yang diperjuangkan. Dari mulai ketersediaan buku-buku referensi yang mumpuni di tiap-tiap perpustakaan, keterbukaan pihak rektorat dalam mengemukakan gagasannya dihadapan mahasiswa dan yang paling parah adalah Lembaga Eksekutif UIN sudah mengabaikan aspirasi teman-teman keluarga besar UKM dalam menumbuhkan demokrasi di UIN Jakarta.</div><div align="justify"><br />Belum hilang luka teman-teman sebagai mahasiswa yang dikekang hak-haknya. Kini kita lihat kembali ‘wajah-wajah semu’ bertaburan terpampang di setiap sudut, lorong, kelas sampai tempat untuk membuang hajat bagai barang dagangan yang dijejerkan di pinggir jalan. Kita dapaksa untuk kembali memilih dan mendukung ‘wajah-wajah semu’ tersebut Seolah-olah ‘wajah-wajah semu’ itu akan membawa dan memperjuangkan hak-hak kita seperti janji-janji basi yang dahulu dilontarkan oleh ‘guru-guru’ mereka yang juga memberi janji semu dan sok idealis. Janji tinggal janji. Setelah mendapat ‘kue’ kekuasaan mereka lupa bahwa hak-hak kita mesti diperjuangkan.</div><div align="justify"><br />Bermacam warna dan bentuk bendera dipertontonkan. Berbagai isu dan kebijakan abu-abu juga mereka tawarkan. Kebijakan absurd tanpa realisasi dan kesungguhan untuk ditorehkan. Kampus ini seakan dijadikan milik golongan tertentu dengan meletakkan simbol-simbol buta tanpa arah dan alasan fakta. Simbol ‘Kampus Hijau’, ‘Kampus Biru’, ‘Merah’, ‘Kuning’ atau apalah warnanya, mereka anggap sebagai Tuhan demi mendapat suara dan kedudukan yang mampu memberikan mereka ‘kue’ kekuasaan yang lebih besar.</div><div align="justify"><br />Ironis memang. Kampus yang diwacanakan akan menuju kampus kelas mendunia dan universal, ternyata masih ada ‘zombi-zombi’ hitam yang terus menggerogoti cita-cita mulia tersebut demi kesenangan pribadi dan golongan. Dan belum terlihat SG UIN mencoba untuk bersama bekerja keras mewujudkan itu semua. Yang jadi masalah besar adalah ternyata kerusakan itu dimulai dari dalam SG UIN sendiri. Saling berebut ‘kue’ kekuasaan dan mengalihkan Dana Mahasiswa yang tak jelas akuntabilitasnya menambah jijik dan malu bila UIN bersanding dengan perguruan tinggi lokal apalagi bermimpi untuk mengejar kampus yang mendunia. Jauh panggang dari api.</div><div align="justify"><br /><strong>Tuntutan untuk SG UIN Jakarta ke depan</strong></div><strong><div align="justify"><br /></strong>SG UIN Jakarta, sebagai wadah aspirasi hak-hak mahasiswa sudah menjadi kewajiban untuk terus membela dan memperjuangkan segala kebutuhan masyarakat UIN dalam memperoleh hak-haknya tanpa ada gap dan intimidasi dari pihak manapun sejalan dengan sifat masyarakatnya yang dinamis.</div><div align="justify"><br />Kesembronoan pejabat legislatif yang sudah mencapai puncak stadium mesti kita kikis bersama. Dan kita harus sudah mulai lebih cerdas dalam memilih mereka. Memilih bukan karena besar atau kecilnya massa pendukung di balik lokomotif mereka. Tetapi memilih atas landasan track record dan kemauan yang kuat dari ‘wajah-wajah semu’ tersebut untuk mengembalikan SG UIN pada landasan dan cita-cita yang terarah dan mampu menjadi solusi bagi negeri. Bukan sebagai wadah yang menambah berbagai masalah bagi masyarakat karena berlatih untuk melakukan korupsi dan tipu daya demi mencapai kepuasaan atau sekedar ingin dikatakan sebagai ‘artis’ di kampus.</div><div align="justify"><br />SG UIN harus mampu berbuat lebih banyak tentang hal yang positif dan mengembangkan potensi masyarakat sekitar kampus dengan corak ragam daerah yang dimiliki. Sehingga UIN Jakarta mampu menjadikan masyarakat sekitar sebagai sistem sosial yang cerdas dan dapat diperhitungkan.</div><div align="justify"><br />Memperjuangkan alokasi dana mahasiswa yang disediakan untuk kegiatan akademik dan pengembangan kepribadian mesti disalurkan secara akuntabilitas tanpa korupsi, memperkaya diri dan golongan sendiri. </div><div align="justify"><br />SG UIN Jakarta harus lebih menggiatkan aktivitas-aktivitas akademik yang berbasis research agar budaya intelektual tetap terpelihara dan terus berkembang sehingga menghasilkan berbagai macam teori dan terapan yang mampu menyumbangkan aset besar bagi dunia pendidikan Indonesia.