09 Desember 2009

Senyum Gundah Mas Indra

Sejak saat itu kekhawatirannya mulai datang. Dimasa aku sedang hamil tiga bulan.
“Ma, kamu siap untuk menjaga si kecil ?” perasaan iba terlihat jelas dari raut wajahnya yang bersih.
Suamiku memang seorang lelaki yang penuh perhatian dengan istri. Selama setahun kami menikah, beliau selalu menjaga dan membimbingku. Namun, akhir-akhir ini dia sering termenung akan keadaanku yang baru mengandung anak pertama.
“Mas, tadi ada surat dari kantor,” kutunjukkan padanya dengan hati-hati. Dia membuka amplop surat itu lalu membacanya.
“Yah… jadi, Ma!” diletakkannya surat itu ke atas meja. Kembali raut wajahnya menyiratkan kecemasan.
“Lho, memangnya kenapa kalau jadi berangkat, Mas ?” selaku mencoba untuk mengurangi kerisauannya.
Mas Indra adalah seorang wakil direktur sebuah perusahaan besar yang memegang saham terbesar di kota Jakarta. Direkturnya meminta ia untuk menemaninya dalam pertemuan dengan pengusaha mancanegara di salah satu negara adidaya. Aku mengerti betapa berat hatinya meninggalkanku selama sebulan.

“Mereka bangsa serakah dalam berbisnis, Ma,” keraguannya muncul dengan perusahaan-perusahaan di sana.
“Diminum dulu tehnya,Mas!” kusodorkan segelas air hangat untuk membuka pikirannya. Sebenarnya aku pun ragu dengan keberangkatan Mas Indra. Tapi aku tidak ingin melihat suamiku bimbang hanya karena aku sedang mengandung. Aku tahu bahwa ini adalah fitrah yang diberikan oleh-Nya kepada seorang wanita.
“Mas, bukankah perusahaan sudah memberikan tugas kepada Mas untuk dilaksanakan?” kucoba untuk menjadi sahabatnya dalam berbagi masalah.
“Bukan Mas ingin melanggar tugas, Ma,” kekecewaanya terlihat lebih dalam. “Mama lihat, apa yang sudah dikukan perusahaan asing pada bangsa ini?”
“Mama tahu kok, bahwa perusahaan asing lebih banyak mendapatkan keuntungan dari negara kita.”
“Terus, Mama ingin kalo selamanya kita dibodohi?”
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan membiarkan ia untuk berpikir….
“Tuh, kan, Mas bilang juga apa? Mama harus banyak istirahat!” ungkapan keluhnya tepat tertancap dalam benakku. Sudah kurasakan beberapa hari ini mual perutku semakin menjadi. Apakah sama yang dirasakan orang tuaku saat mengandungku dahulu? Namun hal ini tak ingin kutunjukkan pada suamiku. Sebab aku khawatir bila ia benar-benar tidak jadi untuk berangkat.
“Ya sudah, Ma, besok Aku minta dibatalkan untuk berangkat ke sana,” keputusan yang dikatakan pada saat ia bimbang menambah rasa gelisahku untuk terus memotivasinya.
“Mama nggak apa-apa kok, Mas. Ini memang sudah menjadi kebiasaan pada seorang istri yang hamil pertama kali,” kutunjukkan rasa semangatku kepadanya agar ia percaya bahwa aku benar-benar siap untuk menjaga kandunganku selama ia bertugas di luar. Mas Indra mengusap perutku dan menuntunku untuk duduk di ruang tengah.
“Sudahlah, Ma. Di kantor masih banyak sahabatku yang bisa menggantikan.”
“Lho, Mas kan sebagai wakil direktur, pastilah Mas yang memiliki kelebihan dibandingkan kawan-kawan Mas di kantor,” kuletakkan kepalaku dibahunya. Terasa sekali kasih sayangnya. Aku tetap akan memotivasi dirinya. Meski ia berpikir bahwa selama ini bekerja sama dengan perusahaan asing lebih menguntungkan mereka.
Mas Indra sangat perhatian terhadap masalah sekecil apapun. Terlebih ketika terjadi pembantaian yang dilakukan bangsa adidaya dan sekutunya kepada rakyat Irak. Suamiku tahu bahwa salah satu sponsor yang mendukung pembantaian di sana dan beberapa negara lainnya adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaanya. Dia tidak rela sepeser pun uang hasil kerja sama dengan perusahaannya digunakan untuk membeli senjata bagi tentara adidaya dan sekutunya dalam membuat makar yang lebih besar.
“Mama tenang aja, Mas akan buat surat izin kepada direktur agar Mas diizinkan tidak ikut berangkat.” Kepalaku terasa pusing dan rasa mual kembali menyerang tubuhku. Seketika itu keringat dingin keluar dari tubuhku dan wajahku tampak pucat.
“Tuh, kan, Mama belum siap kalo Mas tinggal ?” tangannya merangkul dan menuntuku ke kamar. Kurasakan kekhawatirannya semakin tampak bahwa ia benar-benar tidak tega meninggalkanku. Kubaringkan tubuhku yang lemah dan kupejamkan mata untuk istirahat. Dia menyelimuti dan menciumku sebelum kembali ke ruang tengah.

