01 Maret 2008

SG UIN; Wadah Bibit-Bibit Koruptor Baru Indonesia?


Belum terlupa kasus penyelewengan dana almamater dan berbagai kebijakan acuh Student Government UIN Jakarta pada masa pemerintahan mahasiswa, Addi Hasan, periode 2005-2006 yang menyebabkan keterlambatan distribusi almamater bagi mahasiswa baru, tahun 2005-2006 serta tertundanya perpuataran Pemilu Raya Kampus di tahun tersebut. Telah berlalu juga UIN Jakarta telah disibukkan dengan pesta hak mahasiswa dalam menyampaiakan aspirasinya melalui perayaan politik kampus (PEMIRA) yang juga terlambat dilaksanakan karena pemerintahan mahasiswa yang dipimpin oleh Syukron Jamal pun tak mentaati aturan yang sudah dibangun lewat komitmen bersama bahwa seharusnya PEMIRA digelar setiap bulan Juni. Padahal, dahulu masih kita ingat bahwa Syukron Jamal berjanji akan menstabilkan kondisi perpolitikan di UIN Jakarta dengan mengembalikan aturan PEMIRA seperti kesepakatan bersama, “SG UIN Jakarta adalah harga mati!”. Ironis memang. Orang yang dahulu sangat keras mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Addi Hasan, ternyata harus menelan ludahnya sendiri dengan memperlambat pembentukkan Panitia Pemilihan Umum Raya Kampus 2007.


Pemerintahan Syukron Jamal tidak membawa perubahan bagi pendidikan politik di UIN Jakarta. Hal ini dapat dirasakan bahwa selama Syukron Jamal menjabat sebagai Presiden Mahasiswa UIN Jakarta (2006-2007), tidak ada perjuangan yang berarti bagi mahasiswa UIN Jakarta. Mereka mengadakan kegiatan yang hanya diperuntukkan bagi golongan mereka sendiri atas nama mahasiswa dalam mencari dana di luar. Kegiatan-kegiatan yang dapat mencerdaskan mahasiswa UIN Jakarta pun tidak difasilitasi olehnya. Mahasiswa UIN Jakarta terkukung oleh pendidikan politik yang semu dan tak terarah. Dana mahasiswa yang dikorbankan untuk pelaksaan PEMIRA seolah hanya sekedar hibah yang dijadikan proyek rebutan kekuasaan demi kepentingan sepihak yang berkedok demokrasi mahasiswa.


Menipu untuk mengantongi suara

Spanduk-spanduk dan baliho terlihat ramai sejak 4 bulanan yang lalu. Semua partai berlomba mencari citra positif dari mahasiswa yang dinilai ‘bodoh’ dan ‘buta’ dalam memaknai politik kampus. Siapa sebenarnya yang ‘bodoh’ dan ‘buta’ terhadap politik kampus? Peningkatan mencari citra posituf itu pun terbawa hingga pelaksanaan Propesa. Partai-partai mengklaim dirinya sebagai ‘pembaharu’. Mulai dari sebutan ‘Kampus Hijau’, ‘Kampus Biru’, ‘Kampus Cokelat’, ‘Putih’, ‘Orange’, ‘Hitam’, dan apalah sebutan itu. Padahal yang kita tahu UIN tidak memiliki ciri khas dalam warna-warna tertentu. Kalau pun bila dilihat dengan alasan dari warna cat yang terpampang di bangunan UIN, jelas bangunan UIN kombinasi dari berbagai warna, tidak hanya satu warna. Apakah sebenarnya semua ini bisa menjawab pertnyaan di atas bahwa yang sebenarnya ‘bodoh’ dan ‘buta’ adalah mereka sndiri yang mengklaim bahwa UIN Jakarta merupakan Kampus dengan ciri-ciri warna tertentu.

Sangat disayangkan bila SG UIN Jakarta ternodai oleh pihak-pihak yang ‘bodoh’ dan ‘buta’ itu. Sebab UIN Jakarta adalah Kampus yang didirikan dengan harapan agar insan-insan berilmu yang keluar dari UIN mampu menjawab tantangan zaman yang kian detik terus bergulir bermacam problematika menyapa negeri ini. Di saat masyarakat menunggu peran serta mahsiswa untuk bersatu padu menyelesaikan masalah-masalah bangsa, seharusnya seluruh elemen mahasiswa pun memiliki komitmen untuk memperjuangkan rakyat Indonesia, tidak terjebak dalam kendali elit-elit politik negeri ini, apalagi terus meniru mereka secara membabi buta. Seharusnyalah elemen mahasiswa menjadi lokomotif perjuangan rakyat dalam setiap perannya, tidak loyal terhadap elit-elit politik yang memang merugikan masyarakat, bukan terus mengikuti arus mereka sehingga gerakan mahasiswa manjadi mandul di telan kedunguan yang keluar dari pola perjuangan.


Saling berebut proyek ‘kesejahteraan’

SG UIN memang menyilaukan mata hati setiap yang berkuasa mendudukinya dengan rencana dan target untuk menambah ‘kesejahteraan’ diri. Bagaimana tidak? Hal ini sudah terbukti dengan berjalan dan berlalunya pemerintahan kampus UIN Jakarta. Sekilas kita dengar bagaimana dana DPMU menjadi dana-dana yang menggiurkan untuk dimafaatkan oleh pihak-pihak yang memang berada di dalamnya. Jangan kaget bila tahun lalu (2005-2006) dana DPMU yang berjumlah sekitar empat juta rupiah hampir hilang tak tahu digunakan untuk apa oleh tangan-tangan berdosa. Padahal kita masih benci oleh proyek Propesa yang tidak ideal dari jumlah dana yang dikelurkan, bahkan mahasiswa baru menjadi korban keserakahan pemerintahan mahasiswa yang korup (periode 2005-2006) akibat merasa tidak puas dengan dana sebesar dua puluh juta yang sudah berada di tangannya.

Propesa yang selesai dijalankan beberapa bulan lalu pun tidak jauh berbeda. Pemerintahan ini lebih parah lagi. Dengan dalih kepentingan pribadi mereka berupaya untuk menggarap proyek Propesa tanpa butuh ‘bantuan’ dari elemen-elemen (red: UKM) kampus yang seharusnya dilibatkan.

Tampak jelaslah bahwa masih ada oknum-oknum yang mengaku dirinya ‘peduli’ dengan SG UIN Jakarta, padahal belum mampu dan siap untuk memperjuangkan demokrasi yang terarah di UIN Jakarta ini. Maka tidak salah bila ada pernyataan bahwa SG UIN adalah wadah baru bagi bibit-bibit koruptor di Indonesia.

Hanya ada satu sikap yang harus kita pegang dan kita jalankan, SG UIN Jakarta harus menjadi lokomotif perjuangan mahasiswa sebelum terjun untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia. Dan salah satu caranya adalah menjauhkan ‘noda-noda hitam’ dari PEMIRA tahun depan. Hidup Mahsiswa! Hidup Rakyat Indonesia!