</div><div align="justify"><br /><strong>Berani untuk bersih, jujur dan adil</strong></div><div align="justify"><br />Amunisi dari masing-masing pengusung sudah disiapkan. Strategi untuk mendulang suara tertata rapi. Lantas, sejauh mana masing-masing pengusung akan bermaian secara bersih, jujur dan adil dalam ‘pertikaian’ politik kampus? Ini pertanyaaan besar bagi masing-masing pengusung untuk mencerminkan bahwa apa yang diusung dan di jabarkan benar-benar turut membantu meningkantkan kualitas SG UIN Jakarta atau malah merusaknya. Maka, bila dalam proses mencapai puncaknya sudah menimbulkan ‘bercak-bercak ‘ kotor dan menodai pondasi bangunan –SG UIN- yang sedang dirapihkan. Maka jelas pula apa yang akan mereka jalankan dalam roda pemerintahannya. Tak lain adalah memperkaya diri dan nengacuhkan semua janji serta kebijakan yang akan diambilnya adalah kebijakan ‘kantong jas safari’, seberapa besar keuntungan untuk diri dan golongannya seperti itulah kebijakan yang akan diputuskannya.</div><div align="justify"><br />Namun bila dalam proses pencapaian puncak kekuasaan dengan bersih, jujur dan adil. Maka ke depan, SG UIN akan mampu menjadi lokomotif peradaban negeri. Dan untuk mencapai itu. Suara kitalah yang menentukan. Maka, gunakan suara kita dengan pertimbangan yang matang dan terarah dalam PEMIRA UIN Jakarta tahun ini. <strong><em>Herwin</em></strong></div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-3359953859785121010.post-46699485494898621602009-02-04T22:36:00.000-08:002009-02-16T19:57:47.339-08:00Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia<div align="center"><br />“…. Aku heran…. Aku heran…. yang salah dipertahankan.<br />Aku heran…. Aku heran…. yang benar disingkirkan….”</div><div align="center"><br /> </div><div align="justify">Syair di atas mungkin tidak luput dari ingatan kita. Kondisi keprihatinan yang dituangkan oleh Hengky Sahilatua, juga keprihatinan kita semua atas mundurnya kekuatan hukum di negeri yang memiliki beribu sumber daya alam yang melimpah ini. Keprihatinan bukan karena tidak bisa mengembangkan daya upaya untuk memajukannya, tapi keprihatinan akan adanya moral yang menghambat daya upaya untuk mengembangkan dan memajukan sumber daya alam dan manusia tersebut. Mental korup yang telah membudaya sistemik dan endemik inilah yang terus menggerogoti bangsa ini sehingga sulit untuk maju dan berkembang sesuai dengan usia yang dimilikinya.</div><div align="justify"><br />Lantas, apakah tidak ada upaya untuk menghilangkan mental tercela tersebut dari bumi pertiwi ? Atau memang “ritual suci” ini harus dipertahankan dalam setiap lini kehidupan?<br />Beberapa rambu sudah dilalui untuk mengekang laju kecepatan mental korup tersebut. Sejak zaman awal pemerintahan Republik Indonesia sampai saat ini, seakan tak ada habisnya dipancangkan. Hal terus berubah karena kesungguhan dari pemegang kebijakan dan lembaga yang ditunjuk tak memiliki “gigi taring” untuk benar-benar memberantasnya. Sebab itu, kemauan untuk meningkatkan kesungguhan dalam pemberantasan korupsi sampai tingkat dasar tetap terus diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melihat kendala dan kekurangan atas kinerja lembaga yang ditunjuk dari awal pemerintahan Republik Indonesia sampai awal era reformasi.</div><div align="justify"><br /><strong>Pemberantasan Korupsi di Era Orde Lama</strong></div><div align="justify"><br />Di masa Kabinet Juanda, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang_Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tetapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.</div><div align="justify"><br />Kedua, pada tahun 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Opreasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni meyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.