04 Januari 2008

Senyum Gundah Mas Indra

Sejak saat itu kekhawatirannya mulai datang. Dimasa aku sedang hamil tiga bulan. “Ma, kamu siap untuk menjaga si kecil ?” perasaan iba terlihat jelas dari raut wajahnya yang bersih.
Suamiku memang seorang lelaki yang penuh perhatian dengan istri. Selama setahun kami menikah, beliau selalu menjaga dan membimbingku. Namun, akhir-akhir ini dia sering termenung akan keadaanku yang baru mengandung anak pertama.
“Mas, tadi ada surat dari kantor,” kutunjukkan padanya dengan hati-hati. Dia membuka amplop surat itu lalu membacanya. “Yah… jadi, Ma!” diletakkannya surat itu ke atas meja. Kembali raut wajahnya menyiratkan kecemasan. “lho, memangnya kenapa kalau jadi berangkat, Mas ?” selaku mencoba untuk mengurangi kerisauannya.
Mas Indra adalah seorang wakil direktur sebuah perusahaan besar yang memegang saham terbesar di kota Jakarta. Direkturnya meminta ia untuk menemaninya dalam pertemuan dengan pengusaha mancanegara di salah satu negara adidaya. Aku mengerti betapa berat hatinya meninggalkanku selama sebulan.
“Mereka bangsa serakah dalam berbisnis, Ma,” keraguannya muncul dengan perusahaan-perusahaan di sana. “Diminum dulu tehnya,Mas!” kusodorkan segelas air hangat untuk membuka pikirannya. Sebenarnya aku pun ragu dengan keberangkatan Mas Indra. Tapi aku tidak ingin melihat suamiku bimbang hanya karena aku sedang mengandung. Aku tahu bahwa ini adalah fitrah yang diberikan oleh-Nya kepada seorang wanita.
“Mas, bukankah perusahaan sudah memberikan tugas kepada Mas untuk dilaksanakan?” kucoba untuk menjadi sahabatnya dalam berbagi masalah. “Bukan Mas ingin melanggar tugas,Ma,” kekecewaanya terlihat lebih dalam. “Mama lihat, apa yang sudah dikukan perusahaan asing pada bangsa ini?”
“Mama tahu kok, bahwa perusahaan asing lebih banyak mendapatkan keuntungan dari negara kita.”
“Terus, Mama ingin kalo selamanya kita dibodohi?”
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan membiarkan ia untuk berpikir…
“Tuh, kan, Mas bilang juga apa? Mama harus banyak istirahat!” ungkapan keluhnya tepat tertancap dalam benakku. Sudah kurasakan beberapa hari ini mual perutku semakin menjadi. Apakah sama yang dirasakan orang tuaku saat mengandungku dahulu? Namun hal ini tak ingin kutunjukkan pada suamiku. Sebab aku khawatir bila ia benar-benar tidak jadi untuk berangkat.
“Ya sudah, Ma, besok Aku minta dibatalkan untuk berangkat ke sana,” keputusan yang dikatakan pada saat ia bimbang menambah rasa gelisahku untuk terus memotivasinya.
“Mama nggak apa-apa kok, Mas. Ini memang sudah menjadi kebiasaan pada seorang istri yang hamil pertama kali,” kutunjukkan rasa semangatku kepadanya agar ia percaya bahwa aku benar-benar siap untuk menjaga kandunganku selama ia bertugas di luar. Mas Indra mengusap perutku dan menuntunku untuk duduk di ruang tengah.
“Sudahlah, Ma. Di kantor masih banyak sahabatku yang bisa menggantikan.”
“Lho, Mas kan sebagai wakil direktur, pastilah Mas yang memiliki kelebihan dibandingkan kawan-kawan Mas di kantor,” kuletakkan kepalaku dibahunya. Terasa sekali kasih sayangnya. Aku tetap akan memotivasi dirinya. Meski ia berpikir bahwa selama ini bekerja sama dengan perusahaan asing lebih menguntungkan mereka.
Mas Indra sangat perhatian terhadap masalah sekecil apapun. Terlebih ketika terjadi pembantaian yang dilakukan bangsa adidaya dan sekutunya kepada rakyat Irak. Suamiku tahu bahwa salah satu sponsor yang mendukung pembantaian di sana dan beberapa negara lainnya adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanya. Dia tidak rela sepeser pun uang hasil kerja sama dengan perusahaannya digunakan untuk membeli senjata bagi tentara adidaya dan sekutunya dalam membuat makar yang lebih besar.
“Mama tenang aja, Mas akan buat surat izin kepada direktur agar Mas diizinkan tidak ikut berangkat.” Kepalaku terasa pusing dan rasa mual kembali menyerang tubuhku. Seketika itu keringat dingin keluar dari tubuhku dan wajahku tampak pucat.
“Tuh, kan, Mama belum siap kalo Mas tinggal ?” tangannya merangkul dan menuntuku ke kamar. Kurasakan kekhawatirannya semakin tampak bahwa ia benar-benar tidak tega meninggalkanku. Kubaringkan tubuhku yang lemah dan kupejamkan mata untuk istirahat. Dia menyelimuti dan menciumku sebelum kembali ke ruang tengah.
***
Kuhirup udara segar pagi ini. Kugerak-gerakkan tubuhku agar staminaku tetap terjaga walau sedang mengandung.
“Hiruplah, anakku ! Betapa udara pagi amat sejuk. Bersyukurlah atas karunia-Nya!” kutahan napasku. Beberapa saat kemudian kuhempaskan kembali ke udara lepas. Kucoba menenangkan diri sambil memandang hijaunya daun dan rerumputan. Kupandangi ikan-ikan yang berkejaran berebut makan di kolam halaman rumah. “Betapa Maha Adilnya Engkau, Ya Allah,” gumamku dalam hati sambil mengusap kandunganku dengan lembut.
Mas Indra sudah berangkat ke kantor setelah shalat shubuh karena jarak kantor yang cukup jauh dari rumah. Sosok lelaki yang semangat memang. Pagi buta sudah berangkat dan kembali ke rumah larut malam setelah mengikuti kajian, dan kadang harus bertemu dengan binaannya. Pernah suatu hari ia pulang hampir shubuh karena mengisi acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan di daerah puncak. Walau baru pulang kerja, Mas Indra tetap berangkat ke sana. Aku teringat akan kata-katanya yang tulus, “Jika kita menolong agama-Nya pasti kita juga akan ditolong oleh-Nya,” potongan arti sebuah ayat dalam Al qur’an yang selalu membuatnya melihat segala sesuatu itu kecil dibandingkan dengan kekuasaan-Nya.
“Semoga kau kelak seperti Papamu, anakku,” obrolanku dengan bayi yang ada dalam kandunganku. Terasa sekali bayiku bergerak tanda setuju dengan harapanku. Suamiku pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas. Hal ini memang sudah dibuktikannya. Setiap hendak tidur beliau selalu melantunkan Al qur’an di sampingku sambil mengusap bayi dalam kandunganku. Sering pula beliau mengajakku untuk shalat tahajud bersama pada keheningan ditemani bisik jangkrik dan desah dedaunan terbelai angin malam. Mesra sekali… begitu nikmat kudengar lantunan surat Arrahman dari lisannya yang fasih. Seketika itu mukenaku basah dengan derai air mata yang menetes karena takut akan murka-Nya dan rindu untuk jumpa dengan-Nya bersama keluarga. Indah memang apa yang dikatakan Mas Indra bahwa seseorang akan berkumpul bersana keluarganya di surga karena ketundukan dalam berbakti kepada-Nya.
Kembali kugerak-gerakkan tangan dan kakiku agar bayi dalam kandunganku semakin sehat dan cepat berkembang dengan normal. Kicau burung terdengar riang terseret angin pagi yang sejuk. Pohon-pohon berbisik mesra memandang keadaan kandunganku yang mulai tumbuh. Kucoba berjalan menyusuri rerumputan yang tertata rapi diselingi kerikil cantik seolah malu berhadapan denganku. Ahh… kurasakan keadaan tubuhku semakin baik kini.
***
“Ukh… jadi juga, Mas berangkat,” keluhnya saat selesai memberi salam dan meletakkan tas setibanya dari kantor. “Direkturku tidak mengizinkan, malahan besok Aku harus berangkat.” Tampak kurasakan bebannya untuk meninggalkanku.
“Lho, kalo memang itu yang terbaik kenapa harus ditolak, Mas?” kusodorkan segelas air putih dan beberapa potong kue kepadanya. Terlihat ia begitu lelah menyelesaikan tugasnya di kantor. “Kalo gitu, Mama akan siapkan perbekalan Mas untuk sebulan.”