***

Kuhirup udara segar pagi ini. Kugerak-gerakkan tubuhku agar staminaku tetap terjaga walau sedang mengandung.
“Hiruplah, anakku ! Betapa udara pagi amat sejuk. Bersyukurlah atas karunia-Nya!” kutahan napasku. Beberapa saat kemudian kuhempaskan kembali ke udara lepas. Kucoba menenangkan diri sambil memandang hijaunya daun dan rerumputan. Kupandangi ikan-ikan yang berkejaran berebut makan di kolam halaman rumah.
“Betapa Maha Adilnya Engkau, Ya Allah,” gumamku dalam hati sambil mengusap kandunganku dengan lembut.
Mas Indra sudah berangkat ke kantor setelah shalat shubuh karena jarak kantor yang cukup jauh dari rumah. Sosok lelaki yang semangat memang. Pagi buta sudah berangkat dan kembali ke rumah larut malam setelah mengikuti kajian, dan kadang harus bertemu dengan binaannya. Pernah suatu hari ia pulang hampir shubuh karena mengisi acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan di daerah puncak. Walau baru pulang kerja, Mas Indra tetap berangkat ke sana. Aku teringat akan kata-katanya yang tulus, “Jika kita menolong agama-Nya pasti kita juga akan ditolong oleh-Nya,” potongan arti sebuah ayat dalam Al qur’an yang selalu membuatnya melihat segala sesuatu itu kecil dibandingkan dengan kekuasaan-Nya.
“Semoga kau kelak seperti Papamu, anakku,” obrolanku dengan bayi yang ada dalam kandunganku. Terasa sekali bayiku bergerak tanda setuju dengan harapanku. Suamiku pernah mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mendidik anaknya menjadi anak yang cerdas. Hal ini memang sudah dibuktikannya. Setiap hendak tidur beliau selalu melantunkan Al qur’an di sampingku sambil mengusap bayi dalam kandunganku. Sering pula beliau mengajakku untuk shalat tahajud bersama pada keheningan ditemani bisik jangkrik dan desah dedaunan terbelai angin malam. Mesra sekali. Begitu nikmat kudengar lantunan surat Arrahman dari lisannya yang fasih. Seketika itu mukenaku basah dengan derai air mata yang menetes karena takut akan murka-Nya dan rindu untuk jumpa dengan-Nya bersama keluarga. Indah memang apa yang dikatakan Mas Indra bahwa seseorang akan berkumpul bersana keluarganya di surga karena ketundukan dalam berbakti kepada-Nya.
Kembali kugerak-gerakkan tangan dan kakiku agar bayi dalam kandunganku semakin sehat dan cepat berkembang dengan normal. Kicau burung terdengar riang terseret angin pagi yang sejuk. Pohon-pohon berbisik mesra memandang keadaan kandunganku yang mulai tumbuh. Kucoba berjalan menyusuri rerumputan yang tertata rapi diselingi kerikil cantik seolah malu berhadapan denganku. Ahh… kurasakan keadaan tubuhku semakin baik kini.

***

“Ukh… jadi juga, Mas berangkat,” keluhnya saat selesai memberi salam dan meletakkan tas setibanya dari kantor. “Direkturku tidak mengizinkan, malahan besok Aku harus berangkat.” Tampak kurasakan bebannya untuk meninggalkanku.
“Lho, kalo memang itu yang terbaik kenapa harus ditolak, Mas?” kusodorkan segelas air putih dan beberapa potong kue kepadanya. Terlihat ia begitu lelah menyelesaikan tugasnya di kantor. “Kalo gitu, Mama akan siapkan perbekalan Mas untuk sebulan.”
“Sudah, Ma, biar Mas saja yang menyiapkan ! Paling cuma untuk sebulan.”
“Bener nih, Mas sudah siap untuk berangkat ?” candaku menghiburnya.
“Bukan, maksud Mas biar Mama tetap istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Lagi pula, kan ada si Mbok yang bisa siapkan kebutuhanku di sana,” risaunya tetap saja ada.
“Si kecil bagaimana, Ma, masih suka nendang-nendang nggak?” rasa ingin tahunya membuatku tersenyum.
“Kayaknya, ia mulai berani deh, Mas tinggal,” lontaran kata-kataku terus memotivasi dan berdiskusi tentang rencana keberangkatannya esok hari.
Malam kian larut, tampak kelelahan suamiku berada pada puncaknya. Ia menyelimutiku sebelum akhirnya ia pun tidur pulas….

Keheningan malam membuat suamiku kembali bangun dari tidurnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Inilah kebiasaan ia untuk bercumbu dengan Rabbnya sambil meneteskan air mata. Malam ini merupakan malam kami untuk shalat tahajud bersama sebelum ia berangkat ke negeri adidaya. Lantunan ayat Al qur’an semakin merdu ia ucapkan. Dan butiran air suci jatuh satu persatu ke tempat sujudku. Kupanjatkan do’a kepada Rabbku agar suamiku diberi kemudahan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya.
Bisik jangkrik terdengar riang disapu angin malam yang sunyi. Buaian lantunan ayat suci dari lisannya menambah kekhusyu’anku dalam munajat kepada-Nya. Gesek dedaunan beradu dengan ranting dan batang terdengar merdu semakin membuatku tetap berdiri dalam keheningan malam untuk tunduk pada-Nya. Percik-percik air kolam terhempas kumpulan ikan menyatukan suasana malam indah penuh berkah ditemani kilauan bintang gemintang yang tersapu deretan awan berhias sinar rembulan….

Selesai shalat shubuh, Mas Indra sudah siap. “Jangan lupa jaga kondisi kesehatan Mama dan Si kecil. Jangan lupa banyak istirahat!” pesannya sebelum berangkat ke negeri adidaya.
“Mbok, Saya titip dia dan si kecil. Tolong ingatkan agar Dia jangan banyak melakukan pekerjaan yang berat!”
“Baik, Pak,” sungkem si Mbok tanda menurut dengan suamiku. Kuterima ciumannya tepat dikeningku dan ia lekas berangkat menuju bandara. Aku tidak turut ke bandara karena tidak diizinkan olehnya. Aku hanya bisa berdo’a atas keselamatannya.

***

Rasa mual kembali menyerang tubuhku. Keringat dingin terus keluar dari kulitku setelah beberapa jam keberangkatan Mas Indra. Pandanganku semakin kabur, tak dapat membuka mata walau hanya sekedar menatap. Kupandangi sekitarku hanya tersirat goretan-goretan dinding yang iba memandangku. Aarrhh… rasa mual semakin menjadi, membuatku tidak bisa menahan untuk terus muntah. Kulihat si Mbok panik melihat kondisiku yang semakin lemah. Segera ia memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Tubuhku lemas dan membuatku sulit untuk membuka mata. Kurasakan gelap di sekitarku seketika aku tak sadarkan diri….

Kucoba membuka mata perlahan-lahan. Aarrhh… berat sekali. Namun terus kucoba membuka dan akhirnya dapat juga kubuka. Aku tersentak ketika kutatap ke samping, seorang lelaki sedang mengusap kepalaku dan berbisik, “Sudah, jangan bicara dulu. Aku tidak jadi berangkat karena pesawat tidak bisa lepas landas,” senyum gundahnya tetap ada bersama butiran dingin menetes dari mataku.



Cirendeu, Malam hari


hari, tgl & tahunnya lupa