</div><div align="justify"><br />Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini deberhentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno sebagai ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk jalur lambat, bahkan macet (Bohari, 2001)<br /></div><div align="justify"><strong>Korupsi di Era Orde Baru</strong></div><strong><div align="justify"><br /></strong>Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemebrantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Aguing. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat, beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johanes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo dan A. Tjokroaminoto dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.</div><div align="justify"><br />Empat tokoh bersih ini tampak tak dihargai ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentulah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga membarantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemebrantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemeberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan semakin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.</div><div align="justify"><br /><strong>Pemberantasan Korupsi di Era Reformasi</strong></div><div align="justify"><br />Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari tim anggota ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantsana Korupsi (KPK) pada tahun 2003 untuk mengatasi, menaggulsngi dan memberantas korupsi di Indonesia, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. Sampai Desember 2006, sudah 20 kasus korupsi berhasil ditangani oleh KPK. Dengan nilai tertinggi senilai 440 miliar dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tanpa jaminan (Tempo, 2007). Hal ini merupakan sebuah peningkatan yang berarti.</div><div align="justify"><br /><br /><strong>Pemberantasan Korupsi di Masa Depan</strong></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Sebagai lembaga yang masih eksis, KPK dituntut untuk lebih maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu dengan cara yang cerdas dan tetap mengacu pada undand-undang yang berlaku. Walaupun pro-kontra terhadap pembubaran KPK yang digulirkan oleh beberapa elit politik terus bermunculan. Namun hal tersebut jangan menjadi batu penghalang bagi KPK untuk berhenti dari tugas mulia yang diembannya. KPK mesti berbenah diri dalam mengambil langkah dan sikap atas tindak korupsi yang memang diwariskan sejak zaman sebelum KPK ini berdiri.</div><div align="justify"><br />Beberapa hal yang mungkin bisa meningkatkan laju kecepatan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan diantaranya:<br />Memosisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau intuisi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.<br />Menjadikan pemberantasan korupsi bukan hanya menyangkut bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi lebih jauh adalah bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan anti korupsi (disinergikan dengan kurikulum sekolah), kampanye anti korupsi, daerah dan tokoh percontohan bebas korupsi (island and public figure of integrity), serta sosialisasi dan pembentukan KPK di daerah Kota/Kabupaten.</div><div align="justify"><br />KPK harus berani menunjukkan kekuatannya untuk memeriksa seluruh warga negara Indonesia yang terjerat kasus korupsi tanpa ada “tebang pilih” pada wilayah intern-ekstern .<br />Akhirnya, KPK ke depan adalah KPK yang berwujud nyata tanpa keabsurd-an yang tidak jelas di mana posisi lembaga ini berada. Apakah sebagai kaki-tangan penguasa yang ingin dilindungi atau benar-benar murni lembaga yang beritikat kuat untuk memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Sebagaimana harapan seluruh warga negara Indinesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja digdaya. <strong><em>Herwin</em></strong></div>Ewink Herwinhttp://www.blogger.com/profile/14221451572904799353noreply@blogger.com