“Sudah, Ma, biar Mas saja yang menyiapkan ! Paling cuma untuk sebulan.”
“Bener nih, Mas dah siap untuk berangkat ?” candaku menghiburnya.
“Bukan, maksud Mas biar Mama tetap istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Lagi pula, kan ada si Mbok yang bisa siapkan kebutuhanku di sana,” risaunya tetap saja ada.
“Si kecil bagaimana, Ma, masih suka nendang-nendang nggak?” rasa ingin tahunya membuatku tersenyum. “Kayaknya, ia mulai berani deh, Mas tinggal,” lontaran kata-kataku terus memotivasi dan berdiskusi tentang rencana keberangkatannya esok hari.
Malam kian larut, tampak kelelahan suamiku berada pada puncaknya. Ia menyelimutiku sebelum akhirnya ia pun tidur pulas…
Keheningan malam membuat suamiku kembali bangun dari tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Inilah kebiasaan ia untuk bercumbu dengan Rabbnya sambil meneteskan air mata. Malam ini merupakan malam kami untuk shalat tahajud bersama sebelum ia berangkat ke negeri adidaya. Lantunan ayat Al qur’an semakin merdu ia ucapkan. Dan butiran air suci jatuh satu persatu ke tempat sujudku. Kupanjatkan do’a kepada Rabbku agar suamiku diberi kemudahan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.
Bisik jangkrik terdenganr riang disapu angin malam yang sunyi. Buaian lantunan ayat suci dari lisannya menambah kekhusyu’anku dalam munajat kepada-Nya. Gesek dedaunan beradu dengan ranting dan batang terdengar merdu semakin membuatku tetap berdiri dalam keheningan malam untuk tunduk pada-Nya. Percik-percik air kolam terhempas kumpulan ikan menyatukan suasana malam indah penuh berkah ditemani kilauan bintang gemintang yang tersapu deretan awan berhias sinar rembulan…
Selesai shalat shubuh, Mas Indra sudah siap. “Jangan lupa jaga kondisi kesehatan Mama dan Si kecil. Jangan lupa banyak istirahat!” pesannya sebelum berangkat ke negeri adidaya. “Mbok, Saya titip Dia dan Si kecil. Tolong ingatkan agar Dia jangan banyak melakukan pekerjaan yang berat!”
“Baik, Pak,” sungkem si Mbok tanda menurut dengan suamiku. Kuterima ciumannya dikeningku dan ia lekas berangkat menuju bandara. Aku tidak turut ke bandara karena tidak diizinkan olehnya. Aku hanya bisa berdo’a atas keselamatannya.
***
Rasa mual kembali menyerang tubuhku. Keringat dingin terus keluar dari kulitku setelah beberapa jam keberangkatan Mas Indra. Pandanganku semakin kabur, tak dapat membuka mata walau hanya sekedar menatap. Kupandangi sekitarku hanya tersirat goretan-goretan dinding yang iba memandangku. Akh… rasa mual semakin menjadi, membuatku tidak bisa menahan untuk terus muntah. Kulihat si Mbok panik melihat kondisiku yang semakin lemah. Segera ia memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Tubuhku lemas dan membuatku sulit untuk membuka mata sampai tiba di rumah sakit. Kurasakan gelap di sekitarku seketika aku tak sadarkan diri…
Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Akh… berat sekali. Namun terus kucoba membuka dan akhirnya dapat juga kubuka. Aku tersentak ketika kutatap ke samping, seorang lelaki sedang mengusap kepalaku dan berbisik, “Sudah, jangan bicara dulu. Aku tidak jadi berangkat karena pesawat tidak bisa lepas landas,” senyum gundahnya tetap ada bersama butiran dingin menetes di mataku.

02 Januari 2008

Melati di Sudut Kota


Melati di Sudut Kota
Oleh Herwin*
Seperti biasa, malam ini aku lelap dalam buaian angan yang menutupi pikirku untuk mencari sebuah jati diri yang sempurna. Hempasan angin malam menyapa kering kulitku. Semilir angin menggetarkan relung jiwa yang gersang menatap celotehan mangsa-mangsa kota metropolitan. Bising mesin penggilas terusik dalam lunglai langkahku yang tak tentu.
“Hii… Girl… nggak ada pasien nih…!?” suara mangsa-mangsa metropolitan menghentakkan hati kecilku. Terhenyak kucoba menundukkan hati beberapa saat. Dingin malam kian menerobos ke dalam tulang igaku. Kutatap ke arah seberang, melambai-lambai iming-imingan buaian dunia yang memang menjadi pandangan malam bagiku.
“Uhh... kapan aku dapat merubah nasib ?” celotehku dalam hati seiring sisa-sisa tenaga yang kian rapuh.
***
“Hii… bangun… udah siang, dasar bocah tolol !” teriak majikan memekakan telingaku. Kupandangi sekitar, tampak sang surya mengintip dari pojok nako kamar yang sumpek dan pengap. Beginilah keadaan hidupku. Pukul 04.00 baru kembali ke asrama, namun harus beraktivitas kembali pukul 07.00.
“Dapat berapa semalam !?” celoteh majikanku menagih setoran.
“Tak dapat…” jawabku singkat sambil menyambar handuk dan sandal menuju kamar mandi.
“Dasar… bocah edan !” terdengar cerca majikan kepadaku. Kubasuh peluh dengan air jernih yang sejuk membelai wajahku. Kucoba menahan tetes air mata yang kerap membendung di kelopak mata. Bagiku sudah tidak asing lagi lontaran kata-kata pedas yang terungkap dari mulut majikan yang benar-benar killer itu
Siang ini majikanku akan mendatangkan seorang pasien baru yang terkenal tajir dikalangan tema-temanku. Mereka saling berceloteh harapan akan imbalan yang akan didapat. Gaun mereka tampak seperti artis bintang Hollywood yang memprtontonkan aurat berlebihan guna menarik pasiennya. Tangan mereka akrab dengan rokok dan minuman yang memabukkan. Tak sadar mereka dalam kesulitan yang jauh.
“Belum siap juga ? Nanti nggak dapet doku lho... ” hardik Jelita yang memang sekamar denganku.
“Ntar aja… aku masih capek.”
“Capek…? emang dapet pasien berapa semalam ?” tambahnya sambil memasang ikat pinggang dan menuju ke ruang tamu.
Hatiku kembali rapuh menerima candanya. Dalam benakku hal tersebut bukanlah sebuah canda yang mengasyikkan….
***
Malam kembali bergulir. Kutatapi satu persatu ruang asrama sudah kosong dari pasangan laki-laki hidung belang bersama teman-temanku. Hanya ada kursi dan meja yang kerap berdampingan serta detak jam dinding yang akrab bercanda dengan ngiang sayap nyamuk kebun. Kuambil sepatu dan memakainya dengan hati gundah. Kulangkahkan kakiku ditemani semilir angin yang membelai daun-daun rindang. Beberapa daun kuning melayang menuju tanah diantaranya mengusap rambutku yang panjang dan terurai. Riang jangkrik beradu dengan jeritan kendaraan di kejauhan. Lagi-lagi kuayunkan langkahku semakin cepat….
“Bbbbbrrrrakkk…” mataku tak kuat untuk memandang. Seketika ku tak sadarkan diri….
Kucoba membuka mata perlahan. Kudapati tabung oksigen di samping dan infus di lenganku.
“Yaa Allah… Kamu sudah sadar ? Maafkan aku, Mbak…” terdengar suara iba di sampingku. Kupandangi wajahnya serasa aku pernah berjumpa.
“Di mana... A... Ak... Aku sekarang !?’ gumamku entah kepada siapa kuucapkan..
“Mbak sedang berada di Rumah Sakit,” balasnya dengan rasa khawatir.
Jantungku kembali berdetak kencang. Bagaimana dengan amarah majikanku nanti ? Dan… teman-temanku pasti tak pelak lagi untuk menghina.
“Suster, tolong ke sini…! Mbakku sudah sadar..!”
Detak jantungku semakin membuncah mendengar ucapan seorang gadis berjilbab di sampingku yang mengaku bahwa aku adalah kakaknya.
Masih adakah orang yang menganggapku sebagai saudara ? gumamku dalam hati.
“Kenalkan, Mbak, nama saya Bertha… Saya yang menabrak Mbak tadi malam !” pucat wajahnya seakan mengiba padaku.
“Sa… Saya… Nita,” tanggapku singkat
“Bagaimana keadaan, Mbak, sekarang…?” tanya Suster dari balik pintu hendak merawatku.
“Agak pu...pusing, Suster,” jawabku pasti.
“Kalo gitu, silahkan Mbak tetap istirahat setelah makan dan minum obat ini !” perintah suster sambil mengecek tekanan darahku dan kembali ke ruangan lain.
“Sekarang makan dulu, Mbak, biar lekas sembuh !” ajak Bertha kepadaku. Tangan manisnya segera mengambil makanan dan menyuapiku hingga aku meminum obat.
“Kamu sudah menikah, Ber… ?” tanyaku kepadanya dengan hati-hati
“Belum kok, Mbak. Aku masih kuliah…” bibirnya yang bersih menanggapi dengan senyum yang ramah.
“Mbak sendiri sudah berkeluarga…? biar nanti kuhubungi..!” pertanyaannya membuat detak jantungku kembali bangkit.
“Be… belum…” jawabku ragu.
“Mbak memiliki saudara di sini… ?” lagi-lagi pertanyaannya membuat titik-titik air mata membendung di kelopak mataku.
“Tidak punya…”
“Ohh… maaf, Mbak, “ gumamnya dengan lipatan dahi seolah ingin mengetahui lebih banyak tentang diriku.
“Ya sudah, Mbak istirahat dulu, saya minta izin untuk kembali ke rumah,” Bertha mencium keningku sebelum ia mengucap salam dan ke luar.
***
Sudah satu hari aku berada di atas ranjang rawat inap. Hatiku merasa bersalah dengan pihak asrama. Tetapi hati kecilku berbisik, inilah saat yang tepat untuk merubah jalan hidupku....
“Nih orang betah amat main sama hidung belang… !” ungkap Jelita disertai rasa kesal.
“Namanya juga anak nggak tahu diuntung, mentang-mentang dapet pasien borju, udah lupa asrama !” timpal majikan kepada Jelita dan teman-temanku yang lain.
“Udah kawinin aja dia sama pasiennya… biar nggak nyumpek-nyumpekin asrama lagi !!” ledek salah satu temanku yang rada tomboy….
Siang ini kudapati suster kembali merawatku. Membasuh kulitku dengan air hangat dan membenahi alat infus yang ada di sampingku.
“Adik Mbak, kok belum datang ?” tanya suster kepadaku
Lagi-lagi aku menahan titik-titik butiran air mata, “Mungkin sebentar lagi, Sus…” timpalku dengan nada lemah.
“Ya, sudah, saya tinggal dulu ya, Mbak. Jangan lupa diminum obatnya !” perintah suster cantik yang setia merawatku.
Jam dinding memberi isyarat pukul 14.00. Kutatap ke arah pintu... Bertha belum juga datang. Hatiku mulai merasakan ikatan dengannya.
“Yaa Allah... berilah petunjuk pada hambamu ini...” gumam yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak pernah kuucapkan.
“Assalaamu ‘alaikum…” bertha datang dengan membawa tas di pundaknya,memalingkan penyesalanku pada Sang Pencipta.
“Wa ‘alaikumus salam, Kamu dari kampus ?” sapaku ramah.
“Kamu sudah makan siang ?” tawaranku yang semakin ingin dekat dengannya.
“Udah kok, Mbak, tadi di kampus. Oh ya… Mbak, aku bawa pakaian ganti untuk Mbak”
Desah nafasku terasa sesak. Tak pernah kudapati hal seperti ini selama pergi dari kampung ke kota besar ini.
“Mbak, masih pusing ya ?” ungkapannya memotong lamunanku. Kuterima tawarannya dan kuletakkan di sampingku.
“Terima kasih, Bertha, Kamu baik sekali…!!”
“Sudahlah, Mbak. Sebagai seorang muslim kita dianjurkan harus saling tolong-menolong, iya kan? Lagi pula, saya harus bertanggung jawab karena membuat Mbak harus dirawat,” ucapan dari bibirnya yang bersih memastikanku untuk tersenyum.
“Mbak, ada kabar baik nih… Dokter bilang, Mbak boleh pulang nanti sore.” senyumnya melukiskan kegembiraan.
***
Kumandang adzan magrib terdengar sayup dari kejauhan. Aku tiba di asrama diantar oleh Bertha. Kutatap pintu pagar sudah tertutup dan ruangan tampak kosong.
“Mbak, kapan-kapan aku main kesini, boleh kan ?” pinta Bertha kepadaku
“Ja… Jangan, Bertha… Biar Mbak saja yang main ke rumahmu !” jawabku dengan pasti. Bertha tampak keheranan.
“Kalo gitu, aku pulang dulu, Mbak. Jangan lupa istirahat ya.. !” perintahnya kepadaku sambil menyalakan mobil sedan ayahnya untuk kembali ke rumah.
Bertha memang seorang anak dari kelurga berada di kawasan ibu kota . Walau demikian, ia tetap bermasyarakat kepada sesamanya. Tak seperti orang-orang berada yang selama ini kutemui. Mereka lebih suka bergaul dan berfoya-foya dengan orang-orang sekelas mereka .
Kuayunkan kakiku menuju pintu asrama. Kubuka kamarku, tampak sisa-sisa puntungan rokok dan botol minuman tergeletak di lantai. Kubersihkan segera semua itu. Kutuju kamar mandi di sebalah kamarku. Kubasuh dengan air suci tubuh yang selama ini bernoda. Kutenangkan wajahku dengan wudhu. Kuhadapkan diriku kepada Allah yang selama ini aku lupakan. Tak kuat batinku untuk menahan bendungan titik-titik air suci dari mataku. Seketika itu wajah dan tempat sujudku basah dengan tetes air mata dan jerit lirih dalam batinku…
“Rabbanaa… zhalamnaa…anfusanaa…wa illamtaghfirlanaa watarhamna… lanakunannaa... minalkhaaasiriiin…” jerit batinku semakin menggemakan sudut-sudut ruangan kamar yang selama ini gersang dengan asma-Nya. Kubaringkan tubuhku di atas sajadah yang bersimbah air mata.
***
“Bbiiuuurrrrrr…” siraman air dingin jatuh di wajahku.
Teriakan majikan tepat di telingaku, “Eh... Bocah tolol… enak-enakan aja Lu tidur… Lu masih ngerasa tinggal di sini...!?”
“Bagi-bagi dong… kalo punya rejeki enak, kan kita-kita juga mau...!!” tambah Jelita memekakan telingaku.
“Mana penghasilan Lu selama tiga hari di rumah orang kaya…? Cepet jawab…!” teriak salah satu temanku yang tomboy.
Jawabku spontan,“A... A… Aku .. kecelakaan…”
“Pppprrraaaakk…” kuterima tamparan dari majikan.
“Sekarang juga, Lu hengkang dari sini… Bocah pembohong sialan... !!” usir majikanku dengan wajah merah pitam….
Segera kubereskan semua perlengkapanku. Kutinggalkan asrama yang selama ini sedikit banyak telah memberikan pelajaran bagiku untuk hidup di kota metropolitan. Raja siang menjulurkan lidah apinya ke hadapan wajahku. Kutatap disekitar, hiruk pikuk kehidupan kota yang selama ini ku tak tahu di mana sebenarnya tempat tinggalku yang sesungguhnya. Bau busuk kurasakan. Lalat-lalat beterbangan hinggap di tumpukan sampah yang berserakan. Dinding-dinding tak tampak lagi oleh warna aslinya. Napasku semakin sesak ketika melewati sudut-sudut kota yang hingar-bingar termakan usia. Lorong-lorong kejahatan seraya tertuju pada diriku seolah mata srigala yang hendak menerkam mangsanya. Nyanyian-nyanyian sumbang membahana dalam untaian lagu kesengsaraan. Lagi-lagi cucuran keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku yang belum pulih. Kulanjutkan langkah kakiku yang tak pasti untuk menemukan kehidupan baru. Ya… kehidupan baru, kehidupan yang harus kudapati untuk menebus semua dosaku….
Raja sore semakin menyengat, memandangku dari balik gumpalan awan kecil. Tak ada tempat berteduh untuk sekedar memulihkan kondisiku. Senja mulai menghiasi langit sore yang cerah, beban di pundakku semakin berat. Titik-titik air mulai membendung di kelopak mataku. Kubasuh peluh dengan lengan yang tak kuat lagi untuk bergerak. Kucuran-kucuran keringat dingin semakin meresap dalam pakaianku. Langkah kakiku semakin berat dan mataku, ahh… semakin sayu. Kutatap ke sekitar, hampa. Hanya seseorang kutatap sebelum aku jatuh dan tak sadarkan diri. Ya... dia adalah sekuntum melati di sudut kota ini, Bertha memandangku dengan penuh hasrat untuk berbagi.

Jakarta Awal Taoen


Tes appload foto